Gereja Lidwina di Bedog, Sleman diserang pada Minggu (11/2/2018) saat misa pagi. Pelaku penyerangan bernama Suliyono (22). Penyerangan tersebut melukai seorang Romo bernama Karl Edmun Prier seorang misionaris asal Jerman, tiga jemaat, dan satu polisi.
Pasca penyerangan tersebut berbagai spekulasi muncul. Sepertinya banyak orang kesulitan untuk melihat hubungan antara kondisi masyarakat dengan perilaku individual. Suliyono dianggap “orang gila”, punya persoalan pribadi dengan jemaah gereja ataupun dia sekedar lone wolf.
Apa yang terjadi bukanlah kejadian yang terisolir. Sebelumnya kita melihat biksu yang diusir dari tempat tinggalnya karena dianggap akan mempengaruhi agama masyarakat yang lain. Seorang anak yatim Tionghoa dipersekusi karena memasang status FB yang dianggap menghina Riziq. Ataupun kasus sepasang kekasih yang ditelanjangi dan diarak di Tangerang. Tahun lalu sebuah gereja di Samarinda dilempar bom yang mengakibatkan 1 balita meninggal dunia.
Suliyono terpengaruh rasisme serta fundamentalisme agama setelah Pilkada DKI Jakarta. Dia pernah berusaha membuat paspor untuk berangkat ke Suria namun gagal berangkat. Suliyono mungkin saja melakukannya sendirian tapi penyerangan tersebut adalah hasil dari rasisme yang berkembang di masyarakat.
Pasca Donald Trump menang pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) jumlah Hate Crime[1] meningkat. Rasisme, seksisme, islamofobia, homofobia digunakan oleh Donald Trump untuk memenangkan kursi kepresidenan AS. Mereka yang paling banyak menjadi sasaran hate crime adalah imigran dan kulit hitam. Sejalan dengan isian kampanye Trump, Make America Great Again serta rasisme yang berkembang di AS. Hate Crime sendiri paling banyak terjadi di ruang publik diikuti dengan sekolah, tempat kerja dan universitas. Artinya dengan kemenangan Trump yang rasis tersebut maka kelompok-kelompok rasis semakin berani terbuka, rasisme dipraktekan secara terbuka dan terang-terangan dan mendorong hate crime terjadi di ruang publik.
Ketika sekarang rasisme berkembang di Indonesia itu tidak terlepas dari para elit politik di Indonesia termasuk para jenderal yang menggunakan rasisme untuk kepentingan politik mereka. Rasisme terhadap Tionghoa sudah berlangsung beberapa abad, awalnya dibentuk oleh kolonial Belanda dan terus menerus dipergunakan oleh mereka yang berkuasa. Ketika rezim Soeharto di ambang krisis, isu rasisme dimunculkan. Orang-orang Tionghoa dijadikan kambing hitam atas krisis 98. Tragedi Mei 1998 adalah salah satu manifestasi dari rasisme terhadap Tionghoa yang dirancang oleh Soeharto dan para jenderalnya untuk mempertahankan kekuasaan.
Kita semua juga tahu sejarah FPI seperti apa, dibuat oleh siapa dan demi kepentingan siapa? Cikal bakal FPI adalah Pam Swakarsa yang digunakan oleh militer untuk menghadang mahasiswa tahun 1998. Mereka kemudian dimobilisasi ke Ambon untuk membuat rusuh dalam rangka menggoyang Gus Dur. Mereka kemudian dimanfaatkan oleh jenderal-jenderal polisi, tentara serta elit-elit politik untuk melakukan pekerjaan kotor.
Aksi 411 dan 212 kemarin juga tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kubu SBY, Prabowo dan militer entah untuk memenangkan Pilkada DKI, menggoyang Jokowi ataupun terbebas dari Pengadilan HAM. Lalu bagaimana dengan kubu Jokowi? Apakah mereka tidak menggunakan rasisme? Jangan salah menurut Allan Nairn dalam tulisannya “Trump’s Indonesian Allies in Bed With ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President”, Wiranto dan Hendropriyono yang berada di kubu Jokowi juga menggunakan 411 dan 212 agar mereka, serta jenderal pelanggar HAM lainnya, tidak diadili di Pengadilan HAM.
