Ditulis oleh Kim Bullimore
Seiring peringatan seratus tahun Deklarasi Balfour tiba pada bulan (November, tanggal 2-pen) ini, Israel dan para pendukungnya –termasuk pemerintahan Inggris dan Australia – merayakan peringatan tersebut, sementara rakyat Palestina berduka dan memprotesnya.
Deklarasi Balfour adalah pernyataan dukungan pemerintahan Inggris untuk pendirian negara Yahudi di Palestina. Deklarasi tersebut sangat singkat, hanya terdiri dari 67 kata. Namun akibatnya merupakan malapetaka bagi rakyat Palestina. Seperti yang diamati oleh ahli sejarah Israel Avi Shlaim, “akibatnya dalam sejarah Timur Tengah selanjutnya tidak lain adalah revolusioner”.
Terbit pada tanggal 2 November 1917, setelah disetujui oleh kabinet perang Inggris, deklarasi tersebut ditandatangani oleh menteri luar negeri Arthur Balfour, menyatakan:
“Pandangan pemerintahan Yang Mulia Ratu mendukung pendirian sebuah rumah nasional bagi orang Yahudi di Palestina, dan akan menggunakan usaha yang terbaik untuk memfasilitasi tercapainya tujuan tersebut, dipahami dengan jelas tidak boleh melakukan apapun yang dapat merugikan hak sipil dan religius dari komunitas-komunitas non-Yahudi yang sudah ada di Palestina, atau hak dan status politik yang dinikmati oleh orang Yahudi di negeri lainnya.”
Gerakan Zionis – untuk pertama kalinya – mendapatkan dukungan imperialis, yang telah lama dicarinya, untuk menjalankan proyek pendudukan-kolonialnya.
Zionisme
Zionisme politik dilahirkan dalam reaksi terhadap anti-semitisme Eropa dan gelombang pogrom anti-Yahudi yang melanda benua tersebut pada akhir abad ke-19. Bagian kecil dari kelas menengah Yahudi Eropa percaya bahwa anti-Semitisme adalah tanggapan tidak dapat dihindari terhadap Yahudi yang hidup diantara non-Yahudi, ketimbang merupakan akibat dari perkembangan kapitalisme.
Kaum Zionis mulai kampanye untuk mendirikan tanah air “nasional” Yahudi, meskipun mereka merupakan sebuah kelompok religius etno-budaya ketimbang sebuah bangsa.
Abram Leon, seorang Trotskis Yahudi Belgia yang pertama kali memberikan pemahaman Marxis komprehensif mengenai Zionisme, menjelaskan pada tahun 1942: “Zionisme pada dasarnya adalah reaksi melawan situasi yang diciptakan untuk Yudaisme oleh kombinasi penghancuran feodalisme dan membusuknya kapitalisme… ideologi Zionis, seperti ideologi lainnya, hanyalah refleksi terdistorsi dari kepentingan kelas”.
Uganda, Argentina atau Palestina?
Theodor Herzl, pendiri Zionisme, memahami bahwa dunia telah dibagi-bagi oleh kekuatan-kekuatan kolonial yang saling bersaing dan bahwa mereka, untuk mendirikan negara Yahudi, akan membutuhkan dukungan dari kekuasaan imperialis. Herzl mencatat bahwa Palestina adalah salah satu dari banyak kemungkinan lokasi untuk tanah air nasional, menulis dalam pamfletnya tahun 1896, The Jewish State-Negara Yahudi: “Apakah kita akan memilih Palestina atau Argentina?” Dia mengatakan bahwa kaum Zionis akan “mengambil apa yang diberikan kepada kita, dan apa yang dipilih oleh opini publik Yahudi”.
Dari tahun 1895 hingga kematiannya pada tahun 1904, Herzl mencari dukungan untuk proyek Zionis dari perwakilan sejumlah negara-negara Eropa dan perwakilan Kekaisaran Ottoman, yang mempunyai kendali atas Palestina. Dia bahkan menulis kepada Cecil Rhodes, kemungkinan merupakan kolonialis Inggris paling terkenal pada saat itu, mengundangnya untuk “membantu membuat sejarah” dengan mendukung tujuan dari gerakan Zionis.
Pada tahun 1903, Herzl menerima tawaran Inggris untuk mendirikan negara Yahudi di Uganda. Namun, dua tahun kemudian Kongres Zionis menolak rencana tersebut untuk mendukung pendiriannya di Palestina. Setelah kematian Herzl, Chaim Weizmann menjadi tokoh protagonis utama dalam gerakan, melobi pemerintahan Inggris untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina.
Weizmann berupaya mendapatkan dukungan Balfour meskipun, selama menjabat sebagai perdana menteri (1902-05), Balfour telah mendorong undang-undang anti imigrasi untuk mencegah Yahudi melarikan diri dari pogrom di Eropa timur masuk ke Inggris. Tawaran sebuah “jalur tanah subur” di Uganda kepada Herzl pada tahun 1903 oleh pemerintahan Balfour, sebagian, merupakan upaya untuk mencegah orang Yahudi masuk ke Inggris.
