Kamis sore (7/12/2017), tiga hari menjelang Hari Hak Asasi Manusia (HAM) komite Aksi Kamisan Malang berdemonstrasi di depan Balai Kota Malang. Mengusung tema “Rezim Infrastruktur Subur, Rakyat Terkubur” massa aksi kecam berbagai penggusuran berdalih pembangunan. Mahasiswa, pemuda, dan pekerja yang datang dalam berbagai gelombang untuk bergabung berunjuk rasa total mencapai 65 orang.
Indra, salah satu orator, mengatakan, “Kami berduka atas penindasan ini. Rakyat menyuarakan dan membela hak-haknya tapi dirampas sedemikian kejamnya. Penggusuran begitu sewenang-wenang di Kulon Progo, seolah negara milik sendiri,” kecamnya. Ia menyoroti perbandingan tajam antara diinjak-injaknya hajat hidup para petani di satu sisi dan di sisi lain kepentingan para pemodal dijunjung tinggi. “(Kalau begini) penganguran tidak akan pernah hilang dan kedaulatan tidak akan pernah tercapai…Pemerintah hanya mementingkan kapitalis tanpa menyejahterakan rakyatnya.” Orasinya lalu menyerukan, “Kedaulatan rakyat yang harus dibangun! Bukan kedaulatan kapitalis!” Ukago menambahkan orasinya, “Pemerintah hanya mewakili kepentingan kapitalis, kolonialis, dan Imperialis. Sehingga rakyat di Papua dan di Indonesia terus-menerus ditindas. Bahkan orang Papua terus menderita pelanggaran HAM dan perampasan hajat hidupnya. Kebijakan rezim Jokowi-JK tidak mementingkan rakyat tapi melayani kapital. Oleh karena itu kami menyerukan: lawan!”
Rilis pers Aksi Kamisan Malang dengan mengutip keterangan KPA dan Komnas HAM menjabarkan, “Rabu, tanggal 3 Mei 2017, enam belas (16) orang aktivis sekaligus korban konflik agraria di Surokonto, Kendal, Jateng melopor pada KOMNAS HAM ikhwal kriminalisasi tiga (3) kawan aktivis agraria (Nur Aziz, Sutrisno Rusmin dan Mujiono) oleh PT. Perhutani dengan menggunakan UU P3H soal perkara pembalakan liar dan penyerobotan lahan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan.” Kemudian mengutip Kompas ada kasus “La Gode tewas pada 24 Oktober 2017 sekitar pukul 04.30 WIT. Sekujur tubuhnya penuh luka. Delapan gigi hilang. Kuku kakinya tercerabut. La Gode yang dituduh mencuri singkong parut itu tewas di markas tentara tanpa menjalani proses peradilan.” Berikutnya, “Kemudian di skala regional Jawa Timur, kiranya ada banyak perampasan ruang hidup terjadi. Kita bisa tunjuk dari ujung timur jawa, ada nasib petani Tumpang Pitu yang terampas tanahnya. Di sisi perbatasan jawa timur, Tuban tepatnya ada kemiskinan yang tiap tahunnya meningkat hingga 15%. Di sidoarjo, ratusan orang menjadi korban diskriminasi konflik horizontal dan tak bisa kembali ke kampung halamannya di Sampang.”
Komite Aksi Kamisan Malang lewat rilisnya mengecam rezim pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) Jusuf Kalla (JK). “Jargon ‘Persatuan’ yang didengungkan pemerintahan Jokowi-JK faktanya justru berujung pada perpecahan yang kian hari kian menganga. Jargon ‘pertumbuhan’ yang digaungkan pemerintahan Jokowi-JK faktanya membungkam hak hidup petani kecil di kulon progo, memberangus ruang hidup yang kian hari kian menyempit akibat ideologi pembangunanisme. Jargon ‘moralitas’ yang dielu-elukan pemerintahan Jokowi-JK justru malah menjadi klise naif yang seakan meneriakkan pada rakyat bahwa ‘kami tak boleh dikritik dan pada rakyat kerja, kerja dan kerja’.”
Aksi Kamisan Malang sore itu juga diisi dengan pembacaan puisi. Faris mendeklamasikan dua puisi; “Di Lahan Persengketaan” dan “Sajak yang Pincang.” Dua puisi yang dibcakannya menyuarakan mengenai perampasan tanah, konflik agraria, serta perlawanan petani dan rakyat terhadapnya. Setelahnya Damayanti mendeklamasikan puisi berjudul “Cuping Cupak.” Tak hanya membacakan puisi Damayanti juga berorasi mengungkap perampasan lahan juga sejalan dengan penindasan perempuan. “Sistem yang seperti ini yang katanya mencerminkan emansipasi…hanya emberi uang bagi semua yang punya uang dan dolar untuk memegang kekuasaan.”
Komite Aksi Kamisan Malang karenanya menyimpulkan “ada dua faktor kunci yang utama mengenai abainya perhatian negara dalam penegakkan hak asasi manusia. Pertama, menguatnya rezim infrastruktur sehingga menutup celah pengagungan pada nilai kemanusiaan. Jangankan soal nilai, terhadap hak hidup saja negara lalai. Kedua, menyeruaknya isu konservatisme agama membuat isu agama seolah menjadi semacam kegaduhan nasional dan akibatnya adalah tenggelamnya isu fundamental dari hak asasi manusia.”
Bagaimanapun juga terdapat permasalahan dalam penggunaan kata negara “abai” dan “lalai” karena menyiratkan seolah-olah negara hanya khilaf. Padahal dalam banyak kasus, negara adalah pelaku langsung dari penindasan dan pelanggaran HAM. Semen Indonesia dan Ganjar Pranowo yang dihadapi suku Samin adalah aktor negara. Sultan Hamengkubuwono X dan aparat penggusuran di Kulonprogo juga aktor-aktor negara. Kenyataannya, sebagaimana dikatakan Friedrich Engels, negara adalah alat penindasan kelas penguasa terhadap kelas lainnya. Khusus dalam masyarakat kapitalis saat ini, negara adalah alat penindasan kelas borjuis. Pemerintahannya adalah semacam komite eksekutif yang dipilih setiap beberapa tahun sekali untuk menjalankan agenda dan mewakili kepentingan kelas kapitalis secara keseluruhan. Melayani kapital adalah prioritasnya dan karena operasi kapital tidak hanya mengakibatkan penghisapan terhadap buruh namun juga penindasan terhadap rakyat, maka dari waktu ke waktu negara terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam berbagai bentuk penghisapan, penindasan, penyingkiran, dan pelanggaran HAM. Sebagai pelaku oleh karenanya negara kapitalis ini mustahil mengadili dirinya sendiri. Negara kapitalis (beserta seluruh jajarannya sekaligus tuan-tuan yang dilayaninya) hanya bisa dihentikan dan diadili dengan cara revolusi. Cara yang mana kelas buruh bersama rakyat pekerja menggulingkan tirani kapitalisme dan membongkar negara borjuis ini. (lk)
Comment here