Mendekati Pilkada 2018 ini para elit politik dari kubu manapun juga kembali menggunakan agama untuk kepentingan politik mereka. Satu persatu mereka akan berputar-putar mendatangi para pemimpin agama dan meminta dukungan mereka. Mereka kemudian berlomba-lomba menawarkan program gelontoran dana ke berbagai institusi agama. Sementara itu industri media massa terus menerus menayangkan atau membuat film dengan tema-tema agama demi rating dan modal. Pilihan kita entah sinetron dan film semacam itu atau selangkangan (eksploitasi tubuh dan seks) dan kematian (horror).
Jika kita ingin melihat lebih spesifik, yaitu Yogyakarta, maka hubungan erat antara elit politik, aparat keamanan, kelompok reaksioner dan rasisme juga akan tergambar. Berbagai penyerangan, pembubaran, pengusiran ataupun intimidasi terhadap aksi hari Transgender, aksi Aliansi Mahasiswa papua, seminar, pemutaran film, diskusi, pertemuan eks Tapol 65, komunitas agama Syiah, pengajian Ahmadiyah, pengungsi Afganistan, peringatan Asyura, perayaan Paskah, ibadah di rumah, bakti sosial, penyerangan LP Cebongan oleh Kopassus dan persidangan-persidangannya ataupun pengepungan asrama mahasiswa Papua. Dalam berbagai kejadian tersebut para elit politik entah itu Sultan, pemerintah daerah ataupun aparat keamanan bekerjasama dengan kelompok reaksioner dan bersama-sama menyebarluaskan rasisme. Hanya persoalan secara terbuka dan terang-terangan ataukah secara tertutup dan lebih halus. Terang-terangan seperti Bupati Sleman dahulu yang menghadiri deklarasi anti Syiah ataupun polisi bekerjasama dengan kelompok reaksioner mengepung asrama Papua atau lebih halus seperti pernyataan Sultan “Mbok baksos itu enggak usah mengatasnamakan gereja, kan (persepsinya) jadi lain,”
Jika sekarang ada, bahkan di kalangan gerakan, yang berharap pada aparat keamanan atau pemerintah untuk mengatasi persoalan rasisme serta kelompok reaksioner itu merupakan politik borjuis kecil yang percaya dengan buta terhadap kemampuan kelas borjuis untuk menyelesaikan persoalan. Atau merupakan refleksi dari pertarungan antara faksi borjuis itu sendiri. Pada akhirnya kepercayaan tersebut hanya akan memperkuat salah satu kubu reaksioner borjuis, entah yang menggunakan sauvinisme atau rasisme untuk menggalang dukungan.
Sudah hampir 20 tahun pasca Reformasi 1998, cita-cita akan adanya kesejahteraan, demokrasi, penghargaan HAM, dsb semakin jauh dari mata. Di sisi yang lain kesenjangan ekonomi, perampasan tanah, penggusuran, upah murah pendeknya kondisi kehidupan sehari-hari kelas buruh dan rakyat semakin menghimpit.
Sementara itu elit-elit politik dari kubu manapun, entah itu mereka yang merupakan sampah dari Rezim Militer Soeharto seperti militer, Golkar, Gerindra, NasDem, Hanura, Demokrat, PPP serta PKPI ataupun yang menganggap dirinya di luar Rezim Militer Soeharto seperti PDIP, PKS, PBB, PAN serta PKB tidak mampu memberikan jalan keluar bagi kelas buruh dan rakyat Indonesia.
Kombinasi kondisi tersebut mendorong semakin berkembang dan digunakannya isu-isu reaksioner. Rasisme (baik terhadap etnis Tionghoa, Indonesia Timur ataupun kelompok agama seperti Syiah, Ahmadiyah, Kristen, Budha, dsb), homofobia, anti-komunis hingga rasisme dan anti demokrasi terhadap Papua digunakan.