Hasrat Imperialis
Kenapa Balfour dan pemerintahan Konservatif Inggris memutuskan pada tahun 1917 untuk menjanjikan gerakan Zionis negeri kecil di Timur Tengah, padahal tidak memiliki klaim legal dan merupakan milik orang lain?
Pada tahun 1908, minyak ditemukan di Persia, memastikan bahwa Timur Tengah akan menjadi sentral bagi kebutuhan Imperialisme Inggris. Angkatan Laut, di bawah kepemimpinan Winston Churchill, merubah armada Inggris yang menggunakan batu bara menjadi menggunakan minyak pada tahun 1911. Hanya beberapa minggu sebelum pecah Perang Dunia Pertama, Inggris membeli saham pengendali di Anglo-Persian Oil Company (kemudian menjadi British Petroleum), menjadi satu-satunya penghasil minyak yang signifikan di luar Amerika.
Inggris juga ingin memastikan akses terus menerus dan kontrol terhadap Terusan Suez, karena terusan tersebut memberikan rute paling langsung ke koloni-koloninya di India. Oleh karena itu kontrol terhadap Palestina adalah hal penting yang strategis.
Seiring Perang Dunia Pertama berakhir, Inggris menjalankan rencana rahasia yang telah dibuatnya bersama Perancis pada tahun 1916 untuk membagi-bagi provinsi Arab milik Kekaisaran Ottoman yang sekarat. Perjanjian Sykes-Picot – yang dibongkar dihadapan dunia ketika pemimpin revolusioner Rusia Trotsky dan Partai Bolshevik memublikasikan perjanjian-perjanjian rahasia intra-Sekutu lainnya – menyerahkan sebagian besar Suriah dan apa yang hari ini menjadi Lebanon kepada Perancis dan Palestina kepada Inggris.
Deklarasi Balfour, yang dikeluarkan satu bulan sebelum Inggris merebut kendali atas Jerusalem dan secara militer menduduki seluruh Palestina, adalah sebuah manuver strategis penting. Inggris telah melakukan diskusi intens dengan kaum Zionis selama beberapa bulan. Deklarasi tersebut menyediakan batu penjuru bagi Inggris dan Zionis, yang kepentingannya bersinggungan untuk sementara.
Menurut ahli sejarah Yahudi Swiss Jon Kimche: “Ini adalah realisme dasar yang dengannya Balfour dan Weizmann saling terpadu; mereka memahami bahwa mereka harus bersama-sama dalam sebagian jalan, namun suatu saat akan tiba mereka harus berpisah.”
Reaksi Rakyat Palestina
Mayoritas besar rakyat Palestina tidak mengetahui Deklarasi Balfour hingga awal tahun 1920. Dengan kalahnya Jerman dan sekutu-sekutunya, kekuatan imperialis yang menjadi lawannya yaitu Sekutu bertemu di Paris untuk membagi-bagi rampasan perang, mendirikan Liga Bangsa-bangsa dan sebuah “sistem wajib”, yang menempatkan koloni-koloni dan teritori-teritori yang dikuasai Jerman dan Kekaisaran Ottoman di bawah pengawasan negeri yang lebih “maju” untuk menyiapkannya bagi hak menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan.
Namun seperti dikatakan oleh seorang sosialis George Padmore pada tahun 1937, sistem wajib Liga Bangsa-bangsa tidak dapat dibedakan dengan bentuk kolonialisme yang lainnya dan hanya menciptakan ilusi bahwa teritori-teritori yang dikuasai oleh Jerman dan Ottoman tidak dianeksasi oleh pemenang-pemenang imperialis.
Rakyat Palestina pada akhirnya menyadari deklarasi tersebut ketika mereka dimasukan kedalam mandat protokol untuk Palestina. Sebagai tanggapan, mereka turun ke jalan-jalan dalam demonstrasi massal untuk menentang baik kebijakan kolonial Inggris dan Zionisme.
Kekuatan Sekutu memahami, bahkan sebelum demonstrasi-demonstrasi tersebut, bahwa orang-orang Arab menentang keras pendirian negara Yahudi di Palestina. Pada tahun 1919, Komisi King-Crane, yang didirikan oleh presiden AS Woodrow Wilson, menghabiskan waktu tiga bulan untuk mengunjungi Lebanon, Suriah, Palestina dan Yordania untuk “menjelaskan pendapat umum” mereka yang tinggal disana.
Komisi tersebut mengumpulkan 1.863 petisi terkait Suriah dan Palestina saja, dengan 72 persen menunjukan penentangan kuat terhadap klaim gerakan Zionis terhadap Palestina. Tidak mengejutkan, sentimen anti-Zionis tersebut paling kuat di Palestina, dengan 222 dari 260 petisi yang diterima menentang pendirian negara Yahudi.
