Seksisme hadir 24 jam dalam keseharian perempuan, baik di rumah, di ruang publik, di ruang kerja bahkan di ruang privat. Seksisme hadir dalam bentuk diskriminasi, marjinalisasi, dilabeli (stereotip gender), kekerasan seksual, komodifikasi, beban kerja ganda, objektifikasi seksual dan korban terbanyak pemiskinan. Termasuk seksisme dan kekerasan verbal yang ada dalam ucapan sehari-hari (pelacur, lonte, janda, sudah tidak perawan dan lain-lain). Tubuhnya dijadikan alat reproduksi (semata). Perempuan yang tidak bisa hamil atau tidak mau hamil oleh faktor eksternal, bukanlah perempuan yang sempurna. Tubuhnya dijadikan alat pemuas atau objek seksual. Terciptanya standar kecantikan menurut sistem yang berkuasa di Indonesia, perempuan cantik itu tinggi, putih, berambut lurus dan tebal, bibir tipis, muka tirus, dan langsing. Perempuan di luar kategori tersebut dianggap bukan perempuan cantik. Tubuhnya dijadikan sebagai alat tukar (pekerja seks komersial,dan lain-lain).
Seksisme juga muncul berupa kebudayaan mahar dalam perkawinan, perkawinan dini anak perempuan karena kemiskinan keluarganya, kawin kontrak, perdagangan anak dan perempuan. Kontrol seksual dimana perkawinan menjadi sarana legalitas pemerkosaan dalam hubungan suami istri. Sunat perempuan, kontrasepsi paksa, pemaksaan jumlah anak di Indonesia dikenal dengan program Keluarga Berencana (KB), menganjurkan pasangan rakyat pekerja hanya mempunyai anak maksimal dua orang, namun secara ironis membiarkan keluarga konglomerat dan pejabat termasuk keluarga Cendana beranak-pinak secara bebas, pelarangan kontrasepsi, kontrol perilaku perempuan dalam tata cara berpakaian, pemaksaan ataupun pelarangan aborsi, pelecehan seksual, pemaksaan heteroseksual sebagai satu-satunya orientasi seksual yang diperbolehkan. Pekerja hamil dipecat, perempuan tidak boleh menikah selama bekerja. Penomorduan (subordinasi) yang menyebabkan diskriminasi dan marjinalisasi. Kerja ganda, dan tidak diberikan ruang dalam pengambilan keputusan baik dalam keluarga maupun diranah publik. Pekerjaan yang tidak memperbolehkan suami-istri sekantor.
Teori Seksisme ini tidak sama dengan teori Patriarki yang pernyataannya diterima mentah-mentah dan masih digunakan hingga saat ini. Teori patriarki menyebutkan adanya perbedaan mendasar antara laki-laki dan perempuan, yang menyebabkan laki-laki berkuasa atas perempuan. Teori yang dikembangkan feminis seperti Juliet Mitchell dan Miriam Dixon, yang dalam bukunya “The Real Matilda”, cenderung menyalahkan laki-laki kelas pekerja Irlandia atas penindasan perempuan, dengan mengunakan teori patriarki sebagai dasar argumennya. Gagasan kekuasaan laki-laki atas perempuan dan patriarki membawa gerakan perempuan pada kehancuran. Mereka tidak punya jawaban atas cara melawan ketertindasan perempuan. Banyak berkembang pandangan bahwa Kapitalisme harus digantikan dengan Sosialisme, namun penindasan atas perempuan akan tetap berlanjut. Hal ini berdasarkan argumen laki-laki secara alamiah pasti menindas perempuan.[1] Hal ini menyebabkan gerakan perempuan saat ini, sibuk menyalahkan laki-laki atas kekerasan seksual, diskriminasi, dan ketidaksetaraan yang terjadi.
Seksisme, menurut pandangan Marxis, terkait perbedaan kelas yang memegang peranan penting dalam masyarakat. Sehingga akar sejarah penindasan perempuan terletak dalam masyarakat kelas. Bentuk-bentuk penindasan perempuan yang terjadi saat ini adalah hasil dari kebutuhan kapital yang juga berhubungan dengan perkembangan konsep keluarga borjuis. Maka perjuangan untuk mengakhiri kekuasaan kapital, perjuangan atas sosialisme, adalah juga perjuangan pembebasan perempuan. Karena kelas adalah dasar pemecah dalam masyarakat, ketika kelas pekerja, baik laki-laki maupun perempuan, bersama-sama melawan segala aspek kapitalisme maka mereka akan mampu merobohkan seksisme yang selama ini memecah-belah mereka.
