Samarinda- Kamis (24/05/2018). Aksi Kamisan Kaltim yang ke 42 dengan tema “20 Tahun Reformasi dan Tugas Mendesak Kaum Muda”. Tanggal 21 Mei 1998, atas desakan gerakan mahasiswa bersama gerakan rakyat Soeharto mengakhiri 32 tahun riwayat kediktatoran militer Orde Baru dan membuka keran demokrasi. Peristiwa itu kita kenal dengan Reformasi 98.
Aksi Kamisan Kaltim ini juga tampak dua hal yang berbeda. Pertama, spanduk menuntut negara untuk mengesahan segera RUU Masyarakat Adat oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Kedua, hadirnya pencipta lagu Darah Juang yaitu John Tobing. Kita tahu bahwa lagu Darah Juang menjadi lagu pembakar semangat di jalan-jalan oleh aksi protes rakyat.
Aksi kamisan yang dilaksanakan ini dibuka dengan menyanyikan lagu Darah Juang. Orasi pertama disampaikan oleh orator dari Embrio Perempuan Merdeka yang menjelaskan keterlibatan gerakan perempuan dalam meruntuhkan Orde Baru. Yaitu, gerakan Suara Ibu Peduli . “Melalui isu susu yang mahal di masa Soeharto. Perempuan-perempuan melakukan demonstrasi sebagi wujud bentuk protes. Namun, reaksi rezim adalah menangkap perempuan-perempuan ini dan itu memicu kemarahan-kemarahan dari mahasiswa”. Selain itu, orator juga mengatakan setelah rezim Soeharto runtuh negara tetap saja represif dimana Reformasi masih saja tetap sama seperti seperti orde baru terbukti melalui UUMD3 dan RKHUP. Di akhir orasinya dia menegaskan bahwa tugas mendesak kaum muda hari ini adalah menyatukan kekuatan yang pro kepada rakyat bukan kepada elit-elit politik hari ini.
Perwakilan dari Lembaga Pers Kampus SKETSA, menjelaskan bagaimana Reformasi 98 juga masih menyisakan kriminalisasi dan pembungkaman terhadap pers. “Aliansi Jurnalis Independen (AJI), organisasi profesi yang berdiri karena kecewa dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang membelot ke Orde Baru. Mencatat setidaknya ada 4 poin yang krusial bagi kebebasan pers di Indonesia.
Poin pertama ialah kekerasan terhadap jurnalis. Data dari LBH Pers, selama tahun 2003 hingga akhir 2017 terdapat 732 kasus kekerasan terhadap jurnalis entah itu kekerasan fisik ataupun non-fisik. Selama 2003 sampai Mei 2018 terdapat 282 kasus yang masuk ke meja kerja LBH Pers. Jurnalis di Indonesia juga masih rentan terhadap ancaman pemidanaan dengan UU KHUP dan UU ITE”.
Selain kekerasan jurnalis, soal lain yang diangkat AJI adalah persoalan upah jurnalis yang masih jauh panggang dari api. Kriminalisasi narasumber, di Papua narasumber bisa ditahan oleh polisi. Dan kongkalikong antara pemilik media dan elite politik. Frekuensi publik masih dengan leluasa digunakan untuk kepentingan partai politik, kelompok maupun pribadi tertentu”.
“Tahun ini, Indonesia masih tidak beranjak dari ranking 124 pada indeks kebebasan pers dunia. Peringkat ini tidak mengalami kemajuan sejak 2016”.
Bahkan menurut perwakilan Sketsa ini, hal serupa juga masih menjadi tantangan pers kampus. “Dosen mengancam dengan nilai, dekan meminta agar diberitakan yang baik-baik saja. Sampai kelompok mahasiswa yang kita kenal rajin memberi kritik, giliran dikritik malah menyeru untuk adu fisik.”.
Sayangnya, dalam kesimpulan orator dari perwakilan Sketsa ini masih mengharapkan negara untuk menjamin hal tersebut. Hari ini, kita menyaksikan bagaimana media elektronik dan cetak yang setiap hari dikonsumsi oleh rakyat Indonesia secara massif. Dikuasai oleh pemodal-pemodal pendukung rezim Jokowi ataupun pihak oposisi Prabowo. Ada Metro TV milik Surya Paloh dan TV One milik Abu Rizal Bakrie. Mereka tidak menyiarkan permasalahan rakyat, malahan menipu rakyat dengan ilusi-ilusi bahwa negara baik-baik saja.
Aksi dilanjutkan dengan pembacaan puisi dan orasi-orasi politik lainnya. Perwakilan dari Lingkar Studi Kerakyatan, menekankan keterlibatan aktif kaum muda. “Dalam perubahan sejarah, kaum muda terlibat aktif mulai dari pembebasan nasional sampai reformasi 98 yang berhasil membuka keran demokrasi. Namun, paska reformasi ada dua model gerakan. Yang pertama, gerakan moral yang direpresentasikanKAMMI dan BEM SI yang memainkan politik rasis dengan penolakan tenaga kerja asing. Hal ini, tidak berbeda dengan bagaimana Orde Baru memainkan isu yang sama saat krisis 98. Akibat dari rasisme yang dimaikan oleh rezim Orde Baru. Etnis Tionghoa dijadikan sasaran kekerasan massa dengan penjarahan dan pembakaran terhadap perusahaan, toko, rumah milik etnis Tionghoa. Bahkan, sampai pada pemerkosaan terhadap para perempuan Tionghoa. Rezim Soeharto berusaha mengalihkan kemarahan rakyat dengan menjadikan Etnis Tionghoa sebagai kambing hitam.
Yang kedua adalah yang direpresentasikan oleh Partai Solidaritas Indonesia lewat kadernya Tsamara. Adalah gerakan yang menolak aksi-aksi massa dan mobilisasi massa. Alih-alih mendorong kaum muda untuk melakukan perubahan di dalam parlemen. Padahal, dalam sejarahnya aksi-aksi massa serta mobilisasi massa mampu menurunkan Soeharto”.
Di akhir orasinya ia menjelaskan tugas-tugas mendesak kaum muda. “Pertama, mendorong kesadaran rakyat untuk memblejeti kekuasaan hari ini. Kedua, membangun medianya sendiri melalui koran-koran karena media hari ini tidak ada lagi yang bisa dipercaya. Dan yang terakhir, dimana kaum muda harus bersatu dengan rakyat tertindas, buruh, tani, kaum miskin kota, nelayan, masyarakat adat dan sektor-sektor rakyat tertindas lainnya”. Orator menutup orasinya dengan menyanyikan lagu Internationale.
Aksi Kamisan Kaltim berlanjut dengan hiburan-hiburan musik dan yang diakhiri dengan menyanyikan lagu Darah Juang dipimpin langsung oleh penciptanya. Aksi Kamisan Kaltim juga menyediakan hidangan berbuka puasa selama bulan Ramadhan. (ptr, adt)
Comment here