Perspektif

Bangun Solidaritas Rakyat-Pekerja Lintas Agama, Lawan Fundamentalisme dan Terorisme

Minggu pagi 13 Mei 2018, ketika sebagian umat Kristiani Surabaya bersiap melakukan ibadah misa pagi, setidaknya tiga gereja di Surabaya dibom. Malam harinya bom juga meledak di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo. Diduga perakit bom meledakkan diri saat tim Penjinak Bahan Peledak (Jihandak) mendeteksi mereka dan berhasil mengevakusi para warga. Berikutnya Senin 14 Mei 2018 Jam 08.50 Mapolrestabes Surabaya juga dibom. Rentetan bom itu diduga dilakukan kelompok Teroris-Fundamentalis, Jamaah Ansharut Daulah (JAD)—faksi pendukung ISIS terbesar di Indonesia. Mereka terdiri dari pengikut ideolog pro ISIS, Aman Abdurrahman dan Jamaah Anshorul Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Baasyir. Serangan ini membunuh 28 orang tewas dan melukai 57 orang, termasuk di antaranya anak-anak.

Kami segenap kader KPO PRP dan kru Arah Juang menyatakan berduka dan belasungkawa kepada para korban Terorisme-Fundamentalisme di Surabaya.

Kemarahan atas kebiadaban terorisme, frustasi, penderitaan serta kesedihan mengetahui yang sudah hilang tidak akan kembali, bercampur jadi satu. Kita harus mengarahkan semuanya menjadi keteguhan untuk melawan dan menghancurkan terorisme serta fundamentalis agama hingga ke akar-akarnya. Langkah pertamanya adalah memahami terorisme yang berkembang saat ini.

AKAR, PERKEMBANGAN dan BASIS KELAS TERORISME-FUNDAMENTALISME

Terdapat anggapan bahwa fundamentalisme seolah perkembangan alami dari ajaran-ajaran agama. Bahwa ajaran-ajaran agama berkaitan dengan prinsip-prinsip, perspektif politik, hingga tindak tanduk kelompok fundamentalis. Bahwa apa yang dilakukan kelompok fundamentalis merupakan cermin dari agama itu sendiri. Pandangan ini dikembangkan Samuel Huntington dengan tesis “benturan peradaban”. Pandangan rasis ini sejatinya digunakan baik oleh kelompok teroris-fundamentalis maupun kelas borjuis itu sendiri. Mereka semua menggunakan agama untuk kepentingan ekonomi politik mereka sendiri.

Kelompok teroris-fundamentalis terus menerus mengampanyekan seolah Islam dianiaya oleh Yahudi, Kristenm ataupun agama lainnya. Sementara kaum Imperialis di AS menggunakan Manifest Destiny, mengklaim bahwa sudah takdir mereka untuk berkuasa, sebagai pembenaran penjajahan mereka. Fasis NAZI Jerman menyalahgunakan tafsiran sesat Protestanisme dicampur dengan okultisme untuk menyokong mitos kejayaan masa lalu demi landasan cita-cita imperiumnya. Ronald Reagan kecanduan tarot dan menyokong kaum fundamentalis untuk menggulingkan pemerintahan Afghanistan serta melawan Uni Soviet yang diklaimnya perang suci melawan kerajaan setan. George W. Bush menginvasi Afghanistan dan Irak dengan dalih Perang Salib melawan Poros Setan.

Kemunculan Fundamentalisme Islam adalah produk dari berbagai perkembangan politik dan ekonomi khusus. Terorisme-Fundamentalisme merupakan hasil dari intervensi dan dominasi Imperialis. Kekuatan Imperialis (terutama sekali AS) memainkan peran aktif dalam memelihara, mendanai serta mendukung kelompok-kelompok Teroris-Fundamentalis. Kelompok-kelompok itu digunakan untuk melawan kelompok nasionalis ataupun kiri, terutama pasca Perang Dunia Kedua. Kelompok-kelompok teroris-fundamentalis tersebutlah yang kemudian merebut atau mengisi kekosongan politik yang ditinggalkan oleh kelompok nasionalis dan kiri. (Baca: Fundamentalisme 101, Arah Juang edisi 24, I-II Juli 2017)

Ada faktor internasional dan nasional yang mempengaruhi letupan serangan Teroris-Fundamentalis saat ini. Faktor internasional yang mempengaruhi adalah dipukul mundurnya kekuasaan ISIS di Suriah dan Irak. Kaum Fundamentalis yang awalnya memobilisasi dan memusatkan diri ke Suriah dan Irak kemudian berpencar. Perpencaran di Asia Tenggara utamanya terjadi ke Filipina. Namun dengan dipukulnya kaum Fundamentalis oleh rezim Duterte, perpencaran ini lalu mengarah ke Indonesia. Faktor lainnya adalah meningkatnya kereaksioneran imperialisme. Rezim Trump yang terang-terangan mendukung Zionisme Israel menyatakan klaim Yerusalem ibukota Israel. Ini bahan bakar serangan kaum fundamentalis. Peresmian Kedubes AS untuk Israel di Yerusalem bisa dijadikan momentum serangan Teroris-Fundamentalis ke simbol-simbol peradaban Barat-AS.

