TENTANG PERSOALAN YANG DIHADAPI KAUM TIONGHOA
Imlek, Tionghoa-Indonesia, Perjuangan Demokratis-Nasional, dan Sosialisme
Segenap anggota Kongres Politik Organisasi Perjuangan Rakyat Pekerja (KPO PRP) dan seluruh staf koran Arah Juang mengucapkan selamat tahun baru Imlek bagi seluruh kaum Tionghoa Indonesia. Kami mengharapkan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi rakyat dan kelas pekerja Tionghoa yang saat ini merayakan Imlek.
Hari Imlek atau kerap disebut Tahun Baru Cina merupakan peringatan terpenting bagi kaum Tionghoa baik di Tiongkok maupun di luar Tiongkok, termasuk di Indonesia. Peringatan tahun baru Imlek diawali sejak Chuxi atau malam menjelang pergantian tahun dimulai menurut penanggalan Tionghoa yang berdasarkan pada siklus bulan/lunisolar serta berakhir pada hari kelima bulan pertama dengan Cap Go Meh dan Festival Lampion saat bulan pernama. Festival tahun baru Imlek ini sudah berusia berabad-abad lamanya serta sejarahnya banyak bercampur dengan mitos, adat, dan tradisi-tradisi etno-kultural yang dipandang banyak pihak yang merayakannya sebagai momentum untuk menghormati dewa-dewi dan para leluhur. Kami, sebagai kaum sosialis sekaligus penganut filsafat materialisme dialektika dan materialisme historis, tentu saja tidak menganut mitos dan mitologi dewa-dewi, namun kami mengakui sekaligus menghormati bahwasanya momentum Imlek adalah kesempatan bagi buruh dan rakyat pekerja Tionghoa yang merayakannya untuk berkumpul bersama sanak keluarga, berbagi kasih sayang, dan mengharapkan keberuntungan serta kesejahteraan bagi satu sama lain.
Sayangnya harapan tersebut menurut kami laksana lentera yang apinya susah-payah kita jaga di tengah terpaan badai. Bukan hanya karena dalam kapitalisme, buruh dan rakyat pekerja Tionghoa terhimpit oleh kemiskinan, kesengsaraan, dan keterhisapan. Namun juga karena seiring dengan semakin mendalamnya krisis kapitalisme semua sentimen reaksioner, termasuk rasisme anti Tionghoa, dibangkitkan kembali untuk memecahbelah rakyat, memperhebat penghisapan dan penindasan, demi menyelamatkan sistem ini. Hal ini pula yang terjadi di Indonesia.
Wacana tolak asing-aseng-asong, tuntutan tolak pemimpin kafir, isu penyerbuan buruh Tiongkok, hingga teori konspirasi 9 Naga, serta seluruh sentimen rasis anti Tionghoa-Indonesia maupun anti Tiongkok digembar-gemborkan kaum reaksioner oposisi kanan borjuis bersama para sekutunya untuk menghantam rezim borjuasi yang berkuasa. Sentimen rasis anti Tionghoa ini dipakai dengan gencar pada Pilpres 2014 dengan memfitnah bahwa Jokowi beretnis Tionghoa-Indonesia dan punya latar belakang keluarga komunis. Sentimen ini juga dipakai untuk mendiskreditkan Basuki Tjahaya Purnama atau sering dipanggil Ahok sebagai penista agama sekaligus menolak pemimpin ‘Cina Kafir’.
Isu konspiratif yang menuduh bahwa etnis Tionghoa-Indonesia sebagai konglomerat penguasa ekonomi, bisnis, dan kekayaan di Indonesia merupakan sentimen rasis. Rasisme terhadap Tionghoa-Indonesia sebenarnya pertama kali mulai ditanamkan oleh Imperialisme. Saat rezim kolonial Hindia Belanda berkuasa di wilayah yang kemudian bernama Indonesia, kaum Imperialis membagi-bagi masyarakat ke dalam hirarki etnisitas berbeda.
