Di tengah paksaan oleh militer dengan dukungan Jokowi untuk memutar film hoax “Pengkhianatan G 30 S/ PKI”, Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (GempaR-Papua) dan Papuans Voices menyelenggarakan pemutaran film yang membongkar semua kebohongan dan kejahatan HAM yang dilakukan oleh militer di periode 1965-1966.
“Persamaan antara peristiwa “65” dan pelanggaran HAM Papua adalah kejahatan terhadap kemanusian yang dilakukan oleh negara melalui militer. Dilakukan secara bersama dengan jumlah korban yang tidak sedikit. Sehingga adalah wajar jika hari ini korban, maupun keluarga korban, “65” dan masyarakat Papua masih menunggu sikap negara melalui pemerintah saat ini. Apakah pemerintah ada etikat baik untuk menyelesaikan persoalan kemanusian ini ketingkat pengadilan HAM nasional, maupun upaya rekonsiliasi lainnya.”
Pemutaran film dan diskusi tersebut rencanannya akan diselenggarakan di beberapa tempat, yaitu Kota Jayapura, Manokwari, dan Merauke.
Pemutaran film dan diskusi di Jayapura rencannya akan dilakukan dilapangan futsal Ekspo Waena. Namun kemudian dibubarkan oleh aparat kepolisian. Berikut adalah kronologinya:
Saat para aktivis GempaR-Papua dan Papuan Voices sedang memasang lampu untuk penerangan tempat pemutaran sekitar pukul 18.30, mereka didatangi pihak aparat kepolisian resort Kota Jayapura beranggotakan kurang lebih delapan orang. Lima orang berseragam dinas dan tiga orang berseragam preman menanyakan maksud dan tujuan dari kegiatan itu kepada salah satu dari Papuans Voices yang sedang memasang lampu. Pertanyaan ini dilontarkan tiga kali, tetapi aktivis Papuan Voices yang sibuk menyiapkan tempat tidak merespon, sehingga salah seorang aktivis GempaR-Papua, Nelius Wenda, menghampiri polisi untuk bernegosiasi dengan pihak aparat keamanan, demikian adalah percakapan, sebagai berikut;
Anggota Polisi: “Mana surat izin untuk kegiatan ini? Kamu melakukan kegiatan ini di lingkungan publik!
Nelius Wenda: “Pak kami tidak melakukan di tempat umum yang akan mengganggu aktivitas masyarakat kami jauh dari jalan raya!”
Anggota Polisi: “Kegiatan kamu tidak memiliki izin jadi harus dibubarkan!”
Nelius Wenda: “Bapak kenapa mau membubarkan kami? Kami melakukan pemutaran video dokumenter tentang saksi hidup sejarah Pembantaian 1965, bapak, mereka juga sedang memutar film G30S/PKI.”
Tetapi alasan mereka:
Polisi: “Yang kalian lakukan disini adalah illegal sedangkan yang kami lakukan adalah legal.”
Nelius Wenda: “Bapak, yang kami lakukan ini adalah bagian dari mendidik rakyat untuk mengetahui apa yang terjadi dalam sejarah 1965. Kami bukan mengajar tentang kebencian terhadap pemerintah atau pihak aparat tapi kami lakukan adalah untuk memahami sejarah bangsa ini!”
Anggota Polisi: “Apa yang kalian lakukan ini akan memprovokasi masyarakat jadi kegiatan ini harus di bubarkan, kalau tidak kami akan menyita barang-barang kalian ini. Kalau kalian mau putar silakan putar dalam ruangan tapi jangan didepan umum seperti ini.”
Nelius Wenda: “Sejarah yang benar itu harus di sampaikan, apa yang kami lakukan hari ini adalah sejarah orang Indonesia. Kami orang Papua tidak mau tipu soal sejarah di atas tanah kami.”
