AksiReportase

Protes Militerisasi Nduga, AMP Tuntut Demokratisasi

Malang, Senin, (30/7/2018) Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) gelar pawai protes mengecam operasi militer di Nduga. Lebih dari 49 demonstran berpawai dari Stadion Gajayana ke Balai Kota Malang. Mereka menuntut agar operasi militer yang sarat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Nduga dihentikan serta pasukannya ditarik keluar. Lebih lanjut, massa aksi menuntut ruang demokrasi dan akses bagi seluruh jurnalis serta media internasional dan nasional di Nduga pada khususnya dan West Papua pada umumnya.

Sebagaimana keterangan rilis persnya, militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dengan bersenjata lengkap, termasuk persenjataan berat, menyisir Nduga dengan dalih pengamanan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sejak 22 Juni 2018. Akibatnya operasi militer ini justru membuat masyarakat Nduga tidak merasa aman melainkan terancam bahaya. “…Penembakan, Bom Mortir di ledakan di Kampung  Alguru pada 11 Juli pukul 11:01 WIT melalui empat bom mortir yang dijatuhkan melalui helikopter telah mengakibatkan 50 hingga 200 Kepala Keluarga berpindah tempat, berlari ke hutan…”

“Data pihak Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua menunjukkan sejak 22 Juni 2018, 30 anggota Brimob dan 150 personel ditempatkan di Kenyam pada 25 Juni 2018, 700 personel diminta dari Polda Papua, serta 3.000 personel untuk mengamankan pilkada 27 Juni 2018. Ada pun, pada 17 Januari 2018, Jendral Polisi Tirto Karnavian, mengatakan 14 ribu personel akan ke Papua. Termasuk 2.800 dari TNI dan Perlindungan Masyarakat (Linmas) 4.000 personel. Sehingga hampir dari sebagian personel yang dikirim ke Nduga telah melebihi populasi masyarakat Ndugama saat ini.” Para demonstran menyimpulkan pengerahan militer Indonesia secara bergelombang sejak tanggal 22,  lalu 25, 27 Juni hingga 11 Juli 2018 yang terus-menerus terjadi dilakukan bukan untuk mengamankan rakyat. Melainkan mengamankan penjajahan dan penindasan. Khususnya kepentingan pemodal agar bebas menghisap. Rakyat di Nduga sendiri tidak bebas akibat operasi militer berlebihan ini. “Hampir seluruh masyarakat Nduga mengungsi ke hutan dan daerah lain seperti Agast, Timika, dan Wamena mulai dari tanggal 27 Juni hingga 12 Juli 2018, dan terus berlangsung hingga kini.”

Operasi militer di Nduga ini bahkan memunculkan efek domino kerugian susulan. Setidaknya 18 pelajar Nduga di Malang dan lebih dari 500 pelajar Nduga di daerah-daerah lainnya terputus haknya atas pendidikan serta sandang dan pangan. “Orang tua maupun keluarga mereka tidak bisa mengirimkan uang untuk biaya hidup dan belajar gara-gara operasi militer ini. Sehingga anak-anak mereka tidak bisa sekolah dan kuliah. Kalau untuk itu mungkin bisa ditunda tahun ajaran berikutnya. Tapi yang lebih parahnya mereka sampai kehilangan tempat tinggal karena tidak bisa bayar kos dan kontrakan. Kebutuhan makan dan sehari-hari juga terganggu. Kami, sesama pelajar dari Papua, berusaha sebisa mungkin saling membantu. Mereka kami ajak tinggal di kontrakan dan kos para pelajar Papua lainnya. Masalahnya tidak ada kompensasi maupun toleransi dari pemerintah sama sekali. Baik untuk masalah pendidikan maupun akomodasi. Bahkan dipersulit. Ketua Rukun Tetangga (RT) misalnya melarang dengan alasan laki-laki dan perempuan tidak boleh tinggal bersama. Padahal kami sudah menunjukkan bukti bahwa yang bersangkutan adalah adik/saudari kandung salah satu mahasiswa Papua di sana. Tapi Ketua RT tetap tidak mau tahu, ‘peraturan tetap peraturan’, katanya. Jadi kotor sekali pikiran mereka itu, seolah-olah semuanya mesum saja,” terang Yustus, juru bicara (Jubir) aksi.

Operasi Militer di Nduga, Bagian Sejarah Panjang Penindasan dan Penjajahan West Papua

Bagi kaum muda Papua yang berdemonstrasi Senin pagi ini, operasi militer Indonesia dan pelanggaran HAM berantai yang diakibatkannya bukan hal baru. Massa aksi mengungkapkan sejarah panjang ini. “Tahun 1996 militer Indonesia melakukan Operasi Mapenduma ke Nduga. TNI-Polri menyerbu dari darat dan dari udara menggunakan serangan helikopter. Mereka menembak mati 35 orang, memerkosa 14 perempuan, membakar 13 gereja, dan membumihanguskan 166 rumah penduduk. Efek domino kerugian susulannya 123 masyarakat Nduga tewas akibat sakit dan kelaparan saat melarikan diri ke hutan gara-gara diburu Korps Pasukan Khusus (Kopassus).” Massa aksi menyimpulkan ini adalah bagian dari sejarah panjang penindasan dan penjajahan terhadap West Papua.

Sebagaimana keterangan massa aksi, sejak 1 Mei 1963 administrasi West Papua dicaplok rezim Indonesia. West Papua dimasukkan paksa baik lewat operasi militer maupun prosedur-prosedur tidak demokratis. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang baru diadakan tahun 1969 sudah didahului pemberian kontrak karya ke Freeport tahun 1967. Rebutan kepemilikan saham antara Freeport dengan rezim pemerintah Indonesia untuk kepemilikan 51% mencerminkan perebutan kapital dengan menginjak-injak kedaulatan rakyat West Papua. Sementara pelanggaran HAM, mulai dari hak hidup, hak berkumpul, hak berserikat, hak menyampaikan pendapat di muka umum, hingga hak kemerdekaan, sebagaimana tertera dalam Konvensi Internasional tentang Hak Sipil Politik dan Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Menyadari bahwasanya imperialisme dan kapitalisme sebagai biang penindasan di West Papua, massa aksi juga menuntut dicabutnya izin usaha perusahaan-perusahaan yang beroperasi di West Papua milik korporasi kapitalis nasional dan internasional. Lebih lanjut mereka bahkan menarik garis kelas membelah kebangsaan dengan turut menuntut dicabutnya izin usaha perusahaan oknum rakyat West Papua yang bersekongkol dengan kapitalis nasional dan imperialis multi-nasional. Sebab kaum ini, sebagaimana keterangan rilis pers “…dalam praktiknya bersekongkol dengan militer Indonesia dengan mengorbankan rakyat West Papua demi bisnis uang keamanan dan kelanjutan eksploitasi mereka.”

Henky, aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang hadir dalam aksi, berorasi, “Mari kita rapatkan barisan…mengusir imperialis dan kapitalis…industri, perkapalan, perusahaan, farmasi, pemerintahan harus kita ambil alih menjadi milik rakyat…jangan sampai ada yang memanfaatkan untuk menguras Papua demi kepentingan pribadi.”

