Senin (4/12) pagi, pukul 06.30, ratusan massa aksi di Temon, Kulon Progo berkumpul dan bersiap-siap memblokir jalan utama ke lokasi penggusuran permukiman warga. Lokasi tersebut merupakan tempat yang hendak dijadikan mega proyek New Yogyakarta International Airport (NYIA) oleh pihak PT. Angkasa Pura.
Sebelumnya, rencana penggusuran rumah-rumah warga telah santer diberitakan oleh media. Pemrakarsa mega proyek NYIA telah menyatakan siap membabat habis seluruh lahan dan bangunan yang masih tersisa. Setidaknya masih terdapat 196 bidang tanah dan bangunan milik warga di Desa Palihan dan Glagah.
Sekitar pukul 08.30, massa aksi mulai bergerak memblokir jalan, menghadang alat-alat berat yang akan meratakan bangunan-bangunan serta melakukan orasi-orasi politik terkait penolakan mereka terhadap penggusuran. Sementara itu, aparat gabungan yang terdiri dari Satpol PP, TNI, Polri dan pihak Angkasa Pura juga terlihat mulai berdatangan dan bersiap melakukan eksekusi lahan.
Penggusuran mulai dilakukan pada pukul 10.00, eksekutor lahan berpencar menghindari blokade massa dan berhasil menghancurkan rumah-rumah kosong dan menumbangkan pepohonan di sekitarnya. Massa aksi pun bergerak menjaga rumah-rumah warga yang masih bertahan, hingga akhirnya penggusuran dihentikan pada pukul 12.00. Akan tetapi, satu jam kemudian aparat keamanan tampak bertambah jumlahnya dan penggusuran kembali dimulai, dari meratakan sebuah gereja hingga kemudian dilanjutkan meratakan rumah-rumah lainnya.
Salah satu massa aksi berlari menuju alat berat yang sedang melanjutkan pembongkaran, tak lama kemudian disusul juga oleh massa aksi yang lain guna memaksa alat berat tersebut untuk mundur. Meski dijaga ketat oleh aparat gabungan, namun massa aksi berhasil membuat alat berat tersebut mundur sejenak.
Dampak dari aktivitas penggusuraan tersebut mengakibatkan rumah-rumah warga yang masih berpenghuni mengalami kerusakan. Terlihat bongkahan beton menimpa salah satu rumah warga. Tidak hanya itu, akses jalan pun turut dirusak dengan menumbangkan pohon dan membuat lubang besar.
Massa aksi dalam pernyataannya mengatakan bahwa PT. Angkasa Pura, pemerintah RI dari pusat hingga daerah, TNI dan aparat negara lainnya bersekongkol untuk melakukan penggusuran. Warga juga menyatakan tidak menyandarkan diri pada Keraton, pasalnya pihak Keraton sendiri telah lama terlihat tidak peduli pada warga Kulon Progo. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa mereka harus berjuang sendiri untuk mendapatkan haknya, tidak dapat menitipkan nasib pada kelas penindas beserta aparatusnya.
Massa aksi terus melakukan aksinya hingga pada 16.30 sore hari. Aksi ini kemudian ditutup dengan memaksa aparat membubarkan diri dan pergi dari lokasi penggusuran.
Hari ini, Selasa (5/12), sekitar pukul 10:15, aparat kepolisian mendatangi rumah-rumah warga dan memaksa seluruh massa yang bersolidaritas untuk keluar dari rumah. Aparat kepolisian juga menuduh massa yang bersolidaritas tersebut sebagai provokator. Aparat kepolisian bersama aparat desa meminta massa menyerahkan identitas. Tindakan tersebut berujung pada penangkapan 12 orang yang bersolidaritas melawan NYIA. Mereka dibawa ke kantor PT PP dan kemudian ke Polres Kulon Progo. Selain menangkap massa, aparat kepolisian juga menganiaya warga. Warga bernama Hermanto bocor di kepalanya akibat penganiayaan tersebut sementara Fajar yang memiliki rumah di Desa Palihan, diseret-seret oleh aparat kepolisian. Sementara itu jalan di depan Masjid yang menjadi posko warga dihancurkan dan pohon-pohon ditumbangkan.
Mereka yang ditangkap adalah, Andre Imam dari LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Ekspresi (LPM Universitas Negeri Yogyakarta/UNY), Muslih dari FNKSDA (Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam), Kafabi dari UIN (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga), Rifai dari Universitas Mercubuana, Wahyu dari UIN, Fahri dari LPM Rhetor (LPM UIN), Rimba dari LPM Ekspresi, Samsul dari LFSY (Liga Forum Studi Yogyakarta), Chandra dari LFSY, dan Mamat dari UIN, dan Yogi dari UNS (Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta).
Menanggapi penangkapan tersebut, ketika reportase ini dibuat, upaya pembangunan solidaritas sedang dibuat. Solidaritas akan dilakukan dengan mobilisasi massa menolak penggusuran dan menuntut dibebaskannya semua massa yang bersolidaritas.
Pada hari ini juga, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) melancarkan aksi solidaritas kendeng lestari. Mereka menuntut agar Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo tidak memperpanjang izin lingkungan pabrik semen PT SMS (Indocemen) di Pati. Persoalan perampasan tanah lainnya juga dapat kita lihat di berbagai daerah. Tanah-tanah dirampas demi kepentingan akumulasi para pemilik modal. Korban perampasan tanah tersebut adalah rakyat tertindas, entah itu petani, penduduk kota maupun desa, kaum miskin kota, nelayan, dsb.
Aparat kepolisian menggunakan politik pecah belah untuk menghancurkan perlawanan terhadap perampasan tanah. Mereka melakukannya dengan menuduh massa yang bersolidaritas telah memprovokasi warga. Aparat kepolisian membuat seolah-olah warga tidak memiliki kepentingan untuk melawan perampasan tanah. Membuat seolah-olah warga dan massa yang bersolidaritas tidak memiliki kepentingan yang sama melawan NYIA. Aparat kepolisian berupaya untuk memisahkan massa dan warga dengan mengurung dan memagari persoalan perampasan tanah hanya di tingkatan lokal saja.
Politik pecah belah tersebut tentu harus kita lawan. Kita melawannya dengan menunjukan bahwa perlawanan kita adalah perlawanan dari seluruh rakyat tertindas melawan kapitalisme yang merampas tanah. Bahwa perlawanan kita tidak berdasarkan atas jenis kelamin ataupun agama. Bahwa perlawanan ini membutuhkan solidaritas dan menyatukan laki-laki, perempuan, Islam, Kristen, Hindu, Atheis, dsb melawan kapitalisme. Solidaritas antar sesama rakyat tertindas masih akan terus dibutuhkan hingga kapitalisme sebagai akar segala permasalahan berhasil ditumbangkan. (rf, bd)
Comment here