Bangkitnya Masyarakat Kelas dan Domestikasi Perempuan[2]
Bangkitnya masyarakat kelas di sejalan dengan sejarah perkembangan hidup manusia. Dalam akhir masa komunal primitif, manusia bergerak dari berburu meramu ke holtikultura hingga kemudian ke agrikultur/ pertanian. Dalam gerak tersebut, terjadi perubahan kualitatif yaitu kemunculan kelas serta sebagai akibatnya adalah perubahan dari holtikultura kolektif yang dikontrol oleh perempuan ke aktivitas ekonomi individual yang dikontrol oleh laki-laki ketika mereka untuk pertama kalinya menjadi petani melalui pertanian bajak.
Saat manusia memasuki masyarakat pertanian, karena kondisi alam yang mengharuskan adanya perkembangan teknologi pertanian, mendorong manusia menciptakan alat pertanian yang dikenal dengan bajak. Didapati peningkatan produktivitas pertanian (yang mengunakan bajak) lebih besar ketimbangan produktivitas holtikultura. Proses pertanian dengan membajak merupakan aktivitas yang terisolasi dan lebih berat kerjanya ketimbang holtikultura serta tidak mudah dikerjakan bersama dengan merawat anak. Ini diiringi juga dengan perubahan dari menyimpan daging dan kulit menjadi domestifikasi hewan untuk menghasilkan susu, wol serta tenaganya digunakan untuk membajak, memanen dan transportasi.
Pertanian bajak berkembang di Mesopotamia pada 4.500 SM hingga Eropa pada 500 Masehi. Dengan itu maka tanah menjadi sumber kekayaan privat serta perkembangan proses untuk produk seperti susu dan wol, termasuk peternakan. Itu berarti semakin berkembang pembagian kerja dengan begitu banyak tugas yang muncul. Seperti membajak, melatih hewan ternak, memerah susu, proses membuat keju atau yogurt, mencukur domba untuk wol, memintal wol, serta memberi makan, minum dan menggembalakan hewan ternak.
Laki-laki mengerjakan pertanian dan menggembalakan ternak, yang merupakan produksi makanan utama. Pertanian bajak yang intensif juga mendorong kebutuhan lebih banyak tenaga kerja. Perempuan kemudian didorong untuk menghasilkan sebanyak mungkin anak-tenaga kerja dan fungsi reproduksi tersebut ditekankan sebagai peran utama kaum perempuan. Ini berakibat pada keturunan laki-laki dinilai lebih ketimbang perempuan seiring kaum perempuan mundur dari aktivitas pertanian (farming) dan semakin sedikit berkontribusi pada produksi makanan sehari-hari. Aktivitas yang sebelumnya menjadi peran utama mereka dan dasar dari status sosial setara mereka. Perempuan semakin tersingkir dari proses utama produksi makanan meskipun peran mereka untuk menyiapkan makanan semakin besar. Selain itu perempuan semakin terisolasi di rumah untuk juga mengerjakan produk kerajinan seperti menenun dan tembikar serta mengasuh anak.
Perubahan tersebut mendorong perubahan dari matrilineal dan matrilokal ke patrilineal dan patrilokal. Yang juga menjadi dasar bagi pergantian sistem klan dengan unit-unit individual keluarga yang dikepalai oleh suami. Domestikasi terhadap kaum perempuan terbentuk pada tahap (tertentu) perkembangan sosial dan dilembagakan melalui keluarga. Dengan kata lain, domestikasi perempuan adalah permasalahan sosial, bukan ditentukan secara biologis, dan hal itu terus berlanjut, berkali-kali mengalami perkembangan.
Tubuh perempuan didomestikasi, dipenjara, dan kemampuan kerjanya, direduksi hanya sebagai kerja reproduktif, pelayanan dan pemeliharaan. Dengan kata lain kemampuan tubuh perempuan dibatasi dan dipusatkan hanya pada ranah domestik, dan perempuan pelaksana tugas rumah tangga.
