AksiReportase

Mahasiswa Universitas Cenderawasih Memperingati Hari Aneksasi

Port Numbay- Aktivis mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) menggelar mimbar bebas di area Gedung Kabesma Uncen, Perumnas 3 Waena, pada Selasa (1/5). Aksi ini dilakukan untuk memperingati ‘Hari Aneksasi’ Indonesia atas West Papua. Dimana Indonesia secara paksa merampas West Papua menjadi bagian teritorialnya.

Aksi berlangsung sekitar pukul 09.00, orasi berganti dari berbagai perwakilan kampus di Port Numbay maupun organisasi gerakan. Aktvis Uncen pun membuat sebuah panggung kecil dan menancapkan sebuah spanduk bertuliskan “Memperingati 1 Mei: Pencaplokan Wilayah Teritorial West Papua Dengan Secara Paksa, Hari Ini Bangkit Menuntut Mengembalikan Hak Politik Melalui Mekanisme Hukum Internasional”.

Dalam salah satu poin pernyataan sikap mahasiswa Uncen, 1 Mei 1963 merupakan pintu masuk bangunan sistem penidasan Indonesia di tanah Papua. Tujuan bangunan sistem penindasan Indonesia di Tanah Papua sangat jelas untuk menguasai sumber daya alam Papua. Penganeksasian bangsa Papua oleh Indonesia bukan tanpa alasan. Aparat dari Polresta Jayapura maupun Polda Papua bersiaga di luar area Gedung Kabesma. Aksi bubar sekitar pukul 14.00 dan diakhiri dengan doa. (agf)

Berikut pernyataan sikap aktivis Uncen:

1 Mei 1963: Landasan pencaplokan Indonesia dan kepentingan kapitalis Global atas wilayah Papua
1 Mei 1963 merupakan pintu masuk bangunan sistem penidasan Indonesia di Tanah Papua. Tujuan bangunan sistem penindasan Indonesia di Tanah Papua, sangat jelas bahwa untuk menguasai sumber daya alam Papua.

Penganeksasian bangsa Papua oleh Indonesia bukan tanpa alasan.
Pertama, mulai dari diketahuinya rancangan pembentukan atau manifesto kemerdekaan Papua Barat, pada 1 Desember 1961 oleh rakyat Papua, yang kemudian dibalas dengan Komando Sukarno (Indonesia) untuk merebut paksa wilayah bangsa Papua yang dikenal dengan hari Trikora atau Operasi Mandala, yakni: 1). Bubarkan Negara Boneka (West Papua) Buatan Belanda; 2). Kibarkan bendera Merah Putih diseluruh Irian Barat; 3). Bersiaplah untuk memobilisasi rakyat Indonesia ke seluruh Irian Barat. Hal ini yang menjadi landasan Indonesia untuk menganeksasi bangsa Papua dan juga kemudian mematikan seluruh pergerakan intelektual bangsa Papua pada saat itu.

Kedua, Proses aneksasi bangsa Papua adalah untuk memuluskan kepentingan kapitalis global atas seluruh Sumber Daya Alam Papua, dengan bukti: a). bersedianya Amerika Serikat dalam menyelesaikan sengketa antara Belanda dan Indonesia terkait status kewilayahan Papua pada saat itu, dengan merekayasa Perjanjian Amerika (New York Agreement) pada 15 Agustus 1962, yang tujuannya untuk mempersiapkan Act Free Choice (PEPERA) pada tahun 1969 nantinya, b). Dilaksanakannya Perjanjian Roma (Roma Agreement), 30 September 1962, yang tujuannya untuk tetap memuluskan kepentingan Indonesia, yakni Aneksasi bangsa Papua pada 1 Mei 1963 dan pembatalan PEPERA 1969, agar Indonesia tetap berkuasa penuh atas wilayah Papua selama 25 Tahun sesuai rekomendasi Roma Agreement tersebut; Serta dari setingan Amerika ini adalah untuk memuluskan kepentingan Freeport Amerika (Sulpur Delaware) atas wilayah Papua di Timika pada 7 April 1967;

Dari kedua proses penganeksasian bangsa Indonesia dan global inilah kita dapat melihat hasilnya sejak 1 Mei 1963 hingga sekarang, seperti:

Orde Baru yang mencengkram Ekonomi Sosial Budaya Papua
1. Disepakatinya Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) pada 1 April 1967, yang melandasi berdirinya perusahaan raksasa Freeport pada tahun 1967 hingga 2018, yang telah merampas dan merusak paksa wilayah Papua di Timika sebesar 1,2 Juta Hektar, bahkan telah menelan ribuan rakyat bahkan karyawan yang mati dalam operasi eksploitasi perusahaan Freeport tersebut;