Namun rangkaian pengeboman ini bukan hanya peningkatan Terorisme-Fundamentalisme. Juga bukan hanya terkait penolakan gugatan HTI di Mahkamah Konstitusi serta Pemberontakan Fundamentalis di Mako Brimob. Melainkan kelanjutan dari politik rasis serta kebigotan yang digunakan kubu-kubu politisi borjuis untuk saling bertarung dan berebut kekuasaan.

Kaum nasionalis kiri dan sosialis semakin naik dan membesar pasca Kemerdekaan. Kaum Kanan Reaksioner tidak mampu mengalahkan argumen teori dan praktik Kiri yang berlandaskan Anti-Imperialisme, Anti-Kapitalisme, dan Anti-Feodalisme, maka mereka menggunakan argumen kasar dengan fitnah-tuduhan kafir, atheis, anti-agama, diktator, otoriter, dan sebagainya. Kanan Reaksioner ini dibekingi imperialis. Mulai dari pemberontakan PRRI yang dipimpin para pentolan Masjumi bersama militer sampai pembantaian 65. Dalam masa Orba, intelijen juga berperan soal kelompok Teroris-Fundamentalis Komando Jihad. Saat senjakala Orba, militer di bawah komando Wiranto juga membentuk Pam Swakarsa dengan merekrut elemen-elemen terbelakang yang dibohongi bahwa para demonstran mahasiswa anti-Sidang Istimewa (SI) itu orang-orang anti-agama yang hendak merobohkan negara. Selain itu waktu Presiden Abdurrahman Wahid berseteru dengan kubu militerisme penentangnya, militerisme membentuk, mendanai, melatih, mempersenjatai, dan memfasilitasi Laskar Jihad untuk konflik-konflik sektarian di berbagai daerah.

Rasisme terhadap Tionghoa, orang Indonesia Timur, dan Papua terus dipelihara dan digunakan. Bulan Mei ini, dua dekade yang lalu kita melihat bagaimana rezim Soeharto yang di ambang krisis, memunculkan isu rasisme untuk mempertahankan kekuasaannya. Orang-orang Tionghoa dikambinghitamkan atas krisis 98 yang memuncak pada Pogrom atau penyerangan, penjarahan, pembakaran, pembunuhan, dan pemerkosaan massal  berdasarkan rasisme anti-Tionghoa di Mei 1998. Lalu demi membenarkan penyerangan dan pembunuhan di LP Cebongan, rasisme ke orang Indonesia Timur dikembangkan. Demikian juga rasisme terhadap Papua diperbesar untuk memperkuat penindasan terhadap bangsa Papua.

Aksi 411 dan 212 kemarin dengan semua rasismenya juga tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kubu SBY, Prabowo dan militer entah untuk memenangkan Pilkada DKI, menggoyang Jokowi, ataupun terbebas dari Pengadilan HAM. Menurut Allan Nairn dalam tulisannya “Trump’s Indonesian Allies in Bed With ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President”, Wiranto dan Hendropriyono yang berada di kubu Jokowi juga menggunakan 411 dan 212 agar mereka, serta jenderal pelanggar HAM lainnya, tidak diadili di Pengadilan HAM.

Mendekati Pilkada 2018 ini para elit politik dari kubu manapun juga kembali menggunakan agama untuk kepentingan politik mereka. Satu persatu mereka akan berkeliling mendatangi para pemimpin agama dan meminta dukungan mereka. Mereka kemudian berlomba-lomba menawarkan program gelontoran dana ke berbagai institusi agama. Sementara itu industri media massa terus menerus menayangkan atau membuat film dengan tema-tema agama demi rating dan modal. Termasuk mengundang pemuka-pemuka agama yang secara terbuka menganjurkan terorisme.