Komodifikasi terhadap Tubuh Perempuan
Penindasan terhadap perempuan itu sangat spesifik, karena perempuan yang mengalaminya lebih banyak daripada laki-laki. Sudah sejak lama tubuh perempuan menjadi area perang. Sejak lama tubuh perempuan dikonstruksi untuk sekadar berperan sebagai; alat reproduksi, alat pemuas seksual hingga alat tukar atas dasar relasi pemilikan yang berpusat pada laki-laki (pernikahan). Dengan kata lain tubuh perempuan dijadikan sasaran tindakan, kontrol, dan objek kepemilikan.
Tubuh perempuan dijadikan komoditas oleh sistem masyarakat berkelas hari ini. Komodifikasi tubuh perempuan menjadi masif di era industrialisasi kapitalis. Tubuh perempuan didayagunakan sebagai sumber profit industri. Industri kecantikan, bentuk tubuh, fashion, pornografi, periklanan. Perempuan membeli harga produk kecantikan untuk dapat eksis sekaligus diterima dalam pergaulan sosial, dan untuk diminati oleh laki-laki, dibuat bergantung pada produk-produk tersebut. Perempuan didorong melakukan berbagai cara untuk membentuk tubuh ideal sesuai konsepsi kecantikan yang dikonstruksi kapitalisme. Bahkan lewat industri pornografi tubuhnya dibuat jadi objek seksual.
Ketika memperbincangkan “komodifikasi” sesungguhnya yang sedang diperbincangkan adalah suatu lembaga bernama industri, yang merupakan anak dari Kapitalisme. Komodifikasi tubuh perempuan yang secara khusus mengarah pada asosiasi seks, yang secara langsung mengarah pada konotasi erotisme seksual. Maka lewat celah inilah kapitalisme seolah memperoleh akses lebar untuk mendapat celah ampuh untuk masuk menawarkan produknya.
Pembebasan Perempuan dan Hak atas Reproduksi
Kaum perempuan tidak memiliki kontrol atas fungsi reproduksinya. Rakyat pekerja perempuan tidak memiliki akses terhadap informasi yang lebih ilmiah mengenai reproduksi atau seks akibat kecilnya kesempatan pendidikan dan kuatnya pengaruh agama. Secara ekonomi dan sosial kaum perempuan ditekan untuk melahirkan lebih banyak anak. Sedangkan pengendalian kelahiran biasanya dilakukan untuk memenuhi kepentingan imperialisme dalam mengontrol populasi secara rasis. Hal ini biasanya dilakukan dengan memaksa sterilisasi pada kaum perempuan usia subur seperti di negara-negara dengan tingkat populasi penduduknya sangat tinggi dan negara-negara berkembang.
Walaupun sterilisasi tidak menjadi kebijakan pemerintah namun hal ini merupakan penghalang bagi kaum perempuan untuk memperoleh hak dalam mengontrol tubuh dan kehidupan mereka sendiri. Perempuan di negara-negara berkembang dijadikan objek “percobaan” dengan dipaksakannya program pengendalian kelahiran dan obat-obatan. Kaum perempuan di dunia ketiga terpaksa harus melakukan aborsi secara ilegal yang tidak terjamin kebersihannya dan bisa menyebabkan kematian. Ini semua karena perempuan tidak memiliki hak atas reproduksi.
Memang benar bumi pun memiliki batas untuk menampung populasi, namun pengalaman di negara-negara maju menunjukkan bahwa angka kelahiran akan menurun apabila kaum perempuan memiliki kontrol atas tubuh mereka dan mandiri secara ekonomi, kehidupan sosial, ekonomi, kesetaraan politik dan pendidikan yang cukup serta kebebasan untuk memilih lebih dibutuhkan ketimbang sejumlah kebijakan yang disertai paksaan dan kekerasan dalam menurunkan jumlah populasi.
Aborsi merupakan salah satu dari hak atas reproduksi yang cukup subtansial. Saat ini hampir di setiap negara kaum perempuan sedang melakukan gugatan terhadap hak aborsi, semakin jelas terlihat bahwa hal ini tidak akan tercapai dibawah sistem kapitalisme, sebagai pilihan reproduksi. Saat ini dengan ideologinya dan sesuai dengan fungsinya sebagai pelindung status quo Kapitalisme yang paling fanatis telah mencoba untuk memobilisasi prasangka terbelakang kelas pekerja dan borjuis kecil untuk menentang hak aborsi, dan hal ini memberi sumbangan berharga untuk penguasa.
