Samarinda- Senin (21/05/2018), kurang lebih 70 Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Garda Mulawarman melakukan aksi memperingati 20 Tahun Reformasi. Aliansi tersebut terdiri dari BEM-KM, BEM Fekon, BEM Faperta, BEM Teknik, BEM FKTI, BEM FKIP, BEM POLNES, LEM Sylva dan KAMMI. Aksi ini dimulai dengan berkumpul di Universitas Mulawarman kemudian dilanjutkan dengan berkonvoi menuju titik aksi yaitu gedung DPRD Provinsi Kalimantan Timur. Mereka membawa beberapa tuntutan diantaranya (1) Kembalikan stabilitas perekonomian negara (2) Wujudkan kedaulatan pangan dan energi (3) tingkatkan kesejahteraan tenaga kerja Indonesia dan pendidikan yang terjangkau (4) tegakkan demokrasi, tolak pembungkaman, tindak tegas pelaku pelanggar HAM dan represifitas terhadap masyarakat.
Aksi ini dimulai dengan orasi beberapa perwakilan lembaga. Namun sangat disayangkan, saat orasi dari perwakilan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menyebutkan beberapa permasalahan yang dihadapi di Indonesia di era reformasi adalah maraknya Tenaga Kerja Asing (TKA).
Hal yang sama juga di lontarkan oleh Humas Aksi Sigit Untoro saat wawancara dengan beberapa wartawan. “lapangan pekerjaan terbatas, namun pemerintah memperbolehkan tenaga kerja asing datang. Ujar Sigit, pemuda yang juga sebagai ketua BEM Fakultas Pertanian tersebut. Argumentasi ini jelas adalah argumentasi yang mengarah pada politik rasisme.
Patut diketahui bahwa tenaga kerja asing juga menjadi objek eksploitasi atau kelas tertindas dalam sistem ekonomi kapitalisme hari ini. Pemilik dari Djarum Group dan buruh dari Tiongkok tidak punya kesamaan nasib walau mereka mempunyai ras yang sama. Artinya apapun bangsa kita, selama kita tidak memiliki alat-alat produksi dan hanya memilik tenaga untuk untuk bertahan hidup, nasib kita adalah sama, yakni sebagai kelas pekerja yang dihisap oleh pemilik modal.
Lagipula masuknya tenaga kerja asing merupakan konsekwensi dari Labor Market Flexibility atau Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja yang dimandatkan oleh Neoliberalisme dan dilindungi pelaksanaannya oleh institusi-institusi neoliberal seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi Perdagangan Bebas (WTO) maupun berbagai perjanjian pasar bebas seperti MEA dan TPPA. Dengan demikian tidak ada kepentingan atas dasar bangsa dalam penindasan kapitalisme. Itulah kenapa kita perlu meletakkan persoalan pengangguran pada analisis kelas.
Politik rasisme salah satunya penentangan terhadap masuknya buruh TKA, beberapa tahun terakhir dimainkan oleh kubu oposisi politik diluar rezim. Namun itu juga karena rezim Jokowi memang tidak pernah punya keberanian melawan politik rasisme. Jokowi serta elit politik dan jenderal-jenderal terkadang membuat seolah-olah mereka ingin memerangi rasisme. Padahal berkembangnya rasisme tidak bisa dilihat terpisah dari kelas borjuis Indonesia.
Sehingga, musuh utama kelas buruh indonesia bukanlah buruh asing, melainkan pemilik modal, elit politik bojuis, dan militeris pelindung modal yang bersatu menjadi geng penindas buruh. Tidak terkecuali, baik mereka yang berada di kubu politik di luar rezim, maupun rezim dan sekutu-sekutunya, mereka semua tidak pernah berniat melawan politik rasisme, justru sebaliknya, mereka memanfaatkan itu untuk mengalihkan masalah utama rakyat. Inilah yang perlu kita tekankan dalam setiap aksi-aksi.
