Minggu (10/12/2017) Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat Tertindas (SMART) dengan didukung Razor serta Anti Fasis Malang (Antifa) gelar mimbar bebas di area bebas kendaraan bermotor atau Car Free Day (CFD) di Jalan Ijen Malang. Hari itu 59 tahun sejak Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 10 Desember 1948 silam. Rilis pers SMART menyatakan, “Namun kenyataan yang terjadi di lapangan negara masih belum mampu bahkan terkesan melakukan pembiaran terhadap pelanggaran HAM yang terjadi. HAM hanya menjadi jargon belaka tanpa ada sedikitpun niat yang sungguh-sungguh untuk dijalankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”
Pelanggaran HAM menurut SMART juga terjadi di ranah pendidikan, ranah mahasiswa. “Di dalam dunia pendidikan masyarakat harus dihadapkan dengan komersialisasi pendidikan yang menyebabkan mahalnya biaya pendidikan sehingga hampir tidak mampu diakses oleh mayoritas masyarakat Indonesia yang masih menderita kemiskinan, tidak meratanya akses pendidikan merupakan bentuk pelanggaran HAM yang terus dirasakan oleh masyarakat Indonesia.”
Rilis pers ditutup dengan lima tuntutan. “1. Tolak keterlibatan militer di wilayah sipil. 2. Usut tuntas kasus pelanggaran HAM Genosida G30S 1965. 3. Berikan kebebasan berserikat, berpendapat, dan berorganisasi. 4. Cabut UU Ormas Nomor 2 Tahun 2017. 5. Hentikan segala bentuk perampasan tanah dan penggusuran perumahan rakyat.
Sayangnya pernyataan “negara masih belum mampu bahkan terkesan melakukan pembiaran terhadap pelanggaran HAM” menyiratkan seolah negara adalah penengah seperti wasit di atas masyarakat. Padahal kenyataannya banyak pelanggaran HAM justru dilakukan oleh negara. Mulai dari Peristiwa 65, pembantaian Talangsari, pembantaian Tanjung Priok, pembunuhan terhadap Udin, penculikan dan pembunuhan terhadap Marsinah, peristiwa Balibo, penembakan Santa Cruz, penembakan Trisakti, peristiwa Semanggi I dan II, penculikan terhadap mahasiswa dan aktivis anti-Orba, pelanggaran HAM lewat penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Papua, pembunuhan terhadap Theys Aluay, pembunuhan terhadap Munir, penembakan Paniai, pembunuhan terhadap Salim Kancil, hingga penggusuran Kulon Progo justru dilakukan oleh negara bersama aktor-aktor pendukungnya. Semua ini menunjukkan negara bukanlah penengah melainkan justru menjadi aktor aktif atau alat penindasan bagi kelas kapitalis yang berkuasa. Negara kapitalis beroperasi untuk melancarkan operasi modal dan bisnis kelas borjuis, dan karena itu berjalan dengan penghisapan dan penindasan, maka dari waktu ke waktu, sangat alamiah muncul perlawanan terhadapnya, sehingga justru di sanalah peran negara secara aktif dijalankan untuk memberangus, mematahkannya, dan atau meredamnya.
Ini bukan pengecualian bagi negara-negara yang mengklaim negara maju dan demokratis seperti AS. Meskipun AS salah satu negara dalam PBB yang mendorong DUHAM namun sebagai imperialis tangan AS berlumuran darah jutaan orang (termasuk ibu dan anak-anak) tak bersalah yang dibom atomnya di Hiroshima dan Nagasaki Jepang, bergelimang mayat dan belulang masyarakat adat Amerika yang digenosidakannya, serta berbagai bentuk pelanggaran HAM lainnya. Pelanggaran HAM serupa juga bisa ditemukan di pihak Britania yang telah menginvasi seluruh benua di dunia, di pihak Australia yang dibangun di atas rasisme, genosida, dan marjinalisasi kaum aborigin, dan sebagainya. Oleh karena itu perjuangan menghapuskan pelanggaran HAM tidak bisa dilepaskan dari perjuangan menggulingkan negara penindasan dan sistem penghisapan. Ketiganya saling terkait satu sama lain. Pemahaman seperti ini penting untuk disebarkan di tiap diskusi, demonstrasi, dan termasuk di aksi solidaritas seperti ini.
Aksi solidaritas yang diikuti campuran mahasiswa dan pekerja ini juga memanfaatkan momentum ini untuk menggalang dana mendukung perjuangan di Kulon Progo untuk melawan penggusuran dan menolak pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA). Mereka membuka kotak solidaritas, penjualan pin, dan sablon kaos secara langsung di tempat. Dengan memakai desain buatan Anti-Tank Yogya, kawan-kawan Razor bersama lainnya menyablon kaos dengan gambar bertuliskan “Bertanah Air Satu Tanpa Penggusuran.” Selain itu juga terdapat penampilan aksi teatrikal yang menggambarkan kesewenang-wenangan dan represi aparat kepada rakyat serta perlawanan balik terhadapnya. Aksi kemudian ditutup seiring jam akhir pemberlakuan CFD pada pukul 10.00 WIB dan difungsikannya kembali sebagai jalan raya. (lk)
Comment here