Khusus saat ini, aksi-aksi dalam jangka pendek yang dilakukan di Indonesia adalah aksi terorisme. Pengeboman, pembunuhan, penembakan, dan sebagainya. Bukan perebutan instalasi militer atau pusat pemerintahan. Meskipun dalam jangka panjang mereka tetap menghendaki pendirian negara agama dengan penerapan hukum agama. Namun tujuan jangka pendeknya lebih merupakan pembelahan antara penganut dan non-penganut agama mereka serta pertentangan bahkan permusuhan di antara keduanya. Alih-alih mengalahkan thaghut yaitu negara penindas dan alat represinya, tindakan teroris justru memperkuatnya. Setelah terjadi serangan teroris biasanya muncul histeria untuk memperkuat kekuasaan negara dan membatasi hak-hak demokratis.

Fundamentalisme dan Krisis di Antara Borjuis Kecil

Rangkaian serangan teroris-fundamentalis belakangan ini membantah asumsi seolah selama ini yang terseret fundamentalisme adalah kaum miskin. Para pelaku ternyata dari kelas menengah atas. Borjuis kecil terus menerus tergencet pertarungan antara kelas borjuis dan proletariat. Borjuis kecil bercita-cita jadi borjuis besar tapi membenci perusahaan-perusahaan besar yang menghancurkan usaha mereka. Sisi lain, mereka memandang hina kelas buruh tapi mereka sendiri terus menerus terdesak jadi kelas buruh. Di tengah situasi krisis saat ini, bumi yang dipijak oleh borjuis kecil semakin berguncang. Mereka, walaupun banyak darinya mengenyam pendidikan tinggi, menjadi mudah menerima ide-ide reaksioner, rasis, bigot, tak masuk akal, ilusif, mistis dan kontradiktif. Emosi mendominasi. Semua masalah seolah akibat konspirasi Barat, Yahudi dan kafir; kita ditindas dan dipermalukan; agama dan budaya kita dizalimi. Kita harus menyingkirkan para kafir dan kembali ke gaya hidup zaman nabi. Seperti orang sedang tenggelam, mereka akan menarik apapun yang bisa dipegang.

Itu kenapa bahwa banyak penyebar hoax, pendukung rasisme, bigot termasuk kelompok-kelompok teroris-fundamentalis merupakan borjuis kecil. Mayoritas kelas menengah Indonesia mendukung konservatisme serta otoritarianisme. Banyak penyebar hoax malah dari latar belakang dosen, guru ataupun pegawai negeri sipil yang selama ini dianggap golongan terpelajar. Malah belasan kampus menjadi basis bagi kelompok-kelompok fundamentalis serta hampir 40 persen mahasiswa mendukung ideologi fundamentalis.

Kelas Borjuis Menyetir Kepanikan, Mendorong Reaksi Kalap

Rangkaian serangan Terorisme-Fundamentalisme ini kemudian dimanfaatkan faksi borjuis yang berkuasa: rezim Jokowi, untuk memperkuat dukungan politiknya. Kepanikan disetir untuk memunculkan histeria aparat-mania dan reaksi kalap. Seruan-seruan agar aparat mengabaikan HAM, menembak mati teroris di tempat, diiringi dengan tanda pagar (tagar) #KamiBersamaPolri, bahkan juga desakan untuk segera mengesahkan UU Terorisme, memasukkan kurikulum Bela Negara  mengembalikan Penataran P4, slogan NKRI Harga Mati, ramai terdengar di berbagai status maupun kolom komentar media-media sosial. Semua histeria yang pada intinya mengarah pada penguatan aparat negara borjuis. Histeria yang memperkuat sisi lain ideologi ultra kanan, yaitu sauvinisme.

Persoalan demi persoalan menumpuk dua dekade pasca Reformasi 1998. Karena memang kelas borjuis yang berkuasa tak mampu memberikan solusi. Semua faksi tersebut, entah kubu Jokowi ataupun Prabowo menyalahkan hasil-hasil perjuangan rakyat. Mereka mengatakan demokrasi kebablasan dan dalam persoalan terorisme mereka mengatakan bahwa karena Hak Asasi Manusia (HAM) maka pemberantasan terorisme terhambat.

Ini penipuan! Jutaan orang dibantai saat Malapetaka 1965, invasi ke Timor Leste dan setelahnya, Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Papua, Tanjung Priok, pembunuhan Marsinah, Penculikan Aktivis, pembunuhan Munir, pembunuhan Theys, hingga pembunuhan yang terus terjadi di Papua, dan lainnya, tidak satu sentipun keadilan dan kebenaran sejati diberikan oleh Rezim Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY maupun Jokowi.