Perlawanan etnis Tionghoa-Indonesia terhadap kebijakan rasis ini kemudian direpresi dan mengakibatkan kerusuhan. Rezim kolonial Hindia Belanda melancarkan pembantaian etnis atau genosida terhadap kaum Tionghoa. 10 Oktober 1740 Gubernur Jenderal Adrian Volckanier menerbitkan surat perintah untuk menjagal kaum Tionghoa. Pembantaian ini memakan korban lebih dari 10.000 orang Tionghoa tewas bahkan mengakibatkan Sungai Angke menjadi merah.
Kemudian ada Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 tahun 1959 yang dikeluarkan dan ditandatangani Menteri Perdagangan Rachmat Mujomisero. Isinya melarang orang asing memiliki dan menjalankan usaha di bidang perdagangan eceran pada tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu kota daerah) serta mewajibkan pengalihan usaha mereka kepada warga negara Indonesia. Namun hakikat PP No. 10 ini sebenarnya merupakan rasisme yang menyasar kaum Tionghoa. Terbukti dari daftar yang memuat 86.690 pedagang kecil asing, 90% nya adalah kaum Tionghoa. dari sasaran pelaksanaan PP No. 10 adalah kaum Tionghoa. Bukan hanya dilarang, kaum Tionghoa ini juga dirampas barang-barang dagangannya.
Leo Suryadinata, akademisi Universitas Nasional Singapura, menyatakan bahwa PP No. 10 dan Peraturan Benteng sebelumnya merupakan salah satu tonggak awal perlakuan anti-Tionghoa oleh pemerintah Indonesia. Kenyataannya kaum Tionghoa pada zaman kolonial justru umumnya hanyalah para pedagang kecil namun mengalami peningkatan kedudukan bisnis dengan lebih kuat setelah kemerdekaan Indonesia sementara para pengusaha dan pedagang yang mengaku pribumi tidak bisa bersaing dan berusaha menjatuhkan kaum Tionghoa lewat rasisme yang diinstitusionalisasikan lewat kebijakan pemerintah, khususnya PP No. 10, papar Leo Suryadinata
Akibat penerapan PP No. 10 ini banyak kaum miskin Tionghoa termasuk kaum perempuan yang jadi sasaran kekerasan. Bahkan ada dua perempuan Tionghoa yang tewas ditembak karena mempertahankan dagangannya di Cimahi. Kaum Tionghoa di Curut, Cibadak, dan Cimahi bahkan bukan hanya dilarang berdagang namun juga dilarang tinggal disana. Rasisme dan persekusi anti Tionghoa ini kemudian mengakibatkan kemarahan pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Pemerintah RRT kemudian pada 10 Desember 1959 mengumumkan ajakan agar warga Tiongkok perantauan kembali ke “kehangatan Ibu Pertiwi”. Sebanyak 199 ribu orang Tionghoa mendaftar eksodus ke Tiongkok dan dari jumlah itu sebanyak 102 ribu orang Tionghoa berangkat menggunakan kapal kiriman pemerintah RRT.
Seiring dengan kontra-revolusi, persekusi, dan pembantaian yang diorganisir Soeharto bersama seluruh pendukungnya yang kemudian mendirikan rezim kediktatoran militer Orde Baru (Orba), kaum Tionghoa pendukung Soekarno dan rezim Demokrasi Terpimpin juga dijadikan sasaran rasisme.
Penggulingan rezim Demokrasi Terpimpin oleh Soeharto mengakibatkan efek domino. Persekusi dan pembantaian terhadap kaum komunis serta simpatisannya merembet menjadi genosida terhadap kaum Tionghoa. Ini akibat Soeharto dan para pendukungnya menyebarkan sentimen cina komunis untuk merebut kekuasaan.
Kemudian terdapat pembantaian terhadap kaum Tionghoa pada tahun 1967 dimana etnis Tionghoa yang banyak bergabung dalam gerakan sukarelawan konfrontasi Malaysia dan berhimpun dalam Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS)/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU). Akibatnya lebih dari 27.000 orang tewas dibunuh, 101.700 warga mengungsi ke Pontianak, dan 43.425 orang di antaranya direlokasi di Kabupaten Pontianak.
