Sabtu (19/8/2017) Kedai Tjangkir 13 bekerjasama dengan Badan Mahasiswa Universitas (BMU) Universitas Kristen Widyakarya Malang selenggarakan pemutaran dan bedah film Guru Bangsa Tjokroaminoto. Sebagaimana dimuat dalam keterangan acara, film ini merupakan biopic dari salah satu tokoh sejarah Indonesia, Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Ia berasal dari kalangan bangsawan Jawa serta latar belakang keIslaman. Lewat Sarekat Islam (SI) organisasi massa rakyat terjajah di Hindia Belanda, Tjokroaminoto merupakan salah satu tokoh pelopor persamaan hak dan perjuangan kebangsaan.
Aji Prasetyo, pengelola Tjangkir 13, membantah anggapan kemerdekaan Indonesia sepenuhnya jasa militer. Aji menegaskan justru wacana dan teori pembebasan menduduki peran tak tergantikan sebagai landasan penting untuk perjuangan kemerdekaan. “…gagasan anti penindasan lah yang menciptakan perjuangan hidup mati demi kemerdekaan (yang salah satunya barulah dengan persenjataan).” Musisi sekaligus komikus ini mengungkap HOS Tjokroaminoto adalah salah satu tokoh penting yang mengampanyekan gagasan-gagasan kemerdekaan serta ulet berjuang mencetak kader-kader pejuang dimana banyak di antaranya kemudian menjadi tokoh-tokoh kebangsaan.
Sayangnya menurut Aji banyak pemeran dalam film Tjokroaminoto lebih tua daripada tokoh-tokoh riilnya. “Semaun pimpin pemogokan buruh pada usia 18 tahun. Soekarno dirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada umur 20 tahun. Harusnya para pemerannya dari anak-anak remaja atau SMA. Belia wajahnya namun matang kesadarannya serta tajam orasinya,” kritik Aji.
“Kontennya juga menarik. Ada dialog jelas tentang sama rata sama rasa yang disematkan ke ajaran Islam. Padahal selama ini frase ini dicapkan kepada PKI dan karenanya ditabukan. Sama rata sama rasa sebenarnya berasal dari pandangan Islam yang menyatakan semua manusia sama di mata Tuhan,” ungkap Aji. “Saat ini kita sedang menentukan kembali apa makna kemerdekaan. Kemerdekaan itu seperti pintu gerbang. Menarik melihat Tjokro tidak memakai istilah suku bangsa. Istilah ini dipakai Soekarno. Suku artinya bangsa. Menurutnya kemerdekaan itu seperti meja. Agar mejanya berdiri maka kakinya harus banyak. Agar kemerdekaan bisa tercapai maka harus didukung banyak suku. Suku Batak, suku Jawa, suku Bugis, dan sebagainya. Terdapat juga pernyataan “nasionalisme kita adalah kemanusiaan” dalam film. Ini bedanya dengan nasionalisme Barat yang terlalu sauvinis sampai bisa melahirkan Hitler. Oleh karenanya nasionalisme Indonesia juga mendukung perjuangan kemerdekaan Asia-Afrika. Saat Indonesia membeli kapal selam dari Uni Soviet, kapal selam itu mampir dulu di Aljazair, memasok senjata untuk perjuangan kemerdekaan mereka,” ingat Aji.
Johan menanggapi itu menyatakan, “Sosok Tjokroaminoto lebih banyak disorot sebagai aktivis massa tapi kurang disorot sebagai pendidik. Tjokro bertanya berapa jumlah uang yang diambil VOC dari rakyat Hindia dan di rumah itu Tjokro bangun forum dengan tamu-tamu dan anak-anak kosnya. Tjokro bukan hanya jadi bapak kos tapi juga orang tua mereka. Hari ini rumah kos-kosan tidak seperti itu mungkin karena zamannya beda.”
Ketua BMU Widyakarya menambahkan, “Awalnya banyak yang tidak tahu Tjokroaminoto. Padahal Tjokroaminoto bersentuhan dengan banyak tokoh bangsa. Soekarno, Muso, Semaun, Darsono, Abdul Muis, Agus Salim—bahkan juga, yang jarang diketahui; Mohammad Natsir. Waktu itu Tjokro yang naik kereta kebetulan satu gerbong dengan Natsir. Natsir waktu itu belum aktif. Namun 30 menit diskusi dengan Tjokro dalam kereta itu mengubah hidupnya. Natsir jadi peduli dengan perjuangan kebangsaan.”