2. Disamping berlakunya DOM pada saat itu di Papua, Indonesia yang saat itu mengalami defisit keuangan negara berupaya untuk mengembalikan semua stabilitas ekonominya yakni di perkuatnya implementasi Undang-Undang Penanaman Modal Asing, mulai dari berlangsungnya pengoperasian Perusahaan PT. Freeport Sulpur Delaware 1967, Pumbukaan Lahan Sawit di Keerom pada tahun 1982, Lahan Sawit di Sorong pada tahun 1984 dan penguasaan atas tanah adat Malind untuk kepentingan sawit dan sawah sejak tahun 1984, dan eksploitasi lainnya yang berlangsung di tanah Papua sejak aneksasi Bangsa Papua, 1 Mei 1963, yang tujuannya untuk menguasai seluruh kekayaan Sumber Daya Alam Papua demi perbaikan stabilitas ekonomi negara Indonesia saat itu;

Orde Baru yang mencengkram Sipil Politik di Papua
3. Berlakunya Daerah Operasi Militer (DOM) sejak 1971 hingga dicabut oleh B. J. Habibie pada tahun 1999 saat berakhirnya Orde Baru, Soeharto. Maka tak mengherankan bahwa jumlah rakyat Papua sejak sensus pertama pada tahun yang sama (tahun 1971), presentase pertumbuhan rakyat Papua tak mengalami perubahan yang signifikan. Akibat DOM tersebut, sebut saja: Operasi Sadar (1963); Operasi Brathayuda(1967-1969); Operasi Wibawa (1969); Operasi Jayawijaya (1977); Operasi sapu bersih I dan II  (1981); Operasi Galang I dan II (1982); Operasi tumpas(1983-1984); operasi sapu bersih (1985). (Neles Tebay: 2008, 131, 133). Atau dari sumber lain, persitiwa Teminabuan 1966-1967, sekitar 500 orang ditahan dan kemudian dinyatakan hilang; Peristiwa Kebar 1965, 23 orang terbunuh; Peristiwa Manokwari 1965, 64 orang dieksekusi mati, dan operasi militer sejak tahun 1965-1969; Peristiwa Sentani, 20 orang menjadi korban penghilangan paksa; Enatorali 1969-1970, 634 orang terbunuh; Peristiwa Jayawijaya dan Wamena Barat, melalui Operasi Tumpas pada kurun waktu 1970-1985 terjadi pembantaian di 17 desa, di Kabupaten Jayawijaya, korban jatuh sampai dengan 2000 orang, termasuk wanita, anak-anak dan orang tua; dalam peristiwa Wamena 1977, 14 warga terbunuh, dan sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang belum disebutkan hingga berakhirnya DOM pada tahun 1999. Dan selama berlangsungnya Orde baru, rakyat Papua dikontrol secara berlebihan dan represif oleh aparat militer dalam kelangsungan hidupnya.

Era Reformasi mencengkram hak Sipil Politik orang Papua
Era Reformasi Indonesia tahun 1998 di Papua, dimulai dengan:
4. Berlakunya penindasan sistem ala Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua; Sejak saat itu proses demokrasi Indonesia dalam bentuk Otsus di Papua telah menghasilkan 4 Gubernur, 5 Pejabat Gubernur, serta 2 Provinsi dan 42 Kabupaten/Kota di Tanah Papua, yang bukan saja melegitimasi perampasan lahan di Tanah Papua atas nama pembangunan Otsus dan pemekaran, tetapi juga menjadi sumber konflik horizontal antar orang Papua akibat rekayasa kebijakan tumpang tindih di tanah Papua, seperti UP4B, Dana Desa (UU No 6 tahun 2014), UU 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, serta inpres No. 9 tahun 2017 Tentang Akselerasi Pembangunan di Papua, semua akibat lemahnya pola kontrol dalam Otonomi Khusus, yang merupakan bukti kegagalan Indonesia dan pembangunannya dalam kerangaka Otonomi Khusus itu sendiri di Tanah Papua.

5. Masih menguatnya proses pelanggaran HAM di Tanah Papua, mulai dari Biak Berdarah 1998, Abe Berdarah tahun 2000, Wasior Berdarah tahun 2001, Wamena berdarah tahun 2003, Abe Berdarah tahun 2006, Paniai Berdarah 2014, Deiyai Berdarah 2017, hingga terbunuhnya semua pejuang kemerdekaan dan kemanusiaan di Papua, seperti Theys H. Eluay tahun 2001, Kelly Kwalik tahun 2008, Mako Tabuni tahun 2012, Matias Yohame tahun 2014. Serta dipenjarakan ruang demokrasi rakyat Papua yang berujung penangkapan dan pemenjaraan rakyat Papua yang hendak berbicara tentang nasibnya di atas tanah Papua;

