Tentara pendudukan Israel membunuh 58 orang Palestina di Gaza pada hari Senin (14/5-ed), seiring puluhan ribu orang berdemonstrasi di sepanjang perimeter timur Gaza.
Jumlah korban jiwa pada hari Senin kemungkinan akan meningkat karena 70 orang berada dalam kondisi kritis dan rumah sakit Gaza berusaha keras mengobati jumlah korban yang demikian banyak.
Menteri kesehatan melaporkan hampir 2.800 orang terluka – hampir setengahnya akibat peluru tajam.
Dilancarkan menjelang Hari Al Nakba – dimana rakyat Palestina memperingati pembantaian etnis di tanah air mereka sebelum, saat dan setelah pendirian negara Israel pada Mei 1948 – demonstrasi tersebut kemungkinan merupakan protes terbesar yang pernah dilancarkan di Gaza.
Hari Senin menandai jumlah korban terbesar dalam satu hari di Gaza sejak serangan militer masif dari Israel yang mengakibatkan korban jiwa lebih dari 2.200 orang pada musim panas 2014, dan dikatakan merupakan jumlah terbesar demonstran yang menjadi korban fatal dalam satu hari di Gaza sejak intifada pertama mulai 30 tahun lalu.
Demonstrasi akan berlanjut di hari Selasa.
Protes hari Senin dilancarkan di bawah slogan demonstrasi “Great March of Return”, yang dimulai pada 30 Maret, ketika rakyat Palestina merayakan Hari Tanah. Protes enam minggu ini awalnya direncanakan untuk memuncak saat Hari Al Nakba.
Hampir 100 orang Palestina, termasuk 12 anak-anak, dibutuh oleh tentara Israel saat protes Great March of Return sejak 30 Maret.
Sementara pejabat Amerika dan Israel merayakan pembukaan kantor kedutaan besar AS di Yerusalem – yang melanggar undang-undang internasional – penembak jitu tentara pendudukan menembaki anak-anak, paramedis dan jurnalis dan angkatan udaranya membom beberapa sasaran di sepanjang Gaza pada hari Senin.
Lima anak-anak termasuk di antara mereka yang dibantai.
Tambahannya, menteri kesehatan melaporkan bahwa seorang bayi berumur 8 bulan meninggal dunia akibat menghirup gas air mata.
Kelompok hak asasi manusia Palestina Al Mezan melaporkan bahwa 42 orang yang dibunuh ikut serta dalan protes damai ketika mereka mengalami luka-luka pada hari Senin.
Paramedis bernama Mousa Jaber Abu Hassanein termasuk di antara yang dibunuh.
Lima belas orang Palestina, termasuk dua anak-anak, dibunuh ketika tentara Israel menembakan peluru artileri dan menembaki kerumunan massa di timur Jabaliya di bagian selatan Jalur Gaza, menurut Al Mezan.
Israel mengklaim bahwa tentaranya membunuh tiga orang militan yang berusaha menempatkan peledak di dekat pagar pembatas Gaza-Israel dekat perlintasan Rafah dengan Mesir.
Koordinator humanitarian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jamie McGoldrick menyatakan bahwa dokter di al-Shifa, rumah sakit terbesar Gaza, “kewalahan, mengatasi ratusan kasus luka-luka, termasuk perempuan dan anak-anak. Mereka dipaksa sampai batas kemampuannya dan kehabisan suplai obat-obatan penting.”
Dia menambahkan, “Yang sangat mengkhawatirkan adalah rumah sakit umum di Gaza memiliki cadangan bahan bakar kurang dari seminggu untuk melanjutkan pekerjaan mereka.”
Menteri kesehatan Gaza mengeluarkan seruan mendesak donor darah untuk menyelamatkan nyawa mereka yang terluka.
Pada hari Senin, militer Israel melaporkan korban luka pertamanya sejak protes Great March of Return mulai. Seorang tentara terluka ringan dan dibawah ke rumah sakit untuk dirawat, korban pertama Israel akibat protes, menurut United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs.
Tentara Israel melukai hampir 13.000 rakyat Palestina saat protes Great March of Return, dan 6.800 orang yang terluka membutuhkan perawatan di rumah sakit, lebih dari setengahnya disebabkan oleh peluru tajam.
Jason Cone, direktur AS dari Doctors Without Borders, menyatakan pada hari Jumat, “Meskipun tidak ada perang di Gaza, luka-luka yang diderita oleh pasien kami sangat mirip dengan apa yang kami lihat di daerah konflik”, dengan lubang keluar tembakan peluru sebesar kepalan tangan dan “tulang…hancur menjadi debu”.
Menteri kesehatan Gaza menyerukan Mesir untuk menyediakan rumah sakitnya dengan obat-obatan dan suplai medis darurat dan untuk memungkinkan perpindahan pasien yang membutuhkan perawatan khusus yang tidak tersedia di Jalur Gaza.
Penulis dan akademisi yang berbasis di Gaza Refaat Alareer, yang hadir di protes hari Senin, mengatakan kepada Electronic Intifada Podcast bahwa “setiap menit, kau dapat mendengar tembakan di sana sini, dan kemudian orang akan jatuh”.
Sepuluh orang jurnalis terluka pada hari Senin dalam apa yang diamati Al Mezan sebagai eskalasi serangan ditargetkan dari militer Israel terhadap anggota pers yang meliput protes Great March of Return.
Jurnalis foto Yasir Qudih, yang karyanya sering muncul di The Electronic Intifada, mengalami luka kritis. Qudih telah mengambil foto ikonik seorang demonstran menggunakan raket tenis meja untuk memukul balik tabung gas air mata saat demonstrasi awal bulan ini.
