Aksi

Aksi Serentak FRI WP dan AMP Menolak New York Agreement

Aksi New York AgreementAliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) melakukan aksi serentak di berbagai kota dalam rangka memperingati New York Agreement. New York Agreement merupakan perjanjian yang dihasilkan dalam perundingan antara Belanda dan Indonesia yang diprakarsai oleh Amerika Serikat (AS) pada tanggal 15 Agustus 1962. Proses perundingan tersebut dilakukan tanpa melibatkan perwakilan dari rakyat West Papua. AS memprakarsai perundingan tersebut karena memiliki kepentingan politik untuk menandingi pengaruh Uni Soviet di Indonesia serta kepentingan ekonomi untuk menguasai kandungan emas dan mineral berharga yang sangat besar di West Papua.

Aksi serentak FRI WP dan AMP dilancarkan antara lain di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Malang dan Ternate. Sementara di Makassar, Manado, Ambon dan Sula dilakukan aksi bagi selebaran sedangkan di Bali diselenggarakan diskusi, demikian juga di Jayapura, Solidaritas Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua (SONAMAPPA) melakukan diskusi bertemakan New York Agreement.

Aksi tersebut hampir seluruhnya dibