#MeToo[1] adalah gerakan sensasional, penuh “gimmick”[2], dan sebagian besar berfokus pada Hollywood dan hirarki-hirarki elit lainnya. Namun apa yang diungkapnya dapat dikenali oleh kaum perempuan di manapun.
Pelecehan seksual, mulai dari serangan ekstrem sampai perhatian seksual yang tidak diinginkan sehari-hari, umum terjadi dan dinormalisasi. Semakin banyaknya perempuan yang percaya diri untuk menolaknya adalah hal yang bagus.
Titik serang #MeToo selama ini ada pada bagaimana kaum kaya dan berkuasa menggunakan kesewenangan seksis untuk melanggengkan kontrol ekonomi dan sosialnya. Laki-laki seperti Harvey Weinstein, Roy Moore, Bill Clinton, dan Donald Trump adalah contoh-contoh paling berlagu dari kaum macam itu.
Namun yang lebih umum dan berbahaya adalah hubungan-hubungan sewenang-wenang dari para majikan terhadap para buruh dimana-mana. Salah satu hal paling positif yang dihasilkan #MeToo adalah bagaimana hal itu digunakan oleh organisasi-organisasi buruh, seperti Alianza Nacional de Campesinas di Amerika Serikat (AS), untuk meraih capaian yang lebih luas bagi kampanye-kampanye mereka melawan penghisapan dan pelecehan seksual yang diderita para perempuan buruh di industri-industri berupah murah oleh tangan-tangan para majikan mereka.
Namun meskipun ditariknya hubungan dari kampanye Hollywood ke pengalaman-pengalaman kaum perempuan kelas buruh adalah hal yang positif, sayangnya sedikit yang membahas mengenai jurang yang memisahkannya. Dunia kaum kaya dan pesohor adalah habitat yang subur akan seksisme dan kesewenangan yang mewabah di masyarakat. Namun pada saat yang bersamaan hal itu merupakan gelembung yang sangatlah terpisah dari kehidupan dan pengalaman masyarakat awam atau rakyat jelata. Sebagian besar perempuan yang dilecehkan oleh para majikan mereka akan sulit menerjemahkan apa artinya aplaus dan tepuk tangan sampai berdiri di ajang penghargaan Golden Globes ke dalam solusi berarti terhadap pengalaman dan permasalahan yang mereka alami. Sebagaimana dikemukakan Alianza Nacional de Campesinas:
“Kita tidak bekerja di bawah sorotan lampu panggung ataupun layar lebar. Kita bekerja di bayang-bayang masyarakat di ladang-ladang terpisah serta pabrik-pabrik yang jauh dari pandangan mata apalagi dipikirkan oleh masyarakat.”
Mungkin waktunya sudah habis bagi orang-orang macam Harvey Weinstein dan Craig McLachlan; namun berbagai hal jadi sangat sulit bagi jutaan perempuan kelas buruh yang ingin melawan orang-orang yang menindas mereka.
Kasus Dominique Strauss-Kahn v Nafissatou Diallo tahun 2011 adalah contoh bagus soal ini. Diallo, seorang pekerja di hotel New York melayangkan dugaannya bahwasanya Straus-Kahn melakukan pelecehan seksual terhadapnya saat Diallo membersihkan kamarnya. Meskipun Straus-Kahn punya asosiasi dengan lingkaran prostitusi, dan para perempuan lain yang juga jadi korban pelecehannya dengan banyak bukti fisik tersedia, kasusnya ditutup sebelum diadili dan nama Diallo yang malah dicemarkan.
Bagaimana standar ganda ini diterapkan untuk merugikan kelas buruh bisa dilihat bagaimana perlakuan istimewa terhadap para lelaki macam Strauss-Kahn berlaku sebaliknya terhadap para lelaki miskin, apalagi bila mereka adalah kaum kulit Hitam atau Muslim. Hukuman salah terhadap Central Park Five (lima orang kulit hitam) atas pemerkosaan yang tidak mereka lakukan tidak dicabut sampai 12 tahun lamanya padahal tidak ada bukti sama sekali.[3]
Oleh karena itu kaum kiri harus sepenuhnya menentang seruan-seruan yang menuntut agar semua lelaki yang dituduh atas pelecehan dan atau kekerasan seksual untuk dihukum tanpa pengadilan. Kita tidak bisa mengandalkan pihak berwajib, baik di dalam industri ataupun negara, untuk menegakkan keadilan.
Para perempuan tertindas akan diserang dengan dalih mencemarkan nama baik para lelaki kelas penguasa, sementara para lelaki tertindas akan dihukum dengan dalih melindungi kaum perempuan.