Seluruh atribut, identitas, dan perayaan kultural Tionghoa-Indonesia kemudian dilarang. Harto menerbitkan Instruksi Presiden No. 14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Regulasi ini melarang seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa secara publik. Akibatnya peringatan tahun baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcu, tarian Barongsai, seni beladiri wushu, dan berbagai perayaan serta produk seni budaya Tionghoa dilarang. Bersamaan dengan itu rezim Orba juga menerbitkan Surat Edaran Presidum Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 yang memerintahkan penggantian nama Tionghoa dengan nama Indonesia. Ini disusul dengan penerbitan Surat Edaran Mendagri Nomor 477/74054 tahun 1978 tertanggal 18 November 1978 tentang Pembatasan Kegiatan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, yang diantaranya berisi larangan untuk mencatat pernikahan bagi para penganut agama Khonghucu dan larangan pencantuman agama Khonghucu dalam kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Ini diperparah sikap elit agamawan di era rezim Orba. Dikeluarkanlah Surat dari Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Depag Nomor H/BA.00/29/1/1993 yang menyatakan larangan merayakan Imlek di Vihara dan Cetya. Menyusul itu dikeluarkan pula Surat Edaran No. 07/DPP-WALUBI/KU/93 oleh Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi) tertanggal 11 Januari 1993 yang melarang perayaan Imlek di Vihara dengan alasan Imlek bukan hari raya agama Buddha.
Penindasan rezim kediktatoran militer Orba pimpinan Harto terhadap etnis Tionghoa berjalan dengan didukung para kolaborator kelas Tionghoa yang mengkhianati etnisnya sendiri. Pelarangan total terhadap Imlek, adat istiadat, dan budaya Tionghoa di Indonesia pertama kali diusulkan justru bukan oleh Harto namun oleh Kristoforus Sindhunata atau Ong Tjong Hay yang juga merupakan Tionghoa-Indonesia. Sindhunata adalah bagian dari kaum pendukung asimilasi yang memandang bahwa kaum Tionghoa-Indonesia harus meninggalkan identitas etno-kulturalnya serta melebur ke dalam bangsa Indonesia. Mereka kemudian berhimpun ke dalam Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) dan berdiri berhadap-hadapan bertentangan dengan kaum Tionghoa-Indonesia yang ingin mempertahankan identitas etno-kulturalnya dan memandang bahwa identitas Tionghoa-Indonesia tidak bertentangan dengan kebangsaan Indonesia, mereka ini yang berhimpun dalam Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).
Namun Baperki tidak dikalahkan secara fair lewat perdebatan ilmiah atau dukungan publik melainkan dikalahkan akibat kontra-revolusi dan pembantaian 1965. Baperki dibubarkan rezim kediktatoran militer Orba dengan tuduhan sebagai onderbouw PKI. Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, dan banyak pimpinan, aktivis, hingga simpatisan Baperki lainnya kemudian ditangkap dan dipenjarakan. Sementara itu para oknum Tionghoa yang menempuh kolaborator kelas mendukung Harto dan Orba seperti Sofjan Wanadi kemudian mendapatkan jatah kekuasaan.
Oknum-oknum Tionghoa-Indonesia yang menempuh kolaborator kelas ini beranggapan bahwa dengan menghancurkan Baperki, mendukung asimilasi paksa, serta menghamba pada rezim Orba, maka kaum Tionghoa Indonesia akan dilindungi. Betapa salahnya anggapan mereka. Selama berpuluh tahun elit pengusaha Tionghoa memang diberi previlese ekonomi namun dengan membatasi mereka hanya pada ruang bisnis, rezim kediktatoran militer Orba pimpinan Harto juga memelihara sentimen rasis anti-Tionghoa dan isu konspiratif bahwa Tionghoa menguasai ekonomi, sehingga bilamana sewaktu-waktu pecah perlawanan dan konflik vertikal maka rezim bisa menggelincirkannya ke konflik horizontal rasis.
