Aksi

Buruh Freeport Korban Furlough Tuntut Hak

Freeport MalangPersatuan Pekerja PT Freeport Indonesia gelar konferensi pers, aksi teatrikal, dan diskusi di Warung Samudro, Kota Malang, Selasa (19/12/2017). Mereka memprotes dikorbankannya hajat hidup buruh di tengah tarik-menarik antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia soal kepemilikan aset dan saham. Berdalih akibat berlarut-larutnya negosiasi antara Freeport dan Pemerintah soal perubahan Kontrak Karya (KK) jadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang mereka klaim mengakibatkan pengurangan produksi, pekerjaan, dan perampingan, Freeport menerapkan Furlough atau merumahkan 3.000 buruhnya. “…perusahaan tidak memberikan jaminan apakah ia akan dipanggil bekerja kembali atau tidak…”

Menentang kesewenangan itu, ribuan buruh bersolidaritas dan melakukan mogok kerja. Freeport lantas mencapnya sebagai pemogokan ilegal secara sepihak. Berikutnya secara sewenang-wenang perusahaan menganggap mereka mengundurkan diri. Padahal menurut Agung Fery Widiatmoko, buruh sekaligus anggota Persatuan Pekerja PT Freeport Indonesia, “Apakah pemogokan itu legal atau ilegal harus diselesaikan dan ditetapkan lewat pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial.” Tindakan perusahaan ini mengakibatkan buruh tidak mendapatkan hak-hak mereka. Sebab ini diikuti dengan tindak perusahaan memblokir rekening para buruh yang dirumahkan dan dikenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Lalu penon-aktifan jaminan sosial atas kesehatan (BPJS) yang mengakibatkan sembilan orang meninggal dunia. Antara lain: Selpia Pigai, Irwan Dahlan, Edwin Kirioma, Abrianto Rombe, Zeth Makisanti, Karolus Kasamol, Nicolas Kabes, Saung Sattu, Marcel Sualang, dan lainnya. Kemudian PT Freeport terus-menerus menampik permintaan para buruh untuk berunding.

Freeport Indonesia bukan hanya melawan rekomendasi dari Komisi Nasional (Komnas) HAM dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), namun bahkan juga memberangus serikat. Perusahaan menghalangi dan mengintimidasi para buruh yang telah secara ah, aman, dan damai melakukan mogok kerja. Lebih parahnya, menurut keterangan Persatuan Pekerja PT Freeport, oknum-oknum kepolisian turut melakukan intimidasi dan intervensi terhadap buruh. Aparat membubarkan ibadah massal dengan water cannon atau meriam air bahkan menembaki para demonstran sehingga mengakibatkan banyak korban cidera berat. Aparat juga secara sewenang-wenang menyingkirkan barang-barang buruh dari barak. Mereka menangkap sembilan buruh tanpa kejelasan status dan proses hukum bahkan dua di antaranya diisolasi. Selain itu salah satu buruh dan demonstran, yaitu Martinus Beanal hilang tidak diketahui keberadaannya. Sampai kemudian aparat kepolisian menyatakan jenazah Martinus Beanal akan dipulangkan ke keluarganya.

Ikhwan Arief, buruh yang sudah 12 tahun bekerja di Freeport, menyatakan tindakan perusahaan demikian akibatkan kesengsaraan bagi para buruh. “…Darah, nyawa, harta, kita semua sudah habis-habisan di Timika. Teman-teman kita di Timika sampai tidak makan. Bahkan dalam tujuh hari seminggu itu, mungkin makannya dua hari, tiga hari. Saya sendiri juga mengalami itu bersama teman-teman di sana. Cari beras itu mahal dan perekonomian di sana sudah hancur-hancuran. Semua harga-harga, semurah apapun kita tidak sanggup membelinya. Karena selama ini kita tidak menerima gaji.”

“Acara ini dilakukan di Kota Malang karena waktu kita lakukan di Timika banyak sekali istilahnya kita dianggap makar. Seperti yang terjadi pada 19 Agustus, kita memang, namanya perut sudah lapar, kita melakukan perlawanan, kita minta keadilan, kita memblokade daerah yang namanya CV28 yang dimiliki oleh Freeport. Sedangkan Freeport mengandalkan apa yang itu dinamakan Objek Vital Nasional. Jadi setiap Objek Vital Nasional selalu ada tamengnya, yaitu pihak kepolisian. Kita bersinggungan dengan pihak kepolisian. Hal itu yang sebenarnya kita harap sangat-sangat menghindari. Tapi apa boleh buat, perut sudah tidak bisa bicara lagi. Gaji selama bulan Mei tidak terima lagi dan bank juga sudah memblokir. THR juga tidak diberikan kepada teman-teman muslim karena mogok.” Ikhwan juga menjelaskan, “Kami di sini mewakili teman-teman buruh di Timika, Medan, Sulawesi, dan lainnya, menyampaikan Freeport Indonesia telah melanggar hak. Dari awal perjanjian antara pemerintah dengan Freeport Indonesia sejak Februari soal alih kepemilikan saham.” Agung menambahkan, “Kami minta tolong kepada teman-teman wartawan untuk membantu sebagai penyambung lidah kami.”

Kepada para wartawan dan hadirin di sana, Persatuan Pekerja PT Freeport menyatakan sekian kesewengan perusahaan dan aparat ini adalah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Khususnya hak atas kesejahteraan, hak memperoleh keadilan, dan hak atas rasa aman seperti yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Sebagaimana keterangan dalam rilis pers Persatuan Pekerja PT Freeport Indonesia, “Freeport juga melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 D. (1) Hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum. (2) Hak untuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”

Buruh menuntut: permasalahan buruh PT Freeport Indonesia yang ditelantarkan dan dilanggar hak-haknya dituntaskan dan hak-haknya dipulihkan. Kedua, kembalikan dan aktifkan lagi layanan kesehatan yang ditutup aksesnya oleh BPJS. Ketiga, selesaikan semua masalah akibat tarik-menarik negosiasi Pemerintah Pusat dan perusahaan dengan secepat mungkin. Keempat, patuhi dan penuhi HAM termasuk kepastian perlakuan dan kondisi kerja adil bagi buruh, yang di dalamnya juga menyertakan hak kebebasan berserikat dan perundingan kolektif. Kelima, kembalikan semua hak-hak buruh dan keluarganya serta lindungi mereka dari kesewenangan, dan bahwasanya hak-hak dasar buruh seperti hak berserikat, hak mogok, hak hidup sejahtera, hak menerima layanan kesehatan, harus dipenuhi, termasuk bagi para buruh yang diberhentikan harus dipekerjakan kembali dan dipenuhi hak-hakya. Keenam, sampai semua ini dipenuhi PT Freeport Indonesia tidak boleh mengekspor konsentratnya.

Lewat forum bertajuk “Jeritan Jiwa di Balik Negosiasi IUPK PT. Freeport Indonesia” itu, para buruh mengeluhkan, “Pihak Pemerintah seolah menutup mata dan membiarkan kasus ini berlarut-larut sampai berbulan-bulan dan terkesan sangat lambat bereaksi…” Agung mengungkap “…jalur hukum sudah kami tempuh…” yang mana sekian pelanggaran perusahaan terhadap hak-hak buruh ini diadukan kepada kantor Hukum dan HAM LOKATARU. Kantor advoksi yang bermakna “Pohon Ide yang universal” ini menugaskan Haris Azhar dan Tri Puspital untuk membantu para buruh dari segi hukum. (lk)

Loading

Comment here