Aksi Kamisan yang digelar di depan kantor Gubernur Kaltim, menyerukan penuntasan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Aksi tersebut juga menyerukan agar intimidasi yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia terhadap pelajar dan mahasiswa Papua dihentikan.
Sejak pukul 15.00 massa aksi yang menggunakan kostum hitam sudah berkumpul di depan kantor Gubernur Kaltim.
Merespon pembubaran diskusi yang baru-baru saja terjadi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, Aksi Kamisan Kaltim, yang rutin digelar di Jalan Gajah Mada Samarinda, mengangkat tema “Papua Adalah Kita, Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM di Papua dan Hentikan Intimidasi Terhadap Pelajar dan Mahasiswa Papua”.
Membuka aksi, Tiwi yang bertugas sebagai kordinator lapangan (Korlap) Aksi Kamisan, mengatakan, “Kita harus berani mengatakan kalau saudara kita di Papua, punya hak untuk hidup dalam suasana yang aman, damai, dan menyenangkan. Jauh dari ketakutan, intimidasi, dan penindasan. Bebas dari kekerasan dan ketidak adilan yang dilakukan oleh Negara dan perangkatnya”.
“Kita harus berani menyuarakan kalau rakyat Papua berdaulat atas tanah dan wilayahnya, Berhak menentukan masa depan mereka sebagai Manusia yang merdeka dan bebas dari Penjajahan bangsa sendiri, menjadi wilayah yang terhormat seperti yang lainnya.” Lanjut Tiwi.
“Kita harus memberi kawan-kawan Papua ruang yang sama di semua wilayah negeri ini seperti mereka memberi ruang yang sama terhadap kita disana, bebas dari stigma negatif. Kita harus berprilaku setara dan tak ada penghakiman seakan mereka terbelakang, bodoh, primitif dan perlu dikasihani. Dan mereka, mahasiswa dan pelajar Papua, sama dengan kita, bebas berpendapat, berdiskusi, berorganisasi bersuara tanpa stigma pembelot dan pemberontak” ungkap Tiwi dengan tegas.
Erik, salah satu orator, ikut serta mengutuk tindakan negara atas West Papua. Menurutnya sikap kita terhadap perjuangan West Papua harus berdiri diatas kepentingan menghapuskan penindasan manusia atas manusia, bangsa atas bangsa.
“Sejatinya Papua hanya ingin merdeka atas tanah airnya dan ‘sejahtera’ sebagaimana Jawa ,Kalimantan, Sulawesi dan sebagainya. Tapi pemerintah menutup ruang ruang tersebut. Karena itu, mestinya kita bersikap pada kepentingan atas kemanusiaan yang anti exploitation de nation par nation dan anti exploitation de i’homme par i’homme. Saya mengutuk keras tindakan eksploitasi kemanusiaan yang berdiri kokoh dari ujung barat sampai ujung timur negeri ini”. Tegas siswa kelas tiga sekolah menengah tersebut.
Natalis, seorang orator yang mengaku berlatar belakang nasionalis soekarnois, menyampaikan kritiknya terhadap pandangan nasionalisme sempit yang selama ini keliru memandang perjuangan West Papua. Menurutnya tuntutan atas hak menentukan nasib sendiri bagi West Papua, adalah hak mereka atas tanah dan airnya. Menurutnya keliru, jika itu dipandang sebagai disintegrasi atau separatisme.
“Suku bangsa Papua, sekalipun tanpa perlu mempersoalkan perbedaan rasnya dengan suku bangsa/budaya masyarakat Indonesia pun, tetap berhak menentukan nasibnya sendiri, berhak menentukan hak/kewajibannya atas bumi Papua sendiri.” Ujar mantan ketua GMNI Samarinda tersebut.
Natalis juga menilai, bahwa penjajahan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia beserta aparatur negara selama ini, juga dilakukannya terhadap bangsa Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan melalui berbagai perampasan tanah bagi para petani dan politik upah murah terhadap kaum buruh. Ia juga menilai negara sekan-akan tetap mempertahankan “domein verklaring” semasa kolonialisasi Belanda. Watak penjajahan (penjarahan) itulah yang berlangsung selama ini (juga disertai dengan penjarahan tenaga kerja murah) menurutnya terus dilakukan oleh Rezim saat ini.
Namun demikian, terhadap perjuangan West Papua, menurut natalis ada beberapa catatan penting. “Pertama, perlu ada dialog yang demokratis bagi bangsa Papua untuk menyatakan sikap-sikapnya. Hal ini penting untuk membuka ke arah penyelesaian semua tuntutannya. Bahwa pemerintah Indonesia tidak boleh menyembunyikan praktek “kekerasan negara” di tanah Papua, sebaliknya menyerahkan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua (referndum). Kedua, cara-cara militerisme tidak layak dengan “tudingan sparatisme”, sebab bangsa Papua sepenuhnya berhak atas tanah airnya. Untuk itu, demi kepentingan cita-cita luhur Bangsa Indonesia, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka “kekerasan negara harus diadili”. Sebab negara sudah melanggar perjanjian dasar (konstitusi) yang sudah disepakati bersama dengan rakyat.”
Natalis menyimpulkan, apa yang dituntut Papua secara substansial tidak berbeda dengan tuntutan para petani di kendeng, ataupun daerah-daerah lainnya. Ialah tentang “kemerdekaan tanah dan air bagi rakyat dari penjarahan/kolonialisasi negara. Lebih lanjut, ia juga menegaskan bahwa perjuangan bangsa Papua harus berpijak dalam perspektif perjuangan kelas.
“..bahwa dalam perjuangan menentang penjajahan gaya baru itu, perspektif mendasarnya ialah rakyat ingin mendesak kemajuan perkembangan sejarah masyarakatnya, yang selama ini justru terhambat oleh negara dalam tangan borjuasi. Oleh karena itu, perjuangan bangsa Papua harus berpijak dalam perspektif perjuangan kelas, rakyat melawan borjuasi (negara).” tegas natalis saat diwawancarai setelah orasi.
Aksi dilanjutkan dengan puisi dan musik. Lagu darah juang menutup aksi Kamisan yang ke 49 tersebut. Tepat pukul 18.00 massa aksi membubarkan diri. (bj)
Comment here