Aksi

Peringati Hari Anti Korupsi, Malang Kecam Pejabat dan Aparat

Aksi Anti Korupsi MalangJumat (9/12/2017) 41 orang berdemonstrasi di depan Balai Kota dan Gedung Dewam Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang, memperingati Hari Anti Korupsi. Mayoritas demonstran yang merupakan kaum muda ini mengecam para pejabat dan aparat dalam berbagai kasus korupsi. Sudah dua pejabat Malang Raya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak awal tahun 2017. “Eddy Rumpoko sebagai walikota ditetapkan tersangka dalam kasus suap pengadaan meubelair. Lalu MAW (M. Arief Wicaksono) mantan pimpinan DPRD Kota Malang menjadi tersangka korupsi anggaran jembatan Kedung Kandang yang dinilai merugikan keuangan negara” terang rilis aksi yang dikoordinir Malang Corruption Watch (MCW) ini.

Meskipun demikian MCW memandang banyak kasus terkait korupsi belum ditangani secara serius apalagi tuntas oleh kejaksaan dan kepolisian. Mulai dari dugaan korupsi pembangunan Jembatan Kedung Kandang yang merugikan keuangan negara sebanyak Rp 9,7 Miliar. Lalu dugaan korupsi pengadaan lahan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Malang yang diduga mengakibatkan kerugian lebih dari Rp 3,87 miliar. Sampai skandal dugaan korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Malang.

Massa aksi mengecam tindakan-tindakan korup demikian bukan hanya memalukan. Namun juga mengkhianati rakyat. Imces berorai, “Para pejabat tidak mewakili rakyat.” Ini ditambahi Iwan, “Para pejabat tidak pernah serius menjalankan roda pemerintahan. Perajabat tidak pernah serius menjalankan mandat rakyat.” Ia melanjutkan, “Hari anti korupsi tahun ini diwarnai kenyataan korupsi di Indonesia bukan hanya tidak diselesaikan tapi juga terus merajalela.”

Sebagai akibatnya korupsi telah membuat negara Indonesia tetap terbelakang dimana rakyat terus dijerumuskan dalam kemiskinan. “Sampai kapanpun Indonesia tidak bisa maju,” orasi Akbar, mahasiswa Universitas Brawijaya (UB). “9,7 Miliar kerugian keuangan negara dari dugaan korupsi pembangunan jembatan Kedung Kandang bukan hanya memperparah kemacetan jalan dan menghambat aktivitas ekonomi namun juga mengorup hak-hak rakyat pada umumnya.” Meilita lalu menambahkan bahwa korupsi yang diduga terjadi di RSUD Kota Malang memperparah ketertindasan rakyat dan membuat rakyat tidak terpenuhi hak-haknya atas kesehatan. “Padahal harusnya dengan dana sebanyak itu bisa membangun RSUD yang lebih luas dan lebih besar dari sekarang.” Sekarang saja jumlah orang yang ingin berobat dan atau mengakses pelayanan kesehatan membludak melebihi kapasitas RSUD, menurutnya. Korupsi secara langsung telah mendzolimi orang-orang yang sudah miskin dan sakit.

Albar menggugat, “Bagaimana bisa kesejahteraan rakyat dipenuhi kalau kepala daerahnya korupsi?!” Menambahkan itu Fachrudin berorasi, “…uang rakyat dirampas oleh orang-orang tidak bertanggungjawab. Akibatnya kemiskinan tidak berhenti dan kualitas pendidikan tidak begitu baik. Bahkan banyak pungutan liar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Kualitas pelayanan kesehatan juga rendah.” Sedangkan di sisi lain, “KPK terus menerus dilemahkan. Bahkan DPR ingin membubarkan KPK.” Oleh karenanya Orator berinisial F.M.H. menyimpulkan, “Begitulah kalau penguasa bermental kapitalistis. Hukum dibuat transaksional. Kebijakan dibuat menguntungkan kapitalis.”

Sepakat dengan F.M.H., Leon Kastayudha berorasi, “Tidak ada kapitalisme tanpa korupsi. Kapitalisme itu sendiri berjalan di atas pencurian nilai lebih yang dihasilkan buruh. Demokrasi borjuis dengan Pemilunya yang luar biasa mahal bukan hanya jutaan, tapi puluhan juta, bahkan milyaran, dan trilyunan, hanya memberi ruang pada persekutuan pejabat dan konglomerat. Orang-orang yang memenangkan Pemilu demi mengembalikan hutang dan atau biaya kampanyenya, kemudian menuntut gaji dan pendapatan setinggi-tingginya. Kalau itu belum cukup, maka mereka melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kalau masih belum cukup lagi, mereka akan membayarnya dengan membuat peraturan-peraturan yang melayani kepentingan kapitalis di satu sisi dan di sisi lain mengorbankan rakyat. Oleh karena itu perjuangan menghapuskan korupsi harus menghapuskan kapitalisme” serunya.

Massa aksi yang berusaha memasuki Gedung DPRD dan Balai Kota berulang kali dihalangi oleh aparat. Iwan berorasi, “Semua atribut polisi, dari sepatu, baju, sampai topi, semua dari uang kita. Uang rakyat. Kalau polisi tidak membiarkan rakyat masuk berarti polisi tidak mendukung pemberantasan korupsi,” kecamnya. Sempat terjadi dorong-mendorong antara massa demonstran dengan aparat. Sela-sela itu muncul yel-yel, “Ini gedungnya rakyat! Bukan gedung pejabat!” dari barisan massa aksi.  Namun aparat tetap menghalangi dan hanya membolehkan beberapa perwakilan untuk masuk. Fachrudin menolak itu dengan alasan setiap orang dalam barisan demonstran berhak memasuki gedung. Lebih parahnya salah satu aparat sempat berusaha menarik leher dan pundak Imces untuk menangkapnya walaupun gagal karena dipertahankan massa. Akibat tidak kunjung ada titik temu dan karena berbatasan dengan waktu ibadah Sholat Jumat, massa aksi kemudian berkompromi dan membubarkan diri. Mereka menyimpulkan, “demikianlah sikap aparat terhadap kita, terhadap perjuangan anti-korupsi, telah menunjukkan kepada siapa mereka berpihak.” (lk)

Loading

Comment here