Ini dibuktikan pada masa senjakala Orba. Ketika kemarahan rakyat terhadap rezim Orba memuncak akibat krisis moneter, kaum militerisme berusaha mengalihkannya dengan memakai sentimen rasis anti Tionghoa. Akibatnya pecahlah kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Jakarta. Kaum Tionghoa dijadikan sasaran kekerasan dengan penjarahan dan pembakaran terhadap perusahaan, toko, rumah milik Tionghoa bahkan juga pemerkosaan terhadap para perempuan Tionghoa.
Barulah setelah perjuangan melawan kediktatoran militer Orba, maka ada beberapa capaian relatif yang bisa diraih. Ada demokrasi, kesetaraan, dan kebebasan yang relatif lebih besar dengan berhasil didorong turunnya Soeharto. Termasuk bagi kaum Tionghoa-Indonesia. Karena gerakan massa, lah, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai Presiden kemudian mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14/1967. Sehingga dengan demikian kaum Tionghoa mendapatkan haknya atas kebebasan beragama, beribadah, berpendapat, berserikat/berorganisasi, dan berekspresi di muka umum. Termasuk hak dan kebebasan memperingati Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, serta mempraktikkan berbagai seni budaya Tionghoa lainnya. Kemudian Abdurrahman Wahid juga menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif/bagi mereka yang merayakannya. Ini kemudian diperluas menjadi hari libur nasional pada 9 April 2003 melalui Keppres Nomor 19 tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek.
Namun bukan berarti rasisme anti Tionghoa sudah hilang di Indonesia. Belakangan ini justru rasisme anti-Tionghoa semakin menajam. KAMMI mengambil momentum Hari Kebangkitan Nasional 2015 dengan mengumandangkan seruan lawan Asing-Aseng-Asong . Mereka memainkan sentimen pribumi versus pribumi dan menempatkan Tionghoa sebagai sasarannya. Lalu Rabu, 30 September 2015, ribuan Barisan Ansor Serba Guna (Banser), Gerakan Pemuda Ansor Kota dan Kabupaten Blitar berdemonstrasi dan menyerukan gusur pengusaha Cina. Berikutnya dalam demonstrasi 20 Oktober 2016 Ketua Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) menyatakan, “Jika Ahok tidak dihukum sesuai aturan yang berlaku maka HMI Makassar akan membakar perusahaan-perusahaan milik orang China yang ada di Jalan Sulawesi.” Lalu pada momentum Pilgub DKI Jakarta 2017, kaum oposisi reaksioner menyebarkan sentimen rasis tolak pemimpin Cina Kafir dan teori konspiratif 9 Naga untuk mengalahkan Basuki Tjahaya Purnama.
Kaum Tionghoa sendiri sudah berada di Indonesia ratusan tahun lamanya. Susan Blackburn, seorang sejarawan, menulis dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun bahwasanya masyarakat Tionghoa sudah berada di Indonesia sejak abad ke 18. Berbeda dengan anggapan rasis anti-Tionghoa, mayoritas mereka tidaklah sejahtera Bahkan kaum Tionghoa diperas rezim kolonial Hindia Belanda dengan beban pajak sangat tinggi. Namun di sisi lain kaum Tionghoa malah distigma membantu orang asing. Padahal dalam revolusi nasional, banyak juga kaum Tionghoa yang berpartisipasi mendukung pembebasan nasional Indonesia mempertahankan kemerdekaan.
Masih kuatnya rasisme anti-Tionghoa ini diakibatkan utamanya oleh dua hal. Pertama, karena belum tuntas atau bahkan gagalnya tugas-tugas revolusi demokratis nasional di Indonesia. Kedua, karena tidak ada kapitalisme tanpa rasisme.