Terorisme-Fundamentalisme berkembang bukan karena terlalu banyak demokrasi, bukan karena adanya pengakuan terhadap HAM. Justru karena kurangnya demokrasi dan HAM bagi rakyat. Sedangkan di sisi lain justru karena terlalu banyak kebebasan bagi penindasan serta kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh kelas borjuis, terhadap kelas buruh dan rakyat. Termasuk kejahatan mereka dalam menunggangi fundamentalisme demi kepentingannya sendiri. Entah itu untuk menyerang musuhnya atau untuk memecah belah rakyat, anjing penyerang peliharan penindas ini kemudian bisa berbalik menggigit tuannya, bahkan bisa menjadi anjing gila yang menyerang siapa saja. Termasuk menyerang rakyat tertindas dan atau umat beragama yang tidak berdosa.

Kita juga bisa melihat sejak serangan 11 September, hampir 20 tahun yang lalu, bahwa terorisme tidak bisa dilawan dengan penguatan aparat negara borjuis. Imperialisme Amerika Serikat (AS) dengan sekutunya, dengan seluruh kekuatan militernya tidak bisa menghilangkan terorisme.

Justru setelah deklarasi Perang Melawan Teror, dunia semakin bergejolak. Demokrasi di negara-negara Imperialis sendiri mulai diberangus; lebih banyak pengawasan, mata-mata, dsb. Berbagai perjanjian internasional seperti Protokol Kyoto, Perjanjian Anti Peluru Kendali, Perjanjian International Court of Justice, dsb dicabut secara sepihak. Kekejian Al-Qaeda ditambah dengan kebiadaban ISIS. Peluru tentara darat Bush digantikan dengan rudal drone Obama. Jutaan orang di Timur Tengah dan berbagai belahan dunia lainnya kehilangan nyawa, cacat atau mengungsi; dalam perang yang katanya bertujuan untuk mempertahan kebebasan dan perdamaian dunia; dalam perang yang hingga kini tidak kunjung usai.

Dukungan terhadap UU Terorisme adalah dukungan terhadap remiliterisasi. UU Terorisme penuh pasal karet yang bukan hanya melanggar HAM dan demokrasi tapi juga mengkriminalisasi dan merepresi rakyat. Potensinya sudah terlihat dengan tidak jelasnya definisi perbuatan dan pemikiran “keras atau ekstrem”, penyalahgunaan “deradikalisasi” sebagai bentuk penyekapan, pelibatan TNI, terdapat juga potensi penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang selama proses penangkapan serta penyadapan tanpa aturan yang jelas. Sementara di sisi lain korupsi dan kekuasaan bahkan juga kejahatan maupun pelanggaran HAM aparat kepolisian maupun militerisme tetap sulit disentuh apalagi diadili.

Di sisi yang lain pengguna terorisme bukanlah hanya kaum Fundamentalis Agama. Namun juga terdapat aktor lainnya: negara. Terorisme-Negara atau State Terrorism. Terorisme itu sendiri didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan sebagai cara atau metode utama untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik). Terorisme Negara adalah terorisme yang dilakukan oleh aktor-aktor negara. Ini hakiki dan tak terlepaskan dari negara yang merupakan badan khusus bersenjata yang merupakan pengorganisiran kekerasan dari suatu kelas terhadap kelas lainnya. Bukan hanya memonopoli kekerasan secara utama, negara juga berkepentingan menjalankan terorisme dari satu waktu ke waktu lain bila dianggap perlu. Aparat Indonesia tidak terkecuali.

Kontra-revolusi 65 yang dikomandoi Angkatan Darat di bawah pimpinan Soeharto mensponsori teror putih. Bersama berbagai gerombolan reaksioner, mereka mengorganisir penangkapan, penculikan, pembakaran, penghancuran, penyiksaan, pembantaian, perbudakaan, pemerkosaan, bahkan perbudakan seks. Rezim Orba juga mensponsori terorisme terhadap pemerintahan Freitilin di Timor Leste yang baru merdeka dari Portugal, dengan mendanai, melatih, mempersenjatai kelompok-kelompok teror subversif. Selain itu laporan-laporan investigasi atas penjarahan, pembakaran, dan pemerkosaan anti-Tionghoa secara massal tahun 1998 mengindikasikan keterlibatan aparat dalam menghasut, mengarahkan penjarahan, membakar, dan mengomandoi berbagai kejahatan seksual. Bahkan lebih parah, mayoritas tindak terorisme negara ini banyak yang tidak terungkap, apalagi diadili dan dihukum tuntas.

Impunitas atau kekebalan hukum baik di tataran pelaku, otak kejahatan, maupun institusi serta masih banyak berkuasanya sisa-sisa rezim kediktatoran militer Orba bukan hanya menjadi penghalang besar penegakan HAM, demokrasi, dan kesejahteraan. Namun juga penyebab pelanggaran-pelanggaran HAM bahkan terorisme negara demikian terus diulangi lagi. Kejahatan yang tidak dihukum akan terus membiak seperti parasit.