Era Reformasi mencengkram hak Ekonomi Sosial Budaya orang Papua
6. Selama berlangsungnya Pemerintahan refromasi 1998 Indonesia di Papua, berbagai investasi masuk begitu cepat dan massif, mulai dari kepentingan income negara dan kepentingan investasi kaum pemodal di Tanah Papua, yang telah mencapai 6210 Industri perusahaan di Papua(Papua Dalam Angka: 2016). Sebut saja Freeport yang telah menghasilkan 116 Miliar per hari(Ahli Geolog tahun 2017), serta Mifee Merauke dan perusahaan sawit di Tanah Papua yang menguntungkan negara hingga  200 triliun rupiah (Sawit Watch 2017), dan masih banyak lagi kepentingan pembangunan lainnya atas nama pembangunan yang telah menghancurkan peradaban masyarakat Papua. Akhir-akhir ini masyarakat adat di Merauke diperhadapkan dengan ancaman perampasan lahan seluas 4,26 Juta hektar, dan juga masyarakat Timika seluas 2,6 juta hektar akibat perebutan saham Freeport. Perebutan antara negara dan kaum pemodal sudah tentu mengabaikan nasib masyarakat adat Papua, yang hingga saat ini telah merampas 26 Juta hektar wilayah adat masyarakat Papua dari Total 42 Juta hektar wilayah Papua(Jerat Papua: 2009-2017).

7. Serta ancaman terhadap masyarakat adat atas tanahnya, akibat pola represif militer dan lemahnya aparatur daerah dalam menjaga eksistensi masyarakatnya sendiri, seperti: Tambang Liar di Degeuwo yang dibackup oleh Militer yang berujung kematian masyarakat adat Degeuwo sepanjang tahun 2015-2016 ketika hendak berlawan, Berkuasanya PT. Nabire baru meski telah digugat oleh masyarakat adat Nabire yang akhirnya kalah di PTUN pada tahun 2016, serta yang masih sedang berlangsung proses ekploiotasi emas liar, seperti yang terjadi di Korowai yang akhirnya ketahuan sejak januari 2018 lalu.

Dengan melihat berbagai persoalan sejak aneksasi bangsa Papua ke Indonesia, 1 Mei 1963 hingga 1 Mei 2018 ini, atau 55 tahun keberadaan Indonesia di Tanah Papua, maka kami mahasiswa Papua menyatakan bahwa:

Untuk Pemerintah Indonesia
1. Proses aneksasi, 1 Mei 1963, merupakan sebuah pelanggaran kemanusiaan besar yang terjadi atas bangsa Papua yang dilakukan oleh Indonesia selama 55 tahun keberadaannya di Papua, hingga 1 Mei 2018, mulai dari segala bentuk kejahatan kemanusiaan, kejahatan Sumber Daya Alam, merupakan bukti keberadaan Indonesia di Papua;

2. Pembangunan di Papua dalam kerangka Otonomi Khusus oleh Indonesia, telah gagal total, dengan bukti masih tertinggalnya rakyat Papua dalam berbagai sektor kehidupan, seperti Kesehatan, Pendidikan, Ekonomi dan Pembangunan. Oleh sebabnya, kami mahasiswa Papua mendesak pengembalian Otonomi Khusus kepada Indonesia dan Donaturnya serta segera berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Rakyat Papua;

Untuk Pejuang Kemerdekaan Papua (ULMWP)
3. United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) segera :

a) Melakukan pelurusan sejarah bangsa Papua sejak aneksasi bangsa Papua pada 1 Mei 1963,

b) Mengangkat seluruh persoalan Sosial Budaya Papua, seperti:

– Perampasan Lahan Emas yang sedang terjadi di Korowai hingga hari ini,

– Menggugat untuk di tutupnya PT. Freeport  yang telah merauk habis tanah kami seluas 1,2 juta hektar

– Serta Mifee yang telah merampas 4,26 juta hektar lahan masyarakat adat di Merauke,

c) Mengangkat seluruh persoalan HAM di Papua sejak aneksasi bangsa Papua tahun 1963;

Semua proses ini harus segera di bawa oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dalam forum-forum Internasional, mulai dari Melanesian Spearhead Group (MSG), Pasific Island Forum (PIF), Australia Caribian Pasific (ACP), dan forum-forum internasional lainnya dimana ULMWP terdaftar sebagai anggotanya;

Demikian pernyataan sikap ini kami buat sebagai generasi yang sadar akan teracancamnya masa depan kami jika masih tetap bersama Indonesia, dan beserta seluruh leluhur, pejuang kemerdekaan bangsa Papua dan bersama Tuhan Yesus Kristus pemilik perjuangan ini. Semoga Tuhan Yesus selalu beserta kita.

Port Numbay, 1 Mei 2018

Memperingati 55 Tahun, Hari Aneksasi Bangsa Papua

1 Mei 1963 – 1 Mei 2018

Hormat Kami,

Kordinator Umum,                                                      Penanggung Jawab,

Melcky Asso                                                             Samuel Womsiwor

Loading

Comment here