Pernyataan Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Tito Karnavian dalam yang mengemukakan “…korban perkosaan bisa ditanya apakah nyaman selama perkosaan” sebagaimana termuat dalam wawancara dengan BBC Indonesia meneguhkan peran aparat bukan hanya sebagai instrumen kekerasan legal dari rezim dan kelas penguasa namun juga instrumen pelanggeng seksisme. Dalih kepolisian, “Pertanyaan seperti itu yang biasanya ditanyakan oleh penyidik sewaktu dalam pemeriksaan, untuk memastikan, apakah benar korban diperkosa atau hanya mengaku diperkosa, untuk alasan tertentu” ini menutupi kentaranya bias keberpihakan aparat dan kecenderungan menyalahkan korban. Alih-alih menggunakan pertanyaan bersifat netral, aparat kepolisian memilih menggunakan pertanyaan yang justru bukan hanya mempersulit korban menuntut keadilan dan hak-haknya melainkan juga menambah trauma korban.
Bagi korban dan penyintas perkosaan atau kekerasan seksual lainnya (yang mayoritas perempuan), mengungkapkan kasus yang dialaminya sudah cukup sulit, apalagi untuk melaporkannya, menggugat, menuntut keadilan dan hak-haknya, serta menghukum (para) pelaku. Pertanyaan yang menyalahkan korban, atau lebih rincinya di sini, mengandaikan kenyamanan korban perkosaan, memainkan peran melanggengkan seksisme karena (secara langsung atau tidak langsung) menanamkan gagasan reaksioner bahwasanya perempuan tidak lebih dari objek (seks) dari laki-laki (yang berkuasa). Sebagai objek, keberadaannya dikendalikan oleh subjek pelakunya. Kehendak dan persetujuan dari objek dianggap tidak penting, yang dianggap penting hanyalah kehendak, kuasa, dan kesempatan yang dimiliki subjek pelaku. Bila subjek pelaku mengklaim merasa nyaman/suka sama suka maka objeknya dikenai beban untuk tunduk pada perasaan yang sama dengan subjek. Bukan hanya objek dipaksa menyangkal penindasan terhadapnya namun objek juga diasumsikan menikmati penindasan demikian.
Orientasi seksis aparat ini bisa dipahami sebagai suatu hal sistemis dan sengaja (bukan kebetulan semata) bila melihat bagaimana peran historis aparat kepolisian dan posisinya dalam sistem kapitalisme. Polisi sebagai suatu badan bersenjata yang disahkan negara untuk menerapkan hukumnya dan menjaga ketertiban, sejarahnya muncul dari kepentingan kelas penguasa untuk mempertahankan harta benda dan kekuasaannya dari segala bentuk ‘kriminalitas’ yang bisa membahayakannya. Mulai dari prefek di Tiongkok kuno yang mengabdi pada kaisar dan bangsawan bawahannya, lalu Constable yaitu para penjaga yang diangkat kaum tuan tanah di Inggris, hingga para juru tangkap budak yang melarikan diri di koloni-koloni seperti Australia dan Amerika. Sedangkan khusus di Indonesia, aparat kepolisian secara historis diwarisi dari kolonialisme Belanda dan Jepang. Oleh karenanya sangat hakiki dan sistemis melekat pada sistem dan kelas penguasa. Ini belum ditambah dengan sejarah panjang persekusi, penggerebekan, dan penyerangan aparat terhadap kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), yang khusus di Indonesia akhir-akhir ini mengalami penyebaran mencolok serta brutal.
Seksisme itu sendiri adalah penindasan, diskriminasi, dan prasangka berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Ini tidak muncul begitu saja karena suatu pola pikir menindas, kebodohan, atau kekolotan pola pikir. Namun memiliki akar dan basis materialnya pada masyarakat kelas dan penguasaan alat produksi di tangan privat. Bangkitnya masyarakat kelas terjadi seiring dengan domestikasi perempuan. Peran publik perempuan yang sebelumnya ada dalam masyarakat komunal primitif kemudian dihapuskan serta diisolasi dalam peran domestik/rumah tangga untuk utamanya kerja reproduksi (tenaga kerja). Runtuhnya feodalisme dan bangkitnya kapitalisme dengan menggantikan teokrasi dengan demokrasi serta agraria dengan industri, memberi ruang lebih besar terhadap perempuan. Namun karena kapitalisme itu sendiri adalah sistem penindasan dan penghisapan juga maka seksisme terhadap perempuan juga masih ada. Bahkan sistem kapitalisme turut menjadikan perempuan sebagai komoditas. Mulai dari atribut penambah daya tarik jual produk, pornografi, sampai sex-trafficking atau perdagangan manusia sebagai budak seks. Berbagai kekerasan seksual bahkan dinormalisasi lewat produk-produk budaya pop. Mulai dari lagu Blurred Lines Robin Thicke yang menyiratkan pembenaran terhadap hubungan seks tanpa konsensus sampai film 50 Shades of Grey yang meromantisasi kekerasan dalam seks.
Pemerkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual yang melibatkan penetrasi seksual dalam satu bentuk atau lainnya secara paksa tanpa persetujuan korban adalah suatu tindak kejahatan sekaligus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pemerkosaan merupakan tindak kekerasan serius dan khusus yang dijalankan bukan hanya dengan kekerasan itu sendiri namun juga muncul akibat penyalahgunaan wewenang, ketimpangan kuasa, dan kerentanan sekaligus ketidakberdayaan korban yang mana ketiganya adalah hal hakiki dalam masyarakat kelas. Bahkan dalam kapitalisme yang telah mencapai tahapan tertingginya: imperialisme. Pemerkosaan juga bisa digunakan sebagai salah satu cara penindasan, penghisapan, dan pendudukan. Mulai dari kamp jugun ianfu oleh rezim kolonial fasis Jepang, pemerkosaan massal oleh pasukan NAZI, hingga pembudakan seks oleh bala tentara ISIS, merupakan sederet contoh brutalnya. Pemerkosaan massal tidak hanya berperan sebagai pemuas nafsu seks para pelakunya namun juga cara untuk meneror dan menghancurkan pembangkangan sekaligus menancapkan ketertundukan masyarakat sasarannya pada okupasi.
Ini juga yang terjadi di West Papua. Sylvana Apituley, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan sekaligus Ketua Gugus Kerja Papua mengungkapkan bahwa terdapat modus tertentu kekerasan seksual yang jamak dilakukan beberapa aparat keamanan di perbatasan. Modusnya memacari perempuan tersebut, membiarkannya hamil, kemudian meninggalkannya, tapi mencatat namanya agar pasukan selanjutnya yang ditempatkan di wilayah tersebut dapat mengulangi perbuatan demikian.
Sedangkan khusus di Indonesia Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2017 Komnas Perempuan menunjukkan terdapat 3.495 kasus kekerasan seksual di ranah personal dengan jumlah perkosaan paling tinggi yaitu 1.389 kasus, disusul pencabulan sebanyak 1.266 kasus. Sedangkan di ranah komunitas terdapat 2.290 kasus kekerasan seksual dengan jumlah perkosaan 1.036 kasus dan pencabulan 838 kasus. Sementara itu data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan kekerasan seksual pada anak tahun 2017 setidaknya tercatat 116 kasus. Pelakunya mayoritas bukan orang asing melainkan kalangan dekat korban, seperti ayah tiri dan kadung, keluarga, serta teman. Kekerasan seksual dalam masyarakat kelas merata dari pucuk sampai bawah, dari negara sampai kerangka keluarga borjuis.
Penyalahan terhadap korban (victim blaming) atau bahkan pengasumsian kenyamanan korban, dalam kelanjutannya, bukan hanya menambah trauma korban dan semakin menjauhkan dari penegakan keadilan, namun juga memperkuat seksisme itu sendiri. Bahkan dalam banyak kasus, ada mereka yang berjenis kelamin sama dengan korban kekerasan seksual justru tidak bersimpati dengan korban atau malah memusuhinya. Mulai dari ibu rumah tangga yang menoleransi kekerasan seksual suaminya terhadap anaknya karena ia tergantung secara ekonomi dan bila membantu korban ia takut akan diceraikan dan tidak mendapatkan penafkahan lagi. Lalu juga terdapat kelompok perempuan pendukung poligami dan pernikahan di bawah umur. Kemudian para perempuan pembela Sitok Srengenge. Bahkan kekerasan seksual di kompleks penjara Abu Ghraib milik Imperialis AS, pelakunya pun lintas gender. Garis kelas memang membelah semua identitas. Termasuk jenis kelamin dan orientasi seksual. Sekarang yang paling utama memang berpihak pada kaum tertindas atau kaum penindas, serta berpihak pada penghisapan atau pembebasan?