Namun penentangan orang-orang Palestina dan Arab tidak penting bagi pemerintahan Inggris. Menurut Balfour, dalam memorandum bagi menteri luar negeri Inggris yang baru menjabat, “kita tidak mengusulkan untuk bahkan menjalankan bentuk konsultasi keinginan penghuni saat ini”. Kekuatan Sekutu berkomitmen terhadap Zionisme – dan ini adalah “hal penting yang besar ketimbang hasrat dan prasangka dari 700.000 orang Arab yang sekarang menghuni tanah kuno tersebut”.
Ini meskipun orang-orang Arab menyusun 90 persen dari populasi Palestina.
Dikhianati, rakyat Palestina melawan baik kebijakan imperialis Inggris dan kolonialisme pendudukan Zionis, dengan kerusuhan meletus pada tahun 1920 dan 1921 menuntut dibatalkannya Deklarasi Balfour. Tuntutan ini menjadi fokus utama dari setiap Kongres Arab yang diselenggarakan oleh gerakan nasional Palestina selama periode Mandat Inggris. Sebagai tambahan, ketika Inggris berusaha untuk menenangkan rakyat Palestina dengan menawarkan pendirian sebuah dewan legislatif, mereka memilih untuk memboikotnya karena struktur dewan tersebut hanya memperkuat, ketimbang merubah, kebijakan Inggris.
Pada taun 1925, rakyat Palestina melancarkan pemogokan umum menentang kekuasaan Inggris dan kolonialisme pendudukan Zionis, dan pada tahun 1929 kerusuhan kembali pecah, mengakibatkan kematian 133 orang Yahudi dan 116 orang Palestina. Kerusuhan tersebut merupakan reaksi semakin meningkatnya imigrasi Yahudi dan pembelian tanah. Antara tahun 1922 dan 1929, populasi Yahudi di Palestina meningkat dari 11 persen menjadi 28 persen. Lebih dari 20.000 rakyat Palestina digusur dari tanah yang telah dikerjakan oleh keluarga mereka selama berabad-abad.
Sepanjang awal tahun 1930an, rakyat Palestina terus melakukan agitasi melawan dukungan Inggris terhadap proyek Zionis, memuncak pada salah satu pemogokan umum terpanjang dalam sejarah (bertahan lebih dari 170 hari) dan sebuah pemberontakan anti-kolonial yang melanda Palestina selama tiga tahun antara 1936 dan 1939. Inggris meredam pemberontakan tersebut hanya setelah memobilisasi 20.000 prajurit dan 14.500 anggota Haganah, sebuah milisi Zionis. Lebih dari 5.000 rakyat Palestina tewas, ratusan digantung karena peran mereka dalam pemberontakan tersebut. Ratusan lagi dideportasi dari negeri mereka sendiri dan puluhan ribu dikurung dalam kamp-kamp pengungsian.
Di bawah undang-undang darurat, Inggris menerapkan tindakan keras hukuman kolektif, seperti penghancuran rumah-rumah Palestina dan pemboman seluruh desa-desa Palestina. Hari ini, negara Israel terus mereplikasi banyak dari tindakan-tindakan keras hukuman kolektif yang dijalankan dahulu saat pemberontakan.
Penindasan pemberontakan 1936-39 meletakan dasar bagi pembantaian etnis Palestina pada tahun 1947-48. Setelah menghancurkan perlawanan awalnya, Inggris meninggalkan Palestina untuk kaum Zionis, di bawah kepemimpinan David Ben-Gurioin. Pada awal 1949, kaum Zionis sudah merebut kontrol atas 75 persen Palestina. Delapan belas tahun kemudian, pada tahun 1967, Israel melancarkan Perang Enam hari untuk menaklukan sisa daerah Palestina, menduduki Jerusalem Timur, Gaza dan Tepi Barat.
Deklarasi Balfour dan kebijakan imperialis Inggris selama masa mandat memfasilitasi pembangunan sebuah negara Zionis dengan mengorbankan populasi Arab Palestina yang ada. Serta meletakan dasar bagi pengusiran massal rakyat Palestina dan penyingkiran serta pendudukan yang terus terjadi di Palestina hari ini.
Sementara Israel dan para pendukungnya, termasuk yang saat ini berada di pemerintahan Inggris, merayakan 100 tahun kolonialisme pendudukan yang didukung imperialis, rakyat Palestina – dengan para pendukungnya – akan memobilisasi diri di jalan-jalan untuk melanjutkan perjuangan untuk hak menentukan nasib sendiri rakyat Palestina.
Tulisan ini diterjemahkan dari artikel The Balfour Declaration: a century of colonisation and resistance yang ditulis oleh Kim Bullimore di redflag.org.au pada 6 November 2017 . Artikel asli dapat diakses di https://redflag.org.au/node/6090. Diterjemahkan oleh Dipo Negoro, kader KPO PRP.
Comment here