Johan lalu menambahkan, “Tapi film ini punya kekurangan. Ia tidak menampilkan bahwa Agoes Salim dulu awalnya justru disuruh untuk memata-matai. Namun kemudian justru benar-benar terpikat perjuangan Tjokro dan bergabung SI. Ini sosok-sosok yang sebenarnya priyayi tapi anomali. Para bapak bangsa banyak dari orang kaya yang bisa sekolah tinggi. Mungkin ini juga yang dimaksud Tjokroaminoto dengan ‘Hijrah.’ Tjokro sendiri di kemudian hari menulis Islam dan Sosialisme. Ia menolak keningratannya dan menegaskan di Islam tidak ada hirarki.” Sependapat dengan itu Arga menambahkan bahwa gagasan-gagasan Tjokro banyak mengadopsi gagasan kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang penting bagi perjuangan kebangsaan. “Namun saat Stella memaksa untuk menemui Tjokro dan menanyakan mau dinamakan bangsa apa ini kelak, Tjokro menjawab itu permasalahan yang generasimu harus jawab. Jadi tidak semuanya mau diselesaikan sendiri.”
Romo Albert kemudian menambahkan bahwasanya Tjokro “…sudah melampaui identitas agama. Tadi Aji sebut nasionalisme Indonesia berdasarkan kemanusiaan. Kita juga harus ingat bahwa Pancasila, dasar negara Indonesia, bukan sekadar ideologi melainkan spiritualitas.” Menanggapi itu Aji Prasetyo menyatakan keprihatinannya, “Kalau tadi dibilang Pancasila itu spiritualitas maka sekarang kita justru sedang mengalami penurunan spiritualitas. Bagaimana bisa orang yang dituduh mencuri amplifier masjid di Bekasi kemudian dibakar sampai mati. Ini kan akibat Orde Baru selama ini membangun musuh bersama dengan cara tidak memanusiakannya. Museum Brawijaya di Malang memamerkan batu yang dipakai menghancurkan batok kepala komunis dan di sampingnya juga dipamerkan foto kepalanya yang berantakan. Akibatnya ada orang-orang yang memandang kalau ada musuh bersama boleh dianiaya bahkan dibunuh dengan cara-cara tidak manusiawi. Kepada orang-orang yang mengaku anti-komunis saya mengatakan membunuh tujuh jenderal itu salah. Membunuh tiga juta orang PKI itu juga salah. Ratusan ribu petani mati dibunuh dan tidak dianggap manusia. Inilah cara-cara Orde Baru berkuasa, membangun musuh-kambing hitam bersama. Waktu pemerintahan Soekarno musuh bersamanya adalah nekolim tapi waktu pemerintahan Soeharto musuhnya malah bangsa sendiri.”
Leon Kastayudha menanggapi, “Memang bicara Tjokroaminoto harus bicara Sarekat Islam dan bicara Sarekat Islam harus bicara perjuangan kerakyatan serta kebangsaan. Tentu saja wajar film ini tidak mampu memuat seluruhnya. Sayangnya ada beberapa hal yang juga perlu diluruskan. Terutama terkait perbedaan antara Tjokroaminoto di sejarah alias sebagai sosok riil dalam fakta, dengan Tjokroaminoto sebagai sosok fiktif dalam film Garin Nugroho. Pertama-tama, harus diakui dan dihargai jasa-jasa Tjokroaminoto menjadi gerbang, jembatan, atau pengantar dalam wacana serta praktik perjuangan kesetaraan, kebangsaan, dan kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan salah satu yang mempelopori perjuangan dengan cara modern. Perjuangan-perjuangan sebelumnya masih banyak yang mengandalkan hubungan patron-klien. Tjokro bersama SI memakai cara-cara modern: organisasi, rapat, vergadering atau mimbar bebas, termasuk koran-koran yang bukan sekadar penyampai berita tapi untuk advokasi, memblejeti penindasan, dan membangun kesadaran. Ini masa yang kemudian disebut masa kebangkitan nasional, zaman yang kemudian disebut zaman bergerak. Tjokroaminoto berjasa mengantarkan ke gerbang itu. Namun tentu saja tidak cukup hanya berhenti di gerbang saja dan di sinilah kita harus paham keterbatasan Tjokro.”