Kita harus melawan sistem yang menjadi akar dan menumbuhkan kesewenangan, pelecehan, dan kekerasan seksual terhadap para perempuan di tempat kerja dan masyarakat. Namun sayangnya banyak orator #MeToo tidak menginginkan apalagi memperjuangkan perubahan sistem. Entah karena itu bukan bagian dari pandangan dunia mereka ataupun karena mereka secara aktif diuntungkan oleh sistem demikian.
Kepala-kepala Industri Film telah ikut serta mendukung #MeToo karena mereka tidak mau berada di sisi yang salah dari skandal kekerasan seksual ini namun sebenarnya mereka juga tetap bertanggungjawab karena memasok penggambaran perempuan secara merendahkan.
Sementara itu para miliarder seperti Oprah Winfrey dengan antusias menyambut kampanye ini karena mereka ingin membonsai gerakan ini menjadi sebatas tokenisme/gerakan simbolis dan individualisme serta juga karena feminisme liberal telah menjadi bagian kunci untuk pembenaran previlese mereka.
Seruan utama mereka adalah kaum perempuan harus “speak up” atau angkat suara. Mereka merayakan bahwasanya “perbincangan telah dimulai”. Namun jutaan perempuan yang bersemayam di bawah bayang-bayang tidak bisa menantang situasi-kondisi mereka dengan angkat suara sendiri-sendiri, memakai tanda pagar (tagar), atau membeli gaun hitam yang mahal.
Kita butuh membangun kembali serikat-serikat yang cukup kuat untuk menghadapi dan melawan kaum majikan (dan rekan-rekan terbelakang) yang menarget para perempuan secara perorangan, dan juga bersiap menantang strukur-struktur kesenjangan dan kesewenangan di tempat kerja.
Sejarah menunjukkan pada kita bahwasanya kaum buruh yang berjuang bersama-sama bukan hanya berhasil memenangkan upah dan kondisi kerja yang lebih baik. Namun juga meraih kepercayaan diri untuk menuntut penghormatan dan diakuinya harga diri mereka.
Kita butuh suatu tantangan politik terhadap seksisme yang menyebarluas di masyarakat kita, tantangan yang mengakui bahwasanya seksisme adalah suatu produk dari kesenjangan-kesenjangan material mendalam dan penggambaran-penggambaran merendahkan terhadap para perempuan.
Akhirnya kita harus menyingkirkan lapisan parasit yang berkuasa di puncak masyarakat kita, yang diuntungkan dari penundukan terhadap kaum perempuan dan kelas buruh. Jendela yang menunjukkan kehidupan kelas penguasa telah dibuka oleh fenomena #MeToo dan menunjukkan kebejatan dan misoginisme yang mereka kembangkan. Ini bukan hanya kejahatan oknum-oknum tertentu saja. Sistem kapitalime secara keseluruhan adalah kesewenangan itu sendiri.
Tulisan ini diterjemahkan dari artikel “#MeToo proves need for structural change” yang ditulis oleh Sarah Garnhamdi redflag.org.au pada 22 Januari 2018. Artikel asli dapat diakses di https://redflag.org.au/node/6167. Diterjemahkan oleh Leon Kastayudha, kader KPO PRP.
[1] #MeToo adalah tanda pagar yang viral dari AS sejak Oktober 2017 untuk mengungkap banyaknya pelecehan dan kekerasan seksual, terutama di tempat kerja. Tagar ini populer semenjak terungkapnya kasus berbagai kekerasan seksual yang dilakukan oleh Harvey Weinstein, salah satu kapitalis besar dalam industri perfilman Hollywood. Frase Me Too lama dipakai oleh Tarana Burke, seorang aktivis sosial, dan dibantu dipopulerkan oleh Alyssa Milano, seorang aktris lewat Twitter.
[2] Gimmick. Kekonyolan atau lucu-lucuan yang dimaksudkan untuk menarik perhatian. Baik itu perhatian penonton, pembeli/konsumen, maupun target massa lainnya.
[3] Central Park Five adalah sebutan media massa terhadap lima orang (mayoritas kulit hitam dan atau Muslim) yang dituduh memperkosa Trisha Ellen Meili dan beberapa perempuan lainnya yang berjogging di Central Park di Manhattan pada 19 April malam 1989. Serangan seksual terhadap korban membuatnya koma selama 12 hari. Meili adalah seorang bankir investasi berumur 28 tahun pada saat itu. Empat orang kulit hitam dan satu orang keturunan Hispanik ditangkap dan dihukum dari 5 sampai 15 tahun meskipun kurangnya bukti. Tahun 2002 Matias Reyes seorang pemerkosa berantai yang tengah dipenjara mengaku bahwa ia memperkosa para perempuan yang berjogging waktu itu dan bukti DNA memperkuat pengakuan bahwa dialah yang bersalah. Karena Reyes sudah dihukum penjara seumur hidup, menurut peraturan ia tidak bisa dihukum lagi.
Comment here