KAMMI dan BEM SI memang gemar memainkan isu rasis. Saat 2015 KAMMI mengambil momentum Hari Kebangkitan Nasional, dengan mengumandangkan seruan lawan Asing-Aseng-Asong. Tahun Lalu, tanggal 5 Januari 2017 BEM SI Kaltimsel, juga mempersoalkan maraknya pekerja asing di Indonesia. Padahal kita tau, bahwa orde baru juga memainkan isu yang sama saat krisis 98 semakin tak terbendung. Akibat dari rasisme yang disemburkan rezim orba, kaum Tionghoa dijadikan sasaran kekerasan dengan penjarahan dan pembakaran terhadap perusahaan, toko, rumah milik Tionghoa bahkan juga pemerkosaan terhadap para perempuan Tionghoa. Rezim Soeharto berusaha mengalihkan kemarahan rakyat dengan menyasar kaum Tionghoa. Dengan melakukan hal yang sama dengan orba, KAMMI dan BEM UNMUL (yang merupakan bagian dari BEM SI) tak pantas menyebut dirinya melanjutkan semangat reformasi. Apa yang ada justru KAMMI melanjutkan dan meneruskan praktek-praktek orba.
Perwakilan dari LEM Sylva menegaskan bahwa Reformasi bukan hanya milik mahasiswa “ Reformasi 98 dibangun diatas perjuangan melawan kediktatoran militer Soeharto: korup dan penghamba imperial. Dibalik itu, menyisakan berbagai bentuk pelanggaran HAM, dan krisis ekonomi yang mendalam. Buruh, tani, nelayan dan masyarakat adat adalah mereka yang paling merasakan krisis tersebut. Hingga reformasi 98 meletus, hal yang sama masih dirasakan oleh sektor rakyat tertindas. Perjuangan selanjutnya bukan hanya milik mahasiswa tapi juga sektor rakyat tertindas lainnya”.
Massa aksi kemudian menuntut masuk kedalam gedung DPRD Provinsi Kalimantan Timur untuk bisa masuk mengintervensi sidang paripurna yang berlangsung di dalam. Dorong mendorong pagar antar massa dan aparat pun terjadi sampai pada aparat mempersilahkan massa masuk namun hanya sampai pada halamannya saja. Kemudian, perwakilan dari massa aksi terlihat berunding dengan perwakilan DPRD Provinsi Kalimantan Timur. Namun, massa aksi tetap tidak diperbolehkan masuk ke gedung.
Massa yang kecewa keluar dari halaman gedung dan menyobek baliho. Kemudian, menyegel gedung DPRD Provinsi Kalimantan Timur. Aksi terus dilanjutkan dengan orasi perwakilan lembaga yang menuntut pemerintah untuk pemulihan stabilitas negara, kedaulatan pangan dan energi, kesejahteraan tenaga kerja Indonesia dan pendidikan yang terjangkau, penegakan demokrasi dan menindak tegas pelaku pelanggar HAM.
Aksi-aksi yang menggunakan metode protes dengan mendatangi kantor-kantor pemerintahan dan mediasi dengan perwakilan komisi terkait ini adalah ciri khas dari gerakan moral yang berkembang sejak 1970an. Gerakan yang memposisikan diri sebagai “kekuatan moral” yang tidak tertarik dengan kekuasaan. Sayangnya gerakan yang mengaku tak tertarik pada persoalan kekuasaan ini turut memberikan legitimasi pada penggulingan soekarno dan penghancuran terhadap gerakan progresif.
Puncak gunung es dari Reformasi 98 adalah aksi pendudukan gedung MPR/DPR-RI dan turunnya Soeharto. Namun, di bawah itu semua dibangun tidak hanya dengan aksi satu hari saja. Melainkan, dari penyebaran ide-ide perlawanan baik berupa koran, buku, sampai pada diskusi-diskusi progresif. Hal inilah yang sampai hari ini seringkali dilupakan oleh gerakan mahasiswa. Pukul 16.30 Wita, aksi berakhir. Massa aksi satu persatu mebubarkan diri. (MT)
Comment here