Bahkan di gerakan perempuan hal ini masih menjadi perdebatan khususnya di Indonesia. Hak aborsi masih ditolak oleh beberapa gerakan perempuan, bahkan dengan menggunakan dalil agama. Atau paling tidak penolakan tersebut diperhalus dengan syarat aborsi tidak boleh dilakukan oleh perempuan yang bermain seks di luar nikah, lalu hamil atau aborsi hanya boleh bagi korban perkosaan dan atau jika nyawa ibu terancam.
Hak aborsi merupakan perdebatan yang tak kunjung selesai hingga hari ini hal ini disebabkan faktor ideologi yang berkuasa, dan larangan dalam ajaran agama. Hak aborsi adalah mutlak keputusan perempuan. Tubuh perempuan adalah hak perempuan. Perempuan berhak memutuskan apakah dia ingin melanjutkan kehamilannya atau tidak. Terlepas apapun kondisinya. Hak aborsi tidak sekacau yang dikhayalkan banyak orang namun ada aspek-aspek tertentu dengan alasan yang logis, dan semua itu tergantung dari pilihan perempuan, tanpa paksaan pastinya.
Karena ketertindasan perempuan berawal dari sebuah perjalanan sejarah yang objektif maka upaya pembebasan perempuan dari posisi yang ditempatinya sekarang ini harus pula menemukan kondisi objektif yang memungkinkan dilakukannya pembebasan tersebut. Kondisi itu adalah kembalinya kaum perempuan ke lapangan produksi kolektif.
Termasuk juga di dalamnya proses industrialisasi dalam sektor domestik yang bisa membantu pembebasan perempuan. Sektor industri seperti laundry, binatu, jasa kebersihan rumah, pengasuhan anak, penitipan anak, catering, dan sebagainya bisa membantu menghancurkan belenggu domestikasi perempuan. Namun dalam kapitalisme seperti di Indonesia sulit membuat industri tersebut menjadi murah dan terjangkau bagi perempuan dari kalangan rakyat pekerja. Oleh karenanya penting untuk perjuangan sosialisme sehingga menempatkan industri di bawah kontrol buruh dan rakyat pekerja dan membuat hasil produksinya bisa dinikmati rakyat.
Oleh karena itu, perjuangan pembebasan terhadap perempuan tidaklah dapat dilepaskan dari perjuangan untuk mengubah kendali atas proses produksi (dan hasil-hasilnya) dari tangan perorangan (pribadi) ke tangan masyarakat (sosial) di satu sisi dan di sisi lain membuat semua sektor pekerjaan domestik menjadi sektor sosial yang dikerjakan secara kolektif. Sebaliknya, pengalihan kendali ini tidak akan berhasil jika kaum perempuan belumlah terbebaskan. Tidaklah mungkin membuat satu pengendalian produksi (dan pembagian hasilnya) secara sosial jika kaum perempuan, yang mencakup setidaknya setengah dari jumlah umat manusia, tidaklah terlibat dalam pengendalian itu.
Maka di sinilah kita dapat menarik satu kesimpulan: perjuangan pembebasan perempuan akan berhasil dengan sempurna jika ia disatukan dengan perjuangan untuk mencapai sosialisme. Sebaliknya, perjuangan untuk sosialisme akan juga berhasil dengan sempurna jika perjuangan ini menempatkan pembebasan perempuan sebagai salah satu tujuan utamanya. Kedua perjuangan ini tidak boleh dipisahkan, atau yang satu didahulukan daripada yang lain. Keduanya harus berjalan bersamaan. Dengan begitulah maka masyarakat adil dan setara akan terwujud.
ditulis oleh Kuggy Kayla, Kader KPO PRP
[1]Bloodworth, Sandra., (1990). The Poverty of Patriarchy Theory. Diakses 3 Agustus 2017 dari https://rdln.wordpress.com/2013/10/30/the-poverty-of-patriarchy-theory/
[2] Banyak diambil dari buku yang ditulis oleh Pat Brewer, The Dispossession of Women, Resistance Books, 2000.
Comment here