“Proses kebangsaan Tjokro masih terbatas pada identitas Islam saja. Tjokro secara faktual ini yang berbeda dengan Tjokro secara fiktif di film. Perbedaan ini sah-sah saja, karena film yang dibuat berdasarkan tokoh atau kisah nyata bukan hanya punya jeda bertahun-tahun dengan peristiwanya di masa silam namun juga dibuat terkait kebutuhan untuk konteks masa kini. Karena itu kita butuh diskusi dan membedahnya seperti ini agar tidak mencampuradukkan mana yang fakta dan fiksi. Tjokroaminoto versi film adalah Tjokroaminoto yang dibuat sesuai harapan Garin Nugroho untuk masa kini. Oleh karena itu Tjokro dalam film melerai konflik antara pemuda Jawa dengan Tionghoa, tidak membatasi identitas perjuangan sebatas pada kaum Muslim saja, tidak menghalangi aktivitas organisasi anak-anak didiknya, dan sebagainya. Padahal kalau kita membaca soal Tjokroaminoto dalam sejarah, kita bisa melihat bahwa tidak bisa dipungkiri salah satu alasan pembentukan Sarekat Dagang Islam—pendahulu SI—adalah untuk menyaingi para pedagang Tionghoa. Selain itu sekali lagi Tjokro masih terus berkutat pada identitas Muslim. Konfliknya dengan orang-orang kiri dalam SI juga bukan soal apakah tuntutan pendidikan atau agraria yang dibawa ke Volksraad. Karena kalau kita lihat Naar de Republiek Indonesia atau Menuju Republik Indonesia karya Tan Malaka dicantumkan juga di dalamnya program PKI yang memuat isu agraria dan pendidikan sekaligus. Tidak dipertentangkan. Pertentangan keduanya sebenarnya lebih pada perbedaan soal Pan Islamisme dan asas yang ingin dipakai Sarekat Islam. Orang-orang komunis tidak menyetujui Pan Islamisme karena slogan persatuan umat Islam sedunia ini sebenarnya dijadikan kedok untuk merestorasi kekuatan Imperialis, karena dalam konteks ini pasca Perang Dunia I, Kekhilafahan Turki Utsmaniyah—yang merupakan salah satu negara Imperialis yang kalah dalam PD I—bubar. Semaun sendiri juga tidak sepakat Islam dijadikan asas organisasi karena bisa membatasi rakyat miskin yang bukan Muslim jadi tidak bisa bergabung. Patut diketahui juga yang menyebabkan perpecahan SI bukanlah orang-orang komunis. Abdoel Moeis dan Agoes Salim yang mendorong larangan keanggotaan ganda. Semaun dan Tan Malaka sendiri menentang perpecahan itu. Akibatnya bukan hanya anggota-anggota PKI dan cabang-cabang SI pendukungnya yang dipecat tapi Muhammadiyah juga. Cabang-cabang SI yang dikeluarkan ini kelak yang justru mendorong maju perjuangan kebangsaan, dengan menjelma menjadi Sarekat Rakyat, organisasi ini melampaui identitas basis massanya tidak hanya sekadar pada umat Muslim namun juga rakyat tertindas secara keseluruhan.”
“Keberadaan tokoh Stella juga fiktif. Garin Nugroho sendiri dalam wawancaranya memang menyatakan tokoh Stella dimasukkan untuk mengangkat isu kebangsaan hari ini, mengenai siapa yang bisa disebut bagian bangsa Indonesia, termasuk orang-orang yang menikah beda kewarganegaraan, persoalan dwi-kewarganegaraan, dan lainnya.”
