AksiPernyataan Sikap

Ribuan Massa Front Persatuan Rakyat Menuntut Tutup Freeport

Aksi Tutup Freeport
Aksi Tutup Freeport

Pada hari Kamis, 23 November, ribuan massa mahasiswa dan rakyat West Papua yang tergabung dalam Front Persatuan Rakyat (FPR) melancarkan aksi di Jayapura menuntut penutupan Freeport. Dalam pernyataan sikapnya FPR menyatakan “selama 50 tahun penguasaan sumber daya alam Nemangkawi oleh PT. Freeport, tak ada satupun keuntungan bagi rakyat Papua terlebih rakyat Amungsa sebagai pemilik negeri. Disamping kenyataan yang hari ini menyengsarakan rakyat Papua di Bumi Amungsa, yakni dihasilkannya limbah, dirusaknya hutan menjadi lahan tambang dan merusak tatanan sosial masyarakat Amungsa, hingga berujung pemusnahan sistematis akibat mengkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi limbah beracun.”

Dalam aksinya massa membawa poster dan spanduk bertuliskan “Freeport Akar Kejahatan Kemanusiaan di Papua”, “Media Nasional Segera Hentikan Pemberitaan Kabar Hoax Soal Konflik Tembagapura”, “Indonesia 51%, AS 49%, Orang Papua 0%, #TutupFreeport”, “Rakyat Papua Korban Kepentingan Freeport”, “Save Memangkawi”, “Emas Melimpah di Memangkawi, Tong Hanya Penjual Pinang”,

Aksi dimulai sejak pukul 9 pagi di beberapa titik seperti Uncen Atas, Asrama Mimika, Ekspo, Abe serta Dok Sembilan. Sekitar pukul 11 siang, massa bergerak untuk kemudian berkumpul di Taman Nimbi. Pada pukul 13:25 massa sudah memasuki kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Di DPRP, massa aksi tidak mau menyerahkan pernyataan sikap mereka, lantaran sudah tidak percaya lagi kepada DPRP.

Selain menuntut penutupan Freeport massa juga menuntut dibukanya akses untuk jurnalis dan media internasional. Ini demi objektifitas pemberitaan masalah di Tembagapura dan meminta TNI-Polri menghormati kode etik jurnalis demi berimbangnya informasi terkait situasi Tembagapura.

Koordinator umum FPR, Womsiwor Samuel menyatakan bahwa “Kami datang bertelanjang dada di sini, sebagai bentuk ketidak adilan kepada kami di tanah sendiri. Tidak ada penyanderaan di Tembagapura, 334 orang yang dievakuasi, bukan disandera oleh orang asli Papua, tapi karena negara gagal mensejahterakan mereka,” ujarnya. “Kita selama ini korban. Ini bukan aksi pertama dan terakhir, kami akan melakukan prakondisi membalikkan opini yang berkembang kalau ada penyanderaan dan lain-lain. Kami korban, non-Papua korban, aparat TNI-Polri juga korban dari konflik berkelanjangan di area Freeport,” katanya.

Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Cenderawasi Jayapura, Paskalis Boma dalam orasinya mengatakan, “Ini karena tidak sesuai fakta. Korban tidak hanya warga sipil, tapi juga aparat keamanan, karena sistem memaksa mereka harus berjaga di area tambang Freeport.”Tutup Freeport

Sekitar pukul 16:15, massa aksi membubarkan dirinya. (agf, imk)


 

FRONT PERSATUAN RAKYAT (FPR)

“TUTUP FREEPORT”

 

FREEPORT AKAR PERSOALAN DI TANAH PAPUA

Selama 50 Tahun penguasaan Sumber Daya Alam Nemangkawi oleh PT. Freeport, tak ada satupun keuntungan bagi rakyat Papua terlebih rakyat Amungsa sebagai pemilik negeri. Disamping kenyataan yang hari ini menyengsarakan rakyat Papua di Bumi Amungsa, yakni dihasilkannya Limbah, dirusaknya hutan menjadi lahan tambang dan merusak tatanan sosial masyarakat Amungsa, hingga berujung pemusnahan sistematis akibat mengkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi limbah beracun.

Menurut data Ahli Geologi Indonesia, bahwa hingga 50 Tahun Freeport beroperasi (hingga 2017), kekayaan rakyat Papua ini telah dieksploitasi hingga mencapai 1,7 miliar ton, dari total 3,8 miliar ton sejak Kontrak Karya II tahun 1991, dengan presentase 165 biji ton per hari, disamping itu Freeport berhasil merauk keuntungan sebesar 116 Miliar perhari. Selain itu, selama berjalannya Kontrak Karya Freeport, demi stabilitas kapitalis besar ini, Pemerintah Indonesia dijadikan tameng dalam melindung segenap kepentingan dan kedaulatan Freeport atas tanah Papua. Mulai dari pembagian saham, yang setidaknya memberikan keuntungan serta mampu menutup mata Indonesia terhadap persoalan mendasar pada rakyat Papua, hingga TNI/POLRI Indonesia yang dijadikan “anjing penjaga” dalam melindungi dan menghusir setiap penggangu dan mengancam stabilitas Freeport di Tanah Papua. Maka tak heran, sisi kemanusiaan diabaikan demi memuluskan kepentingan investasi Freeport di Tanah Papua. Mulai dari jatuhnya korban TNI/POLRI demi menjaga kepentingan tuannya Freeport serta rakyat pribumi pemilih tanah Amungsa akibat tekanan intimidasi dari apparat militer Indonesia sejak beroparasinya pada tahun 1967.