Dengan begitu apakah kemudian ini persoalan toleransi atau menghargai keberagaman? Yang menawarkan solusinya adalah saling tolong menolong, gotong royong, tepo seliro dan meningkatkan interaksi dengan masyarakat sekitar. Istilah toleransi ataupun keberagaman sepertinya berhubungan erat dengan menjamurnya posmodernisme di kalangan intelektual. Istilah tersebut mirip dengan konsep rasis dari Samuel Huntington mengenai clash of civilization/ benturan peradaban. Keduanya sama-sama menganggap bahwa terdapat perbedaan dalam ranah budaya ataupun tingkah laku yang berkonflik. Dalam perspektif “toleransi”, jika tidak mau berkonflik maka harus memperbanyak interaksi antaranya. Dengan begitu keduanya sama-sama menghilangkan analisa kepentingan kelas dalam persoalan rasisme.
Iya betul bahwa Islam beda dengan Kristen, beda dengan Budha, suku Jawa beda dengan Tionghoa, beda dengan Papua, orang ada yang matanya sipit ada yang matanya besar, ada yang kulitnya kuning, ada yang hitam dan ada yang putih. Ada yang berambut keriting, ada yang lurus, ada yang ikal. Ada yang makan babi dan ada yang tidak makan babi, dsb, dsb. So what?
Semua itu menjadi masalah karena situasi objektif tertentu dan karena ada kepentingan ekonomi politik dari elit politik dan para jenderal. Oleh karena itu solusi terhadap persoalan ini terletak dalam ranah politik dan gerakan.
Pertama, perkembangan rasisme bisa dibendung hanya dengan memperkuat solidaritas dan perlawanan terhadap rasisme dan kelompok reaksioner itu sendiri. Kelas buruh dan rakyat harus membangun solidaritas dan memobilisasi massa untuk melawan setiap serangan terhadap tempat ibadah, diskusi, aks, dsb. Kelas buruh dan rakyat juga harus melancarkan aksi-aksi untuk menandingi aksi-aksi dari kelompok-kelompok reaksioner. Termasuk membangun laskar-laskar pertahanan dirinya sendiri.
Kedua, kita harus melihat bahwa dalam kaitannya dengan politik dan negara, agama adalah urusan pribadi. Apa agama, kepercayaan dan ibadah yang mau dianut (atau bahkan tanpa menganut itu semua) oleh seseorang itu adalah kebebasan mutlak orang tersebut. Diskriminasi ataupun kriminalisasi karena agama, kepercayaan dan ibadah yang dianut tidak dapat ditolerir. Semua produk hukum yang berdasarkan atas agama, yang menghukum orang karena keyakinan ataupun ketidak-yakinannya harus dihapuskan. Kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah harus dijamin sepenuhnya. Bahkan pencantuman kolom agama dalam KTP juga harus dibatasi. Tidak boleh ada subsidi dari negara kepada organisasi agama apapun, seperti MUI. Demikian juga menghapus pelajaran agama dalam institusi dan kurikulum pendidikan milik negara. Semua organisasi, institusi, lembaga, yayasan, dsb yang berdasarkan atas agama harus independen dari negara serta merupakan perkumpulan bebas dari orang-orang yang sepemahaman.
Ketiga, pada akhirnya rasisme hanya bisa dihapuskan dengan menghapuskan basis material yang menopangnya. Tatanan masyarakat kapitalis beserta para pemilik modal dan jenderal-jenderal tersebut harus disingkirkan. Kita akan membangun tatanan masyarakat baru yang berdasarkan atas persaudaraan seluruh umat manusia terlepas dari agama, suku, ras, etnis, jenis kelamin serta orientasi seksualnya.
Ditulis oleh riang karunianidi, anggota Lingkar Studi Sosialis.
[1] Kejahatan apapun yang dimotivasi oleh rasa bermusuhan terhadap korban sebagai bagian dari kelompok tertentu ( seperti berdasarkan atas warna kulit, gender atau orientasi seksual)
Comment here