Aksi

Aksi Kamisan Kaltim dan APJ Bersolidaritas Atas Penggusuran Warga Kulon Progo, Yogyakarta.

Kamisan KaltimPenggusuran yang baru-baru ini terjadi di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, mendatangkan solidaritas dari berbagai daerah. Tidak terkecuali di Samarinda, Kalimantan Timur, dukungan solidaritas datang dari dua aliansi sekaligus. Pada hari kamis, (07/12/2017) puluhan massa yang dipelopori oleh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi, menggelar aksi solidaritas, pukul 13.00 wita.

Dalam rilis persnya, Aliansi Parlemen Jalanan (APJ) menyatakan bahwa  “PT Angkasa Pura I bekerja sama dengan Pemerintah pusat hingga daerah bahkan  bersama aparat TNI dan Polisi bahu membahu melaksanakan rencana mereka untuk membangun New Yogya International Airport (NYIA). Alhasil, warga yang menolak rumah dan tanahnya digusur melakukan perlawanan dan berusaha menghentikan alat berat berupa ekskavator mengundang aparat TNI dan Polisi untuk melakukan tindakan represif terhadap warga yang melakukan perlawanan”.

Selain itu, massa juga mengungkapkan bagaimana penggusuran yang terjadi di Kulon Progo memperlihatkan watak rezim yang berkuasa di Indonesia saat ini.

Akbar, salah seorang kader dari GMNI Komisariat Fisip Unmul mengungkapkan “Penggusuran yang terjadi di Kulon Progo memperlihatkan kita bagaimana watak Rezim Jokowi-JK. Slogan-slogan dekat dengan rakyat dan sering blusukan ke rumah rumah wong cilik hanya sebagai upaya untuk menipu rakyat, bahkan memberikan janji-janji palsu berupa pembangunan untuk rakyat agar mendapatkan simpatik dari rakyat namun menguntungkan para pemilik pemilik modal yang tersebar di Indonesia”

Massa aksi juga mengutarakan, bukan kali ini saja penggusuran lahan terjadi di Indonesia. bahkan sebelum rezim Jokowi-JK berkuasa sudah terdapat berbagai konflik agraria termasuk di Kalimantan Timur.

Aksi ini juga dihadiri oleh organisasi lainnya seperti, Lingkar Studi Kerakyatan (LSK) dan Kongres Politik Organisasi Perjuangan Rakyat Pekerja (KPO-PRP). Hema perwakilan dari LSK, dalam orasi politiknya menjelaskan bagaimana kasus penggusuran ataupun konflik agraria yang terjadi tidak terlepas dari peran kebijakan, hukum, dan  aparat negara saat ini.

“mulai dari kebijakan, hukum, hingga aparat negara ikut serta terlibat dalam konflik agraria yang terjadi. Ditahun 2009 di masa rezim SBY dikeluarkannya No. 65/2016 (UU No. 2/2012) tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum berarti bahwa melegalkan perampasan dan penggusuran lahan rakyat dengan dalih kepentingan umum. Kebijakan ini terus berlanjut hingga pada masa Jokowi-JK sekarang. Dilain sisi, dalam berbagai kasus penggusuran lahan rakyat terus dihadapkan dengan aparat TNI dan Polisi, slogan yang mengatakan aparat negara berlaku sebagai pengayom dan pengaman bagi rakyat namun secara realitas berbanding terbalik, lihat saja yang terjadi di Kulon Progo Yogyakarta. Aparat TNI dan Polisi bahkan dengan percaya diri melakukan tindakan represif terhadap rakyat yang melakukan perlawanan. Hasilnya pemukulan, penculikan, bahkan pembunuhan dialami oleh rakyat. Hal ini pula yang semakin membuat kita terang bahwa aparat TNI dan Polisi tidak lain adalah pelayan pengusaha yang bertugas menjaga ketertiban agar para pemilik modal merasakan kenyamanan dan keamanan dalam berinvestasi”.