Selanjutnya, dengan mengabaikan hak keselungan rakyat bangsa Papua, yang menuntut dikembalikannya kedaulatan atas Freeport yang telah direkayasa sejak anekasasi Bangsa Papua, 1 Mei 1963 hingga plebisit PEPERA tahun 1969. Freeport dan Indonesia kembali mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017 tentang perubahan keempat atas PP No. 23/2010 tentang pelaksanaan  Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, atau UU Minerba, dengan Divestasi 51 persen saham, dan mengubah kontrak karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Namun drama tetap dibuat, antara Freeport dan Indonesia atas bumi Amungsa dengan tetap mengabaikan, rakyat Papua di Bumi Amungsa. Sisi kemanusiaan kembali diabaikan, dengan melihat dinamika yang berkembang di bumi Amungsa akhir-akhir ini, bagaimana Tarik ulur mengenai investasi saham Freeport yang nantinya akan diperpanjang atau tidak pada 2021 nanti, maka Briptu Berry Pratama dan Brigadir Firman dikorbankan demi pengamanan penuh atas wilayah Freeport, dan merupakan kilas balik atas peristiwa 16 Maret 2006 dimana 5 parjurit TNI/POLRI demi kepentingan yang sama yakni, mulusnya Keberadaan Freeport atas tanah Papua. Rakyat Papua yang melawan untuk mengembalikan hak kedaulatannya atas Freeport, dituduh separatis, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), dan stigma lainnya demi melancarkan serangan militer se-sporadis mungkin terhadap rakyat Papua yang telah distigma dengan berbagai hal yang berujung pelanggaran HAM dengan dalih pengamanan kedaulatan NKRI dan memuluskan keberadaan Freeport di Tanah Papua.Tutup Freeport 3

Serta yang sangat mengherankan adalah tidak diberikannya akses terhadap wartawan atau media local dalam meliput setiap kejadian yang berkembang di Tembagapura tersebut dan tentu Pemeritah dan TNI/POLRI “berani” melanggar kode etik jurnalis untuk menyembunyi apa yang sebenarnya terjadi di areal konflik tersebut. Kemudian dari konflik “tersembunyi” tersebut, Pemerintah Indonesia lewat TNI/POLRI membangun opini penyanderaan terhadap 1334 warga di kampung banti, utikini dan kinambeli kawasan pertambangan Freeport. Hingga berujung dievakuasinya 334 warga non-Papua yang patut kita pertanyakan keberadaannya di lokasi yang menjadi konflik belakangan ini, mulai dari: darimana mereka masuk? Atas izin siapa? Dan untuk apa mereka berada disana?

Sehingga apapun yang terjadi di tanah Nemangkawi, Tembagapura, Freeport. Maka kami mahasiswa pemuda dan rakyat, yang tergabung dalam Front Persatuan Rakyat, menyatakan bahwa untuk mencegah konflik kemanusiaan yang berkepanjangan, maka kami:

  1. Meminta ditutupnya Freeport sebagai akar persoalan di Timika dan Papua pada umumnya, serta kembalikan hak kedaulatan rakyat Amungsa demi mencegah konflik kemanusiaan yang berkepanjangan di Freeport Tembagapura –Timika;
  2. Meminta untuk diberikannya akses bagi wartawan independen dan media Internasional, demi objektifitas konflik di Tembagapura. Dan meminta TNI/POLRI untuk menghormati kode etik jurnalistik, demi berimbangnya informasi yang berkembang di Tembagapura Freeport – Timika;
  3. Menganggap Pemerintah Indonesia gagal dalam mensejahterakan rakyat Indonesia yang nasibnya terabaikan di kawasan luar Papua, sehingga berdampak pada mobilisasi masyarakat Indonesia ke Papua yang tidak terkontrol, yang berujung pada ditemukannya masyarakat illegal di kawasan Tembagapura, sebanyak 334 orang.

Demikian pernyataan ini kami buat, dengan segala kesadaran sebagai pewaris negeri bangsa Papua. Kiranya Allah Bangsa Papua menyertai dan melindungi segenap rakyat diatas Tanah Papua hingga terciptanya pembebasan nasional.

 

Front Persatuan Rakyat (FPR)

“TUTUP FREEPORT”

Penanggung Jawab Umum,

 

Presiden Mahasiswa

Universitas Cenderawasih

 

 

 

 

 

Paskalis Boma

Koordinator Umum,

 

Front Persatuan Rakyat (FPR)

“Tutup Freeport”

 

 

 

 

 

Womsiwor Samuel

 

Loading

Comment here