“Semua isu ini sebenarnya relevan untuk masa kini. Beberapa waktu lalu kita menyaksikan sentimen rasis disebarkan untuk kepentingan politik salah satu kubu penindas. Slogan tolak asing-aseng-asong, slogan tolak pemimpin komunis cina kafir, dan identitas pribumi digaungkan dengan mendiskriminasi Tionghoa Indonesia. Ini menunjukkan Indonesia bangsa yang belum selesai. Kenyataannya memang tugas-tugas pembentukan negara bangsa, tugas-tugas revolusi demokratis nasional belum sepenuhnya tercapai. Tidak ada pemisahan sepenuhnya agama dari negara. Kekayaan alam masih dikuasai perusahaan-perusahaan Imperialis. Reforma agraria sejati belum dijalankan. Memang tadi sebagaimana disinggung Bung Aji, kebangsaan Indonesia berdiri di atas kesetaraan. Sebenarnya pembentukan negara bangsa pada hakikatnya memang demikian. Karena merupakan peralihan dari sistem dan tatanan masyarakat sebelumnya. Pembentukan negara bangsa mengubah teokrasi jadi demokrasi, monarki jadi republik, dan ikatan pada raja-raja menjadi ikatan pada bangsa. Itu yang ditunjukkan Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis. Sayangnya selama masih ada sistem penindasan maka selama itu pula kesetaraannya semu. Seperti kata George Orwell, semua orang setara tapi ada beberapa orang yang lebih setara dibandingkan orang-orang lainnya. Negara bangsa Indonesia memang dibentuk atas dasar kesetaraan, kerakyatan, dan perlawanan terhadap Imperialisme namun ironisnya 15 Agustus lalu kawan-kawan Papua yang berdemo menentang New York Agreement justru diserang dan dipukul oleh kelompok-kelompok beridentitas Pancasila, berslogan NKRI harga mati, serta berbenderakan Merah Putih. Pembukaan UUD 45 menyatakan ‘Kemerdekaan adalah Hak Segala Bangsa’ namun ironisnya West Papua yang diproklamasikan 1 Desember 1961 justru diklaim sebagai wilayah Indonesia. Padahal West Papua tidak pernah terlibat dalam proses kebangsaan Indonesia seperti Sumpah Pemuda, revolusi nasional, bahkan Konferensi Meja Bundar hanya mengakui wilayah Indonesia dari Sabang sampai Ambonia. Mohammad Hatta karena ini menentang dimasukkannya West Papua ke dalam wilayah Indonesia. Semua ini menunjukkan problem kebangsaan Indonesia belum selesai. Oleh karena itu kita harus meneruskan perjuangan kebangsaan dengan menghapuskan segala bentuk penindasan. Sampai merdeka 100%.”
Soal Stella, Ujo Harianto menambahkan, “Masalah Stella bukan hanya dipakai untuk menggambarkan problem kebangsaan masa kini namun juga saat itu. Soal orang-orang Indo yang lahir dari Bapak Eropa dan Ibu pribumi. Mereka ini juga mengalami dilema akibat rasisme kolonial waktu itu. Satu sisi mereka tidak diterima sebagian orang Eropa karena dianggap tidak murni sedangkan di sisi pribumi mereka sering dipandang juga sebagai bagian dari penjajah. Stella adalah personifikasi problem itu.”
Soal kaum Indo dan aspirasi kebangsaan bahkan kemerdekaan ini sebenarnya bisa ditemukan pada sosok Douwes Dekker dan organisasi Indische Partij serta Insulinde—penerusnya. Wacana dan teori yang diusung Indische Partij (IP) sebenarnya juga penting dalam pembentukan perjuangan kebangsaan di Indonesia. IP adalah organisasi politis pertama yang didirikan tahun 1912 oleh tiga serangkai Douwes Dekker dan dua bumiputera: Tjipto Mangoenkoesomo dan Soewardi Soerjaningrat. Semangat yang dibawanya menyerupai semangat Revolusi Amerika yang mengusung kemerdekaan koloni dari tuan kolonialnya. Bahkan dalam beberapa hal lebih progresif. Indische Partij mengusung slogan “Indie voor Indiers” alias Hindia untuk Hindia serta keanggotaannya dibuka bukan hanya untuk para pemukim Belanda dan orang-orang Indo-Eropa namun juga Indo-Tionghoa serta seluruh rakyat pribumi. IP juga terang-terangan menentang rasisme serta menganjurkan kerjasama dengan SI. Sebagai organisasi politis yang berambisi menyatukan rakyat dan mencita-citakan kemerdekaan demikian, IP menghadapi represi, pemberangusan demokrasi, bahkan pembubaran organisasi oleh rezim kolonial, setahun setelah didirikan. Sayangnya ini memang tidak sempat ditampilkan dalam film.
