Selasa (6/3) diselenggarakan sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Bantul terkait kasus persekusi, penyerangan serta pembubaran diskusi dan pameran lukisan Widji Thukul di Pusat Studi HAM (Pusham) UII oleh Pemuda Pancasila (PP). Agenda sidang kali ini adalah pemeriksaan saksi yang menghadirkan tiga orang saksi. Mereka adalah Eko Riyadi selaku Direktur Pusham UII, Andreas Iswinarto selaku seniman karya lukisan Widji Thukul serta Tri Guntur Narwaya staf Pusham UII. Terdakwa dalam kasus ini adalah Doni Abdul Ghani, Ketua Musyawarah Pimpinan Cabang (MPC) PP Bantul.
Para saksi menceritakan pembubaran yang dilakukan oleh PP pada 8 Mei tahun lalu. PP mencopoti karya-karya lukisan Widji Thukul serta memaksa membubarkan diskusi. Sempat juga terjadi kontak fisik serta ancaman yang dilakukan oleh PP seperti “saya hapalin kamu” juga ancaman pembakaran kantor Pusham UII.
Sidang kali ini juga dihadiri oleh kelompok reaksioner seperti Pemuda Pancasila (PP), Paksi Katon, Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-POLRI (FKPPI), Front Jihad Islam (FJI) dan Front Anti Komunis Indonesia (FAKI). Sepanjang sidang mereka melakukan intimidasi bahkan sweeping terhadap pengunjung sidang. Seorang mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) sempat mengalami intimidasi, dimintai identitas serta diusir dari PN Bantul. Mahasiswa tersebut juga mengalami ancaman “aku hafal muka kamu yah”.
Kelompok reaksioner tersebut juga melakukan intimidasi terhadap para saksi yang diperiksa. Ketika Tri Guntur dari Pusham UII selesai memberikan kesaksiannya, mereka meneriaki “huuu” dan “komunis”. Sementara itu Andreas diteriaki “Komunis, PKI, PKI Mati”. Ketika sidang selesai, kelompok reaksioner tersebut berteriak-teriak “PKI….Mati, PKI….Mati”.
Massa solidaritas yang hadir juga mendapatkan informasi bahwa terjadi kekerasan fisik dari kelompok reaksioner. Saksi Eko dan Andreas ditendang dan didengkul kakinya saat memasuki ruang sidang.
Aparat kepolisian terlihat berdiam diri, beberapa dari aparat kepolisian terlihat berbincang hangat dengan kelompok reaksioner tersebut. Hubungan dekat antara polisi dengan kelompok reaksioner bukan kali ini saja. Dalam banyak kesempatan polisi melindungi ataupun membantu kelompok-kelompok reaksioner tersebut.
Pasca 212 dan 411, Rejim Jokowi-JK menguatkan nasionalisme untuk melawan perkembangan fundamentalisme agama. “NKRI Harga Mati” ataupun “Pancasila” digunakan untuk melawan kelompok fundamentalis agama yang menggunakan isu rasis dan sentimen agama.
Jusuf Kalla mengatakan bahwa PP adalah organisasi “preman” (yang dibutuhkan). Dalam film “Jagal” karya Joshua Oppenheimer, ditunjukan bahwa PP terlibat dalam pembantaian jutaan orang pendukung Soekarno dan PKI. Mereka gemar memalak pengusaha-pengusaha Tionghoa. Semuanya berlindung di balik teriakan mereka: “Pancasila Jaya”.
Sementara itu FJI adalah kelompok reaksioner yang bertanggung jawab atas pembubaran acara bakti sosial yang diselenggarakan oleh Gereja Katolik St Paulus Pringgolayan, Banguntapan, Bantul. Dua tahun lalu FJI melakukan pembubaran terhadap Pesantren Waria serta acara Lady Fast di Yogyakarta. Tiga tahun lalu FJI membubarkan acara perkemahan Gereja Advent Surakarta di Cangkringan, Sleman.
Ini menunjukan bahwa nasionalisme, rasisme serta fundamentalis agama dapat saling berkelindan dan bekerjasama. Di balik semua teriakan kelompok reaksioner mengenai “NKRI Harga Mati”, “Pancasila”, “nasionalisme”, “kebhinekaan”, “satu bangsa”, dsb kekuasaan Rejim Militer Soeharto yang didukung oleh PP justru mengembalikan cengkraman Imperialisme. Kelompok reaksioner yang menggunakan topeng nasionalisme bekerjasama dengan kelompok reaksioner yang menyebarluaskan rasisme, mengadu domba rakyat atas dasar agama dan sukunya.
Dua kubu kelompok reaksioner tersebut sama saja jika berurusan dengan menindas kelas buruh dan rakyat.
Sementara polisi terus menerus memburu dan menangkapi mereka yang menyebarluaskan hoax kemunculan kembali PKI, sidang kemarin dipenuhi dengan hoax tersebut. Memang Malapetaka 1965 adalah periode yang terus disembunyikan oleh para elit politik dan jenderal-jenderal. Ini tidak terlepas karena para elit politik dan jenderal tersebut bisa kaya raya, memiliki jabatan dan dihormati saat ini karena Malapetaka tersebut. Di sisi yang lain, pengungkapan hoax 65, PKI dan Komunisme justru akan mengungkap siapa penjahat, pembunuh dan pemerkosaa sebenarnya. Ketika kelas buruh dan rakyat bisa memahami kebenaran maka mereka akan menjadi kekuatan besar yang akan melumpuhkan para elit politik dan jenderal-jenderal tersebut.
Dalam sidang kemarin juga muncul solidaritas dari berbagai kelompok yang tergabung dalam Aliansi Perjuangan Demokrasi. Selama beberapa tahun terakhir telah dilancarkan perlawanan terhadap kelompok reaksioner dan banyak pelajaran yang bisa didapatkan.
Salah satu hambatan adalah kepercayaan besar, bahkan di kalangan aktivis, terhadap penyelesaian melalui jalur hukum dan berharap pada pihak kepolisian untuk menghadapi kelompok reaksioner.
Memang mobilisasi solidaritas kali ini masih kecil dan kalah jumlah dari mobilisasi kelompok reaksioner. Namun, bertentangan dengan pandangan yang menganggap bahwa kita bisa berdiam diri dahulu ataupun bersembunyi, perlawanan itu dibangun! Tidak mungkin adalah perlawanan besar terhadap kelompok reaksioner, rasisme, fasisme ataupun sauvinisme tanpa membangunnya sedari kecil. Meyakinkan individu maupun massa atas kebutuhan solidaritas, mempertahankan ruang demokrasi dan melawan kelompok reaksioner dengan kekuatan kelas buruh dan rakyat sendiri. (rf, al)
Comment here