Gagalnya Tugas-Tugas Revolusi Demokratis Nasional di Indonesia dan Persoalan Kebangsaan Tionghoa-Indonesia
(Tugas-tugas) Revolusi demokratis nasional pada dasarnya sebenarnya merupakan (tugas-tugas) revolusi borjuis dalam rangka menggulingkan masyarakat feodalisme dan mengawali transisi menuju masyarakat kapitalisme. Sebagaimana dijelaskan menurut teori Materialisme Historis, sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas antara kelas tertindas melawan kelas penindas, dimana masyarakat bergerak dari masyarakat komunal primitif menuju masyarakat perbudakan lalu masyarakat feodalisme kemudian masyarakat kapitalisme hingga kemudian ke masyarakat sosialisme lalu masyarakat komunisme—masyarakat tanpa kelas. Terkait konteks peralihan feodalisme ke kapitalisme, ada beberapa hal patut diketahui. Masyarakat feodalisme berbasiskan penghambaan, dimana kaum elit penguasa merupakan kelas tuan tanah yang menuntut setoran upeti, pajak, atau bagian dari tani hamba. Tidak ada demokrasi. Adanya adalah teokrasi, yaitu elit agamawan bersekutu dengan para bangsawan tuan tanah dan sebagai imbalannya elit agamawan ini memberikan legitimasi kesucian pada kekuasaan para raja-raja dengan dusta bahwa raja adalah perwakilan Tuhan di muka bumi. Kerajaan memakai agama resmi dan para penganut agama lainnya menjadi warga negara kelas dua atau kesekian. Juga tidak ada kebebasan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Sabda raja adalah hukum itu sendiri. Inilah monarki absolut. Revolusi borjuis bangkit menggalang massa rakyat melawan monarki absolut, teokrasi, dan feodalisme. Kemudian menggantikannya dengan republik/negara bangsa, demokrasi, dan kapitalisme.
Sebelum kapitalisme, tidak ada konsep negara bangsa atau nation state. Kerajaan berdiri tidak di atas kebangsaan tapi di atas marga, klan, atau keluarga ningrat, dengan kekuasaan diwariskan turun-temurun. Begitu juga kubu bangsawan-bangsawan lainnya. Oleh karena itu selalu didominasi etnis penguasa. Oleh karena itu pembentukan negara bangsa oleh kapitalisme berdiri di atas keluarga dan etnisitas.
Ini jadi salah satu bagian dari tugas-tugas revolusi demokratis nasional. Tugas-tugas revolusi demokratis nasional yang merupakan penggulingan feodalisme dan monarki serta pembentukan kapitalisme pada pokoknya antara lain berupa penghapusan penghambaan dan kekuasaan tuan tanah, reforma agraria, penghapusan kerajaan-kebangsawanan, pendirian negara dengan batasan-batasan wilayah dan pasar nasional, pembentukan republik beserta parlemen demokratis, pembebasan nasional, modernisasi masyarakat dan industrialisasi nasional. Penuntasan tugas-tugas demokratis nasional ini akan semakin melapangkan jalan bagi tugas-tugas revolusi sosialis.
Sedangkan dalam konteks di Indonesia, memang massa rakyat punya warisan sejarah perjuangan demokratis nasional yang hebat, bahkan (tanpa bermaksud tidak menghargai) justru lebih hebat dari Malaysia. Negara bangsa Indonesia didirikan tidak dengan berpecah-pencar kembali ke kerajaan-kerajaan masing-masing di Nusantara, melainkan menjadi satu republik baru. Bahasanya juga memakai bahasa persatuan: bahasa Indonesia, bukan bahasa salah satu etnis mayoritas, seperti bahasa Jawa. Kebangsaannya juga bukan merupakan kebangsaan yang berdasarkan identitas ras dan etnisitas.
Namun harus diakui tugas-tugas revolusi demokratis nasional di Indonesia bukan hanya belum tuntas namun juga gagal, terutama akibat kontra-revolusi dan pembantaian 1965 serta berdirinya kediktatoran militer Orba pimpinan Harto. Penghambaan dan kekuasaan tanah tidak dihapuskan sepenuhnya. Reforma agraria dijegal. Kemudian tidak semua kerajaan dan kebangsawanan dihapuskan. Pembentukan republik beserta parlemen demokratis menjadi cacat akibat kediktatoran Soeharto dan dominasi dinasti keluarga Cendana. Pembebasan nasional kalah telak dengan pengembalian dominasi Imperialis terhadap Indonesia yang dilakukan oleh Soeharto dan para sekutunya. Modernisasi masyarakat tidak tuntas dan tidak ada industrialisasi nasional yang mengolah bahan mentah menjadi barang jadi.