Francis Hera ikut menanggapi, “Sosok Tjokroaminoto sebenarnya bukan hanya sebatas pemikir Islam tapi juga dipengaruhi Teosofi. Sehingga pemikirannya bisa beranekaragam kombinasi. Bahkan kemudian ia menelurkan karya Islam dan Sosialisme. Juga menambahkan ke Bung Leon tadi, waktu itu bukan hanya ada isu Pan-Islamisme namun juga Pan-Asia. Keduanya isu yang sedang naik zaman itu,” ungkap peneliti Center for Culture and Frontier Studies atau Pusat Penelitian Garis Depan dan Kebudayaan ini. Ia juga menyoroti bahwa pada masa kebangkitan nasional pertautan gagasan-gagasan kebangsaan dan wacana kiri bukan hanya sering terjadi namun juga lumrah. Soekarno sendiri lalu merumuskan gagasan persatuan revolusioner lewat karyanya Nasionalisme, Islam, dan Marxisme yang kemudian hari dikembangkan menjadi gagasan persatuan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Pertautan ini juga menurut pria berkacamata ini tampak pada dinyanyikannya lagu Internasionale dalam film Tjokroaminoto yang menunjukkan gagasan kiri tak terpisahkan dari perjuangan kebangsaan Indonesia. “Bahkan 1 Mei sebagai Hari Buruh dan 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional di Indonesia punya sosok sama yaitu Ki Hadjar Dewantara yang menerjemahkan Internasionalisme ke dalam bahasa Indonesia,” tegasnya.
Lagu Internasionale sendiri sebenarnya sudah dibuat sejak 1871 namun baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1920. Tahun yang sama dengan perayaan pertama Mayday alias Hari Buruh Internasional di Hindia. Menurut Francis, “Ini akibat rasisme pemerintah kolonial Hindia Belanda. ISDV dan para anggota SI melawan rasisme itu serta berusaha membangun persatuan serikat buruh.” Bukan hanya persatuan antara buruh Eropa dan bumiputera namun juga persatuan serikat-serikat buruh yang ada. “Sayangnya dalam film Tjokroaminoto, orang-orang kiri tetap diposisikan sebagai antagonis,” keluhnya.
Bicara sebagai orang Katolik, Francis mengakui bahwa perjuangan orang-orang kiri juga mempengaruhi perubahan sikap Gereja Katolik. “Paus Leo XIII merespon perkembangan Internasionale II, juga mendorong agar nasib buruh diperjuangkan. Buruh jangan dilihat sekadar jadi angka yang diperjualbelikan namun juga insan Allah.” Berkat perjuangan buruh, jam kerja yang awalnya 20 jam hingga 16 jam bisa dikurangi jadi 8 jam per hari. Sayangnya “Indonesia sendiri malah menghabisi buruh. Seandainya Orde Baru tidak berkuasa. Mungkin tidak ada kasus seperti Marsinah,” ia mengandaikan.
Aji Prasetyo kemudian menambahkan, “Meskipun Kartosoewirjo adalah salah satu murid Tjokroaminoto, jangan kira negara bangsa yang dibayangkan Tjokro sama seperti Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII). DI/NII adalah salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah Republik Indonesia,” menurutnya. Aji, dalam kesempatan lain menyatakan, “…kekerasan yang dilakukan pemberontak Darul Islam yang memperjuangkan berdirinya NII terhadap rakyat pendukung RI. Mulai dari memenggal hingga membakar hidup-hidup, lengkap dengan pembakaran kampung-kampung. Pemberontakan DI/TII berlangsung cukup lama (1949-1962) dan kini saat ekstremisme para pendamba Negara Islam kembali marak, slogan yang marak diangkat justru ‘waspadai bahaya laten PKI.’ Padahal bahaya laten NII jelas-jelas sedang di depan mata,” bantahnya memperingatkan.
Nesly, moderator acara kemudian menutup diskusi sambil menyimpulkan jasa-jasa yang perlu diteladani dari Tjokroaminoto dan kekurangan-kekurangannya yang perlu dilengkapi. Sekaligus perlunya melanjutkan perjuangan kebangsaan dan kerakyatan untuk mencapai kemerdekaan sepenuhnya. (lk)
Comment here