Upaya Militerisme Mencegah Solidaritas Rakyat Indonesia untuk West Papua

Sepanjang aksi, aparat terus berusaha menghalangi hak demokratis para demonstran dalam berbagai tindakan. John dari AMP menerangkan, “…aparat keamanan mencoba mengisolasi massa aksi dengan memblokade jalan dan mengalihkan jalur lalu lintas warga di depan Balai Kota Malang…” Selain itu “…intel mengusir beberapa warga asing yang menyaksikan aksi dan mengambil selebaran aksi serta memotret demonstrasi.” Yustus menyimpulkan, “Aparat berusaha sebisa mungkin agar warga dan pengguna jalan tidak menerima pesan perjuangan yang kami sampaikan. Mereka takut kebenaran semakin terungkap dan solidaritas semakin menyebar.” Bahkan pasca-aksi, Daniel Sihombing, anggota Kristen Hijau, yang turut berdemonstrasi dan bersolidaritas, dicegat para intel saat pulang bersama pengemudi GoJek. Sebanyak enam orang intel mengerumuni Daniel, menginterogasi, mengancam, dan mencari-cari kesalahannya. “Kenapa ikut-ikut aksi demonstrasi bersama mahasiswa Papua? KTPnya sudah lewat masa berlakunya, kenapa tidak diurus? Rumah kamu dimana? Orang mana? Asli mana? Kuliah dimana? KTP-mu sudah kami foto, lain kali hati-hati!” adalah hal-hal yang mereka katakan untuk mengintimidasi.

Intimidasi begini, represi, dan berbagai bentuk pemberangusan demokrasi adalah praktik tirani yang terus terjadi. Sebelumnya ada penyerangan terhadap diskusi 1 Juli terhadap para pelajar Papua di Malang dan pembubaran diskusi berkedok Operasi Yustisi ke Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya yang disertai kejahatan seksual terhadap salah satu partisipan. Ini dilakukan bukan hanya untuk menindas para aktivis Papua yang memperjuangkan pembebasan nasionalnya. Karena selama puluhan tahun di Papua banyak penindasan yang lebih parah. Mulai dari penyerangan, penembakan, pembunuhan, penculikan, penyiksaan, pemerkosaan, penjarahan, pembakaran, dan sebagainya. Tapi juga dilakukan untuk menakut-nakuti rakyat Indonesia agar tidak berani bersolidaritas dan berjuang bersama mendukung perjuangan pembebasan nasional West Papua.

“Namun dibandingkan sepuluh tahun sebelumnya, semakin banyak rakyat Indonesia mengetahui kebenaran soal West Papua. Semakin banyak yang mengetahui penindasan dan pelanggaran HAM di sana. Bahkan semakin banyak yang bersimpati walaupun jumlahnya masih kecil dan belum semuanya terorganisir,” ungkap Leon Kastayudha, anggota Kongres Politik Organisasi Perjuangan Rakyat Pekerja (KPO-PRP) dalam evaluasi pasca-aksi. “Jadi meskipun kondisi saat ini penuh intimidasi dan represi namun ada potensi. Kita perlu melengkapi mobilisasi massa aksi dengan memperbanyak edukasi, diskusi, dan propaganda-agitasi. Kami dari KPO-PRP, meskipun masih kecil, selama ini mendukung penuh perjuangan pembebasan nasional West Papua. Kami berusaha sebisa mungkin berpartisipasi, berjuang bersama, dan menyebarkan wacana perlawanan lewat koran Arah Juang kami dan situs arahjuang.com. Kami harap potensi ini bisa terus kita tumbuhkan dengan semakin menumbuhkan solidaritas dan berjuang bersama baik dalam perjuangan pembebasan nasional menghapuskan penjajahan maupun perjuangan kelas menghapuskan penindasan.”

Berikutnya Yustus menambahkan, “Rakyat Indonesia juga merasakan yang sama. Mereka juga ditindas militerisme. Di Kulon Progo dan dimana-mana mereka dipukuli, dirampas tanahnya, dan ditindas. Jadi kita juga harus bersolidaritas,” serunya. Ini perkembangan penting yang dilakukan para pejuang West Papua. Akhir-akhir ini para aktivis West Papua juga ikut mendukung aksi Hari Buruh Internasional, berpartisipasi dalam Aksi Kamisan, bersolidaritas menentang penggusuran, dan sebagainya.

Kaum sosialis memiliki ungkapan: solidaritas akan menang melawan rasisme, kemerdekaan akan menang melawan penjajahan, pembebasan akan menang melawan penindasan, dan sosialisme akan menang melawan kapitalisme. Mari kita capai itu semuanya. (lk)

Loading

Comment here