Gagalnya tugas-tugas revolusi demokratis nasional akibat dijegal oleh Soeharto dan para borjuasi pendukungnya ini juga berdampak dalam persoalan rasial. Alih-alih ada kesetaraan rasial, malah muncul dominasi etnisitas. Soeharto berkuasa dengan ambisi men-Jawakan seluruh wilayah negara, termasuk Papua pun hendak di-Jawakan dengan politik transmigrasi dan sawahisasi. Sedangkan di sisi lainnya, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, kediktatoran militer Orba juga memelihara diskriminasi dan rasisme terhadap Tionghoa Indonesia.
Padahal sekali lagi, kaum Tionghoa sudah ratusan tahun hidup di Indonesia. Kaum Tionghoa telah memberikan sumbangsih sangat banyak dalam berbagai bidang kehidupan. Pelabelan non-pribumi dan warga keturunan sudah sepatutnya dihapuskan. Terutama kalau melihat bukti-bukti antropologis dan historis bahwasanya sebenarnya sebagian besar orang yang mendiami daerah yang kemudian hari menjadi wilayah Indonesia adalah hasil migrasi dari Afrika. Dengan demikian persoalan kebangsaan yang mengungkit dikotomi pribumi-asing perlu dituntaskan dengan mengetengahkan persoalan kelas, bahwasanya musuh kita bukan ras dan etnis apalagi umat agama tertentu namun musuh kita adalah kapitalisme. Musuh kita juga bukan asing melainkan Imperialisme.
Kesimpulannya tugas-tugas revolusi demokratis nasional tidak bisa diserahkan pada kaum borjuasi Indonesia. Borjuasi Indonesia berwatak bimbang dan terikat seribu benang dengan Imperialis. Maka Kelas buruh sendiri, lah, yang harus mengambil alih tugas-tugas revolusi demokratis nasional tersebut dengan menggandeng kaum tani serta seluruh massa rakyat pekerja, untuk menuntaskannya dan menghubungkannya dengan tugas-tugas revolusi sosialis.
Oleh karena itu perjuangan melawan rasisme (terhadap tionghoa) perlu disertai perjuangan melawan kapitalisme. Sebab kapitalisme, yang sudah lama kehilangan elan revolusionernya pasca menggulingkan feodalisme dan menjadi sistem penindas baru yang kini terus terseok-seok akibat krisis, sudah tidak lagi bisa menuntaskan persoalan manusia, termasuk soal rasisme. Sebaliknya kapitalisme menggunakan rasisme untuk memecahbelah rakyat agar rakyat tidak bersatu melawan dan menggulingkan tiraninya. Tidak ada kapitalisme tanpa rasisme. Oleh karena itu, rakyat pekerja Tionghoa, mari bergandengan tangan, kita berjuang bersama kelas buruh Indonesia dan kelas buruh sedunia beserta seluruh kaum tertindas untuk menggulingkan kapitalisme, menghapuskan rasisme, dan membangun sosialisme.
ditulis oleh Leon Kastayudha, Kader KPO PRP
Tulisan ini merupakan versi panjang dari tulisan dengan judul sama yang dimuat di Arah Juang cetak edisi 16, III-IV Februari 2017
REFERENSI:
Djin, Siauw Tiong. (1999). Siauw Giok Tjhan: Perjuangan Seorang Patriot Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika. Jakarta: Hasta Mitra.
Tjhan, Siauw Giok. (1963). Gotong Rojong Nasakom Melaksanakan Ampera. Jakarta: Bagian Penerbitan Baperki.
Dhani, Arman. (2015). Bagaimana Kita Memandang Tionghoa. Ok Video Festival.
Aju. (2009). Etnis Tionhoa Korban Penumpasan PGRS/PARAKU di Kalbar.
ELSAM. Kasus Paraku/PGRS.
Putri, Sany Eka Putri. (2017) Curhatan Warga Tionghoa di Kota Malang tentang Aksi Damai 212 dan 411. Malang Raya: Surya Malang.
Comment here