Jurnalis yang lainnya, Motasem Dalloul, dilaporkan berjuang bertahan hidup setelah ditembak oleh tentara Israel saat meliput protes pada hari Jumat.
UN High Commissioner for Human Rights mengutuk “pembunuhan mengejutkan puluhan orang” di Gaza, menyerukan “mereka yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang kasar” harus dimintai pertanggungjawaban.
Gambar-gambar yang kontras dari para pejabat AS dan Israel merayakan pembukaan kantor kedutaan besar Yerusalem dengan rakyat Palestina menjadi sasaran kekerasan brutal di Gaza mendorong cibiran banyak orang di media sosial.
Washington menyalahkan Palestina karena kematiannya sendiri sementara presiden Donald Trump, yang anak perempuannya dan menantu laki-lakinya memimpin pembukaan kantor duta besar Yerusalem, memberikan selamat kepada Israel atas apa yang mereka sebut sebagai “hari besar”.
“Tanggung jawab atas kematian tragis ini berada sepenuhnya pada Hamas”, deputi sekretaris pers Gedung Putih Raj Shah katakan saat jumpa pers pada hari Senin. “Hamas dengan sengaja dan sinis memprovokasi tanggapan ini dan… Israel memiliki hak untuk membela dirinya sendiri”.
Pernyataan Gedung Putih menggemakan poin pernyataan pemerintah Israel, dengan perdana menteri Benjamin Netanyahu bersikeras pada hari Senin bahwa “Hamas dengan jelas mengatakan niatnya untuk menghancurkan Israel dan mengirim ribuan orang menerobos perbatasan untuk niat tersebut. Kita akan terus bertindak tekad untuk mempertahankan kedaulatan dan penduduk kami.”
Menteri keamanan publik Israel Gilad Erdan – yang pengalamannya sebagai menteri termasuk mensabotase gerakan global boikot, divestasi dan sanksi dalam mendukung hak rakyat Palestina – menyalahkan kepemimpinan Hamas dan apa yang dia sebut sebagai “penggunaan pertumpahan darah yang sinis dan jahat”.
Dia meremehkan meningkatnya jumlah korban protes Gaza, menyatakan bahwa itu “tidak menunjukan apapun – seperti juga jumlah Nazi yang mati di perang dunia tidak membuat Nazisme itu sebagai sesuatu yang bisa kau jelaskan atau pahami”, menurut Haaretz.
Sementara itu Uni Eropa mengambil kesamaan palsu antara sipil tak bersenjata yang melakukan protes di Gaza dengan kekuatan bersenjata kuat yang mempertahankan 11 tahun blokade dan setengah abad penduduk militer di teroritori tersebut.
Berkebalikan dengannya, Afrika Selatan, menarik duta besarnya dari Israel, mengutuk “sangat keras” kekerasan terhadap rakyat Palestina di Gaza.
Turki menarik utusannya dari Israel maupun AS dalam protes terhadap langkah AS memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Empat kelompok hak asasi manusia Palestina pada hari Senin menyerukan Dewan Keamanan PBB untuk menyelenggarakan sesi darurat dalam merespon kekerasan Israel di Gaza dan menuntut Israel segera membuka penutupan dan blokadenya.
Kelompok-kelompok tersebut menyerukan Dewan Keamanan untuk “menjalankan semua pilihan untuk melindungi penduduk Palestina” dan melakukan penyelidikan independen dan imparsial terhadap penggunaan kekuatan mematikan oleh Israel terhadap demonstran Great March of Return.
Kelompok hak Israel B’Tselem menyatakan bahwa “Fakta bahwa peluru tajam kembali merupakan langkah satu-satunya yang digunakan oleh militer Israel di lapangan menunjukan ketidakpedulian terhadap nyawa manusia di pihak pejabat senior militer dan pemerintahan Israel”.
B’Tselem menegaskan kembali seruannya untuk para prajurit agar “menolak mematuhi perintah menembak yang nyata-nyata melanggar hukum”.
Menurut media Israel, prajurit diperintahkan “untuk mencegah para demonstran untuk melintas ke Israel apapun caranya, termasuk menggunakan peluru tajam”.
Jika ada orang Palestina yang berhasil melintasi batasan, Haaretz melaporkan, “perintahnya adalah untuk menembak langsung mereka dengan maksud untuk mengenainya, untuk mencegah mereka masuk ke komunitas ini”.
Sarah Leah Whitson dari Human Rights Watch menyatakan bahwa kebijakan melepaskan tembakan Israel “menghasilkan pertumpahan darah yang sudah dapat diperkirakan oleh siapapun”.
Pada senin pagi, militer menjatuhkan leaflet di Gaza memperingatkan rakyat Palestina bahwa mereka mempertaruhkan nyawanya dengan terlibat dalam protes.
Al Mezan melaporkan bahwa militer telah meratakan bukit pasir yang dibangun oleh para demonstran untuk berlindung dari tembakan Israel, “menunjukan niat dari militer untuk meningkatkan visibilitas dengan tujuan untuk menargetkan demonstran”.
Kelompok hak juga melaporkan bahwa awal Senin pagi militer menggunakan pesawat tanpa awak-drone untuk membom-api tenda lapangan medis. Sehari sebelumnya Israel menolak tim dokter dari Tepi Barat untuk masuk ke Gaza.
Dua pertiga populasi Gaza sekitar dua juta rakyat Palestina adalah pengungsi dari tanah dimana negara Israel dideklarasikan pada tahun 1948. Israel telah lama mencegah pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah dan rumah mereka karena mereka bukan Yahudi.
Diterjemahkan oleh Dipo Negoro, kader KPO PRP.
Comment here