Sekitar 20 menit telah lewat atau pukul 18.50, Yason Ngelia, penanggungjawab Kegiatan dari GempaR-Papua, datang dan memperkenalkan diri kepada beberapa polisi.
Yason Ngelia: “Selamat malam, Pak. Saya penanggungjawab kegiatan, kira-kira kenapa kami dihalangi untuk pemutaran?”
Polisi: “Sebentar setelah melepas ini, kita akan berbicara di sana {menunjuk tempat nobar yang mereka lakukan). Setelah ini ko bicara langsung dengan kabag Ops.”
Yason Ngelia: “Baik, Pak, kami sudah tidak melanjutkan kegiatan pemutaran film ini. Kira-kira apa alasan bapak membubarkan kegiatan kami?”
Kabag Ops: “Jadi begini, kalian tidak ada izin, dan tidak diizinkan. Ini di tempat umum, dan film yang kalian putar bersifat provokatif. Sebaliknya kalian ikut saja dengan pemutaran yang kami lakukan disana.”
Yason Ngelia: “Tapi kan film-film yang kami putar, ini tidak seperti itu, ini film yang telah beredar di internet seperti di youtube dan sebagainya. Film ini banyak tokoh yang mengutarakan pemikirannya terkait peristiwa 65 itu, seperti akademisi, korban, hingga pemimpin OKP seperti HMI, jadi sama sekali tidak seperti yang Bapak pikir.”
Kabag Ops: “Iya tetapi kalian tidak mendapatkan izin. Kalian harus tau bahwa kita semua ini adalah korban, saya ini datang ke sini, kita sama-sama bekerja untuk menjaga perdamaian di sini, jangan lagi saling membunuh seperti waktu-waktu itu.”
Yason Ngelia: “Baik terimakasih kalau begitu, Pak (sambil menyalami semua anggota polisi yang ada).”
Selanjutnya aktivis GempaR-Papua dan Papuan Voice, mengembalikan perlengkapan kegiatan di sekretariat GempaR-Papua yang berada tidak jauh dari tempat pemutaran. Setelahnya pada pukul 19.00, semua aktivis yang ada melakukan perjalanan ke salah satu asrama mahasiswa (tidak disebutkan nama) yang telah siap untuk melakukan pemutaran film memperingati 30 September 2017.
Pukul 19.20, pemutaran bersama dilakukan oleh GempaR-papua dan Papuan Voices, di aula asrama mahasiswa yang dikuti oleh kurang lebih 40an mahasiswa di. Pemutaran dilakukan selama 30 menit, dan selanjutnya dilanjutkan dengan diskusi bersama sekitar 30 menit, dan setelah itu diakhiri.
Harun Rumbarar dari Papuan Voices menerangkan: “Pada jam 18.00 WIT kami tengah mempersiapkan perlengkapan dua aparat berpakaian preman melewati area yang sedang kami persiapkan pemutaran. Lalu pada jam 18.22 WIT kami sementara memasang layar tancap tepat di halaman lapangan futsal expo waena, Kota Jayapura. Kami di datangi oleh sejumlah aparat keamanan (polisi) sektor Distrik Heram dan Polresta Kota Jayapura mendatangi tempat kegiatan dan tanpa berbasa-basi mengatakan kepada kami bahwa, ‘Acara yang kalian lakukan tidak ada surat izin’.”
“Namun kami masih tetap melakukan aktivitas. Kami mempersiapkan semua yang menjadi kebutuhan pemutaran film. Namun aparat masih terus memaksa kami segera membubarkan diri dan mengancam kami akan membubarkan paksa dan akan membawa barang-barang milik kami jika kami masih saja menjalankan aktivitas kami.”
“Lalu, pada pukul 18: 40 Yason Neglia selaku penanggung jawab kegiatan menghampiri pihak polisi untuk meminta penjelasan namun pihak aparat tetap mempertahankan diri untuk tetap memaksa kami membubarkan diri.”
Comment here