APA YANG HARUS DILAKUKAN?

Pasca serangan bom, ratusan orang bergerak ke rumah sakit untuk mendonor darah. Umat Islam dari berbagai kelompok mendatangi beberapa gereja dan menyampaikan bela sungkawa serta dukungan. Solidaritas rakyat pekerja lintas agama, suku, ras, jenis kelamin serta orientasi seksual adalah yang kita butuhkan. Melawan Terorisme-Fundamentalisme dengan mendukung Terorisme-Negara, militerisme ataupun sauvinisme ibarat keluar mulut buaya masuk mulut harimau.

Ideologi, politik dan organisasi teroris-fundamentalis berkembang karena didukung dan diberikan ruang oleh kelas borjuis. Pada saat bersamaan ideologi kiri seperti Marxisme justru terus menerus direpresi. Dengan begitu, di tengah kesengsaraan tidak ada jalan keluar yang terlihat oleh kelas buruh dan rakyat. Hanya Marxisme yang mampu memberikan gambaran jalan keluar bagi kelas buruh dan rakyat dari seluruh penindasan, perang, kemiskinan, kesengsaraan akibat imperialisme dan kapitalisme.

Solidaritas rakyat pekerja tersebut akan memperjuangkan perdamaian dunia dengan mengambil sikap politik luar negeri yang anti imperialis. Menolak seluruh intervensi dan perang Imperialis, mendukung kemerdekaan Palestina serta membangun kerjasama internasional berdasarkan atas solidaritas dan kemanusiaan bukan pasar bebas dan intervensi militer.

Kebebasan berideologi (termasuk Marxisme), berorganisasi, berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat serta hak demokratis lainnya harus dipertahankan dan diperluas. Termasuk membentuk laskar-laskar untuk mempertahankan diri dari serangan kelompok-kelompok reaksioner. Para jenderal pelanggar HAM dan pemelihara teroris harus ditangkap dan diadili oleh rakyat.

Agama dipisahkan dari politik dan menjadi urusan pribadi. Apa agama, kepercayaan dan ibadah yang mau dianut (atau bahkan tanpa menganut itu semua) oleh seseorang itu adalah kebebasan mutlak orang tersebut. Diskriminasi ataupun kriminalisasi karena agama, kepercayaan dan ibadah yang dianut tidak dapat ditolerir. Semua produk hukum yang berdasarkan atas agama, yang menghukum orang karena keyakinan ataupun ketidak-yakinannya harus dihapuskan. Kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah harus dijamin sepenuhnya. Bahkan pencantuman kolom agama dalam KTP juga harus dibatasi. Tidak boleh ada subsidi dari negara kepada organisasi agama apapun, seperti MUI. Demikian juga menghapus pelajaran agama dalam institusi dan kurikulum pendidikan milik negara. Semua organisasi, institusi, lembaga, yayasan, dan sebagainya yang berdasarkan atas agama harus independen dari negara serta merupakan perkumpulan bebas dari orang-orang yang sepemahaman.

Redistribusi kekayaan nasional dilakukan antara lain dengan menasionalisasi aset-aset strategis serta pajak progresif untuk pendidikan dan kesehatan gratis di bawah kontrol demokratis rakyat-pekerja. Inilah solusi problemnya.

Secara umum, problem ini diakibatkan tatanan masyarakat kelas. Selama ada sistem penindasan dan kelas penghisap yang berkuasa, maka selama itulah mereka akan menggunakan segala cara untuk membenarkan tiraninya, baik itu memakai ideologi, budaya, maupun menyalahgunakan agama.

Untuk membangun solidaritas rakyat pekerja, untuk memperjuangkan perdamaian dunia, untuk memperjuangkan demokrasi, untuk melawan terorisme-fundamentalisme, sauvinisme, militerisme, kapitalisme serta imperialisme, untuk membangun sosialisme maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah bergabung dalam kekuatan politik revolusioner. Kami mengajak kaum buruh, intelektual, mahasiswa serta kaum muda untuk bergabung ke KPO PRP dan bergabung dalam perjuangan untuk sosialisme.

 

*Brosur Propaganda ini diterbitkan oleh Biro Ideologi Kongres Politik Organisasi-Perjuangan Rakyat Pekerja (KPO-PRP). Organisasi politik buruh-sosialis. Kunjungi situs resmi kami di www.arahjuang.com

Loading

Comment here