Apa yang Harus Kita Lakukan Sekarang?
Soal ini tidak bisa diselesaikan dengan hanya menuntut legislasi anti kekerasan seksual dan memperjuangkan pendidikan seks. Akar kekerasan seksual ini terletak pada struktur masyarakat kapitalisme itu sendiri. Dalam tulisannya “The Roots of Sexual Violence”, Sandra Bloodworth mengatakan bahwa bagi Marx, “seluruh perbudakan manusia terkait dengan hubungan antar buruh dengan produksi, dan semua perbudakan tidak lain hanyalah modifikasi dan konsekuensi dari hubungan ini”. Secara sederhana, semua penindasan dan kengerian yang kita semua saksikan muncul dari fakta dasar penindasan kelas buruh oleh kapital dan cara tertentu penindasan tersebut dilakukan. Analisa-analisa yang mempertimbangkan persoalan kekerasan seksual secara terisolasi hanya akan memberikan penjelasan yang parsial, karena analisa tersebut hanya menawarkan gambaran “dunia yang memikat, mesum, dan kacau balau” terpisah dari struktur pokok. Jika kita ingin memahami kekerasan seksual kita harus memulai dengan fakta dasar kapitalisme dan mengembangkan gambaran akan struktur dan hubungan sosial, ideologi-ideologi dan praktik negara yang menyebabkan pelecehan luas semacam itu mungkin terjadi.
Lebih dari itu problem di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari absennya gerakan pembebasan perempuan. Penghancuran Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sebagai bagian penghancuran Kiri di Indonesia dalam Peristiwa 65 oleh kontra-revolusi yang kemudian berujung dengan berdirinya Kediktatoran Militer Orde Baru pimpinan Harto, bukan hanya meluluh-lantakkan gerakan pembebasan perempuan namun juga menegakkan kembali seksisme, penindasan terhadap perempuan, dilengkapi dengan segala sentimen anti-kesetaraan serta feodalnya. Hampir 20 tahun setelah reformasi, tidak ada yang mampu membangun gerakan pembebasan perempuan yang menyamai praktik, jangkauan, dan kekuatan massal dari Gerwani. Ada organisasi-organisasi perempuan, ada komunitas-komunitas pro kesetaraan, ada seminar-seminar, kuliah-kuliah, dan diskusi-diskusi soal seksisme, serta terkadang ada demonstrasi (khususnya pada Hari (Pekerja) Perempuan Internasional) tapi sayangnya belum ada gerakan pembebasan perempuan.
Pada awal tahun 2013 lalu di India ribuan orang turun ke jalan dan bentrokan terjadi di berbagai tempat mengecam pemerkosaan beramai-ramai terhadap seorang perempuan di bis kota. Sementara itu bulan Oktober tahun lalu, setengah juta orang di Argentina turun ke jalan memprotes pemerkosaan dan pembunuhan terhadap seorang remaja perempuan. Awal tahun 2017, Perancis dilanda demonstrasi dan kerusuhan yang mengecam pemerkosaan polisi terhadap seorang remaja laki-laki. Dalam perlawanan tersebut, anak-anak SMU melancarkan demonstrasi dan menduduki sekolahnya.
Kita butuh gerakan pembebasan perempuan yang berbasiskan massa. Gerakan yang mengakar di lingkungan-lingkungan pemukiman (khususnya pemukiman buruh, tani, dan rakyat pekerja), lingkungan-lingkungan pendidikan, dan lingkungan-lingkungan pekerjaan. Bukan yang bersarang di menara gading. Gerakan yang dibangun dengan edukasi, agitasi, dan organisasi. Gerakan yang memadukan teori dan praktik, penyadaran dan perlawanan. Bukan yang berkutat pada intelektualisme belaka. Gerakan yang dibangun dengan kemandirian massa. Bukan bersandar atau malah bergantung pada lembaga donor dunia.
Bahkan juga gerakan yang membangun alat pertahan dirinya. Seperti Bambu Perempuan, Black Panther Party for Self Defense, Gulabi Gaang, Yekîneyên Parastina Jin (YPJ) atau Unit Perlindungan Perempuan. Kita butuh gerakan pembebasan perempuan demikian yang menjadi satu bagian tak terpisahkan dari gerakan melawan segala bentuk penindasan.
ditulis oleh Leon Kastayudha dan Kuggy Kayla, kader KPO PRP
Comment here