Selain bersolidaritas terhadap warga Kulonprogo yang tergusur akibat rencana pemerintah untuk memberi kemudahan terhadap investasi. Massa yang menyebut dirinya sebagai Aliansi Parlemen Jalanan (APJ) ini juga menuntut agar persoalan agrarian di Kaltim diselesaikan.  Sebagaimana disampaikan dalam tuntutan massa aksi ; “Menolak pembangunan New Yogya International Airport , bebaskan 12 Aktivis yang didiskriminasi, hentikan Keterlibatan militer dan kepolisian disetiap konflik agrari, bangun demokrasi seluas –luasnya, hentikan Konflik agrarian di KALTIM serta tangkap dan adili penjahat agrarian di KALTIM.

—————————

Setelah aksi yang dilakukan oleh APJ, pada hari yang sama, Aksi Kamisan Kaltim yang mengusung tema “Hari HAM Sedunia [Growth, Unity, Morality]” juga turut serta memberikan solidaritas terhadap penggurusan di Yogyakarta. Berbagai kalangan hadir dalam aksi tersebut, mulai dari kalangan akademisi, pemuda, mahasiswa, komunitas seni, dan kalangan  lainnya.

Diawali dengan menyanyikan lagu darah juang (karya John Tobing) secara bersama, berbagai pertunjukkan mulai dari orasi ilmiah, jaranan,  seni music perlawanan, serta puisi mulai ditampilkan.

Sholihin Bone, selaku dosen Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) samarinda mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan orasi ilmiah, “Reformasi 1998 telah berhasil  melakukan perbaikan sistem negara terutama untuk menegakkan kembali pemuliaan, pemujaan dan perlindungan HAM. Berbagai produk peraturan perundang-undangan muncul, mulai dari UU No 39 Tahun 19999 tentang HAM, kemudian UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, UU No 01 tahun 2005 tentang pengesahan kovenan internasional hak-hak ekonomi dan budaya, serta UU No 12 Tahun 2005 Tentang Kovenan Hak-hak sipil dan politik”

Sholihin tidak menampik adanya perbaikan dalam ranah regulasi pasca refomrasi 1998, namun ia mengeluhkan regulasi yang lahir hasil dari perjuangan reformasi, tidak di barengi dengan konsistensi rezim yang berkuasa dalam mengimplementasikan regulasi tersebut.

“Setiap rezim telah mengemas janji untuk menegakkan HAM secara serius, namun alih alih meyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM dimasa lalu, nyatanya pelanggaran HAM masih terus terulang di Indonesia. kita mengingat pelanggaran HAM 1997/1998, tragedi semanggi, trisakti, kematian Marsinah, Wiji Tukul, Munir, serta konflik pertanahaan yang berujung pada kekerasan yang dilakukan aparat yang juga saat ini menimpa warga kulon progo karna menolak pembangunan Bandar udara internasional, serta anak anak yang mati di lubang tambang. Ini adaah gambaran dimana negara belum sepenuhnya melaksanakan pengimplementasian nilai-nilai HAM, bahkan sering kali negara abai dalam merespon kasus-kasus pelanggaran HAM”. Ungkap dosen Hukum Untag dan STIH tersebut.

Tidak sampai situ saja, ia juga menyampaikan harapannya terhadap negara untuk segera menyelesaikan segala kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

“Negara harus hadir untuk mengawal pemuliaan harkat dan martabat warganya. Negara juga harus mampu menyeret individu individu yang terlibat dalam proses pelanggaran HAM yang terjadi di indoenesia. Diperlukan komitmen politik dalam pemajuan dan perlindungan HAM, harus pula bersandar pada cita cita bernegara dan melindungi segenap bangsa indonesia dengan nilai nilai keadilan. Dengan begitu seluruh kasus pelanggaran HAM akan bisa di selesaikan oleh pemerintah dan mendapatkan kembali rasa kepercayaan public terhadap pemerintah”.

Dalam orasi politik yang di sampaikan oleh Sholihin Bone, terdapat beberapa hal yang luput disampaikan.  Negara adalah manifestasi dari pertarungan kelas didalamnya. Kita mesti melihat ada kelas yang bertarung di dalam sebuah negara yaitu antara kelas penindas (Pemilik Modal) dengan kelas tertindas (Buruh, petani, kaum miskin kota dll). Pertarungan kelas ini memiliki tujuan yang berbeda, dimana kelas pemilik modal menginginkan penguasaan alat alat produksi secara pribadi sedangkan kelas tertindas menginginkan kepemilikan secara bersama (kolektif) dan diatur pula secara bersama. tujuan tersebutlah yang menjadi tolak ukur dalam berjalannya sebuah negara.

Di Indonesia, rezim yang berkuasa saat ini didominasi oleh para pemilik modal. Secara praktis segala lembaga parlemen, kebijakan, hukum, dan aparat negara akan berpihak pada mereka yang berkuasa agar tetap lancar proses akumulasi modalnya. Dari keberpihakan negara hari ini, kita sudah dapat berkesimpulan tidak akan pernah negara bisa menyelesaikan segala persoalan yang menimpa kaum tertindas di indonesia mulai dari penggusuran lahan, pemberangusan demokrasi, dan pelanggaran HAM. Dengan sistem negara yang menghamba pada kepemilikan pribadi tidak akan mungkin bisa menjawapi persoalan rakyat secara mayoritas, maka rakyat sendirilah yang mesti menjawapi persoalannya dengan melakukan perjuangan ekonomi  untuk mencapai kesejahteraannya dan perjuangan politik untuk berkuasa agar dapat membangun perekonomian terencana yang diatur langsung oleh rakyat mayoritas (buruh dan petani) yang dibantu dengan kelas tertindas lainnya dan membangun perekonomian yang adil dan sejahtera bagi rakyat tertindas.

Setelah itu, giliran Ade Fahrijal dari Federasi Mahasiswa Kerakyatan (FMK) yang mendapat kesempatan melakukan orasi politik. Pria yang biasa disapa Ade Gembung tersebut, menyampaikan berbagai kritik terhadap pemerintah khususnya pada ketidak mampuan pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Ia juga menekankan bahwa Jokowi adalah antek-antek Imperialis. “Pemerintahan Jokowi ini seperti HP, ganti kesing aja. Tetap aja pelayan imperial, tetap saja tidak bisa menyelesaikan persoalan HAM di Indonesia” ujar Ade.

Lebih lanjut, Ade juga menekankan bahwa tidak ada satupun partai politik hari ini yang mewakili kepentingan rakyat. Termasuk partai yang baru-baru ini mendeklarasikan pos pemenangan pancasila di Kaltim. Meskipun enggan menyebutkan nama organisasi yang dimaksud, namun berkali-kali alumni mahasiswa Fisip Unmul tersebut menyinggung organisasi yang dinilainya telah melakukan kolaborasi dengan Elit pelanggar Ham yang telah membebaskan ijin usaha pertambangan di Samarinda dan mengorbankan 28 anak mati di lubang-lubang galian bekas tambang. Pria yang juga sebagai anggota Politik Rakyat tersebut, juga mengingatkan agar gerakan rakyat tidak boleh jatuh pada jalan kolaborasi dan menyarankan agar membangun partai alternatif. “..jangan sampai gerakan rakyat jatuh pada kolaborasi dengan elit politik hari ini. Tidak ada satupun partai politik yang mewakili kepentingan rakyat. Karena itu, ya, ayok bangun partai sendiri. Partai alternatif” tutup Ade.

Aksi berakhir dengan solawat bersama yang dipimpin oleh salah satu perwakilan Front Nahdiyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA). (ha)

Loading

Comment here