Perjuangan

Wafatnya Misiati Ibunda Bimo Petrus dan Keberlanjutan Perjuangan

Genoveva Misiati Oetomo, ibu dari Petrus Bima Anugerah atau Bimo Petrus—anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dihilangkan Orde Baru (Orba), meninggal di Rumah Sakit (RS) Panti Nirmala, Senin 6 Agustus 2018 pagi jam 5.30. Jenazahnya dimakamkan Selasa 7 Agustus 2018 jam 08.00 WIB di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Ngujil, Kota Malang. Pemakamannya selain dihadiri warga dan jemaat Gereja, juga diikuti para pegiat HAM dari Omah Munir, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Komite Aksi Kamisan Malang, serta kawan-kawan Bimo sewaktu masih aktif di PRD. Segenap anggota KPO-PRP dan staf Arah Juang menyatakan belasungkawa sedalam-dalamnya.

Selama 20 tahun lebih, Misiati dan Oetomo Rahardjo—suaminya dan bapak Bimo Petrus—berjuang. Mereka mencari kejelasan keberadaan anaknya yang dihilangkan sejak 13 Maret 1998. Mereka menuntut keadilan bersama beberapa keluarga korban lainnya membentuk Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) dengan para pejuang HAM seperti almarhum Munir Said Thalib—yang kemudian diduga kuat dibunuh atas komando Hendropriyono.

Suciwati, janda Munir, yang hadir di persemayaman Gotong Royong menyatakan bahwa keluarga korban akan terus mencari kencadilan. “Dua puluh tahun lebih kami mencari keadilan dan akan terus mencarinya sampai ditemukan dan ditegakkan. Keluarga orang hilang dan korban pelanggaran HAM konsisten terus berjuang meskipun satu per satu di antara mereka meninggal.”

“Memang waktu kehilangan Munir, terasa pukulan berat. Tapi alhamdullilah sampai sekarang kami masih berteriak terhadap berbagai pelanggaran HAM yang terjadi dan menuntut negara bertanggungjawab,” terang Suciwati.

Oetomo membenarkan itu menyatakan bahwa kepergian istri tidak akan menyurutkan perjuangan mencari keadilan dan penegakan HAM. Bahkan akan terus menuntut negara dan pemerintah untuk pengusutan kasus pelanggaran HAM yang diduga kuat dilakukan terhadap Bimo Petrus dan kawan-kawannya sampai tuntas.

Hingga kini Bimo Petrus adalah salah satu dari 16 korban penghilangan yang masih belum jelas keberadaannya. 12 korban lainnya antara lain: 1) Herman Hendrawan—mahasiswa Universitas Airlangga (Unair), menghilang 12 Maret 1998 pasca-konferensi pers KNPD di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta. 2) Suyat—anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang dihilangkan pada 12 Februari 1998 di Solo. 3) Wiji Thukul—penyair, anggota Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER) yang dihilangkan pada 10 Januari 1998 di Jakarta. 4) Yani Fari—pengemudi pendukung PDI Megawati, dihilangkan di Jakarta pada 26 April 1997. 5) Sonny—pengemudi rekan Yani Afri dan sesama pendukung PDI Megawati, dihilangkan di Jakarta pada 26 April 1997. 6) Dedi Hamdun—pengusaha, anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan pengorganisir kampanye Mega-Bintang-Rakyat, dihilangkan pada 29 Mei 1997 di Jakarta. 7) Noval Al Katiri—pengusaha rekan Dedy Hamdun dan anggota PPP, dihilangkan 29 Mei 1997 di Jakarta. 8) Ismail—sopir Deddy Hamdun, dihilangkan di Jakarta 29 Mei 1997. 9) Ucok Munandar Siahaan—mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas), diculik dalam kerusuhan di Jakarta 14 Mei 1998. 10) Hendra Hambali—pelajar Sekolah Menengah Umum (SMU), dihilangkan pada kerusuhan di Glodok, Jakarta, 15 Mei 1998. 11) Yadin Muhidin—lulusan Sekolah Pelayaran, dihilangkan 14 Mei 1998 di Jakarta. 12) Abdun Nasser—kontraktor, dihilangkan di kerusuhan di Jakarta 14 Mei 1998.

Mengecam Politisasi HAM

Dalam kesempatan itu Suciwati menentang keras pihak yang menggunakan isu HAM demi meraih kekuasaan semata tanpa penegakan keadilan. Ia mengecam Joko Widodo maupun Muhaimin Iskandar yang memanfaatkan isu HAM untuk persaingan di Pemilu namun tidak memberikan kontribusi bagi penegakan keadilan.  “Jokowi naik menaiki isu HAM. Itu tidak bermoral. Karena kita kemudian dikhianati. Setelah dia jadi presiden malah kemudian mengangkat pelanggar HAM jadi menteri,” ungkapnya.

Suciwati juga mengkritik Muhaimin Iskandar yang tiba-tiba mengadakan Penghargaan Pejuang Kemanusiaan Rabu 1 Agustus 2018 lalu. Diduga keras penghargaan kemanusiaan dan HAM ini dijadikan Muhaimin sebagai komoditas politik untuk menaikkan daya tawarnya dalam ambisinya menjadi Cawapres Jokowi. Lewat media sosialnya Suciwati menyatakan “Cak Imin (muhaimin iskandar) sebagai politisi sungguh tidak bermoral menggunakan isu HAM untuk kepentingan sesaat, apalagi urusan mau jadi Cawapres. Saya menolak Munir dijadikan dagangan politik, dan tidak akan pernah mendukung politisi yang tidak bermoral untuk meraih posisi apapun. Tolak politisasi HAM. Tolak politisi penunggang isu HAM.”

Meskipun mengkritik kubu pemerintah, Suciwati juga mengkritik kubu oposisi yang sarat para pelanggar HAM juga. Bahkan ia menyatakan menolak tegas upaya oposisi yang berusaha mendekati dan mengooptasi. “Sebenarnya sempat ditelepon sebelum penghargaannya Cak Imin, jadi yang dulu saya tegaskan setuju ganti presiden tapi kalau gantinya Prabowo atau bahkan para pelanggar HAM lainnya ya tidak boleh! Harus orang-orang yang berintegritas!”

Suciwati mengingatkan bahwa di samping 13 korban yang sampai saat ini masih dihilangkan, juga ada para korban yang berhasil kembali. “Keluarga orang hilang juga ada yang sudah kembali, semua ini karena perjuangan dan juga advokasi KontraS,” terangnya.

Lebih lanjut ia berpesan, “Untuk anak muda juga perlu tahu, kita sekarang bisa menikmati kebebasan pers, kebebasan berpendapat, seperti ini karena keberanian mereka. Mereka yang menentang otoritarianisme. Mereka anak-anak muda yang buat negara ini jadi lebih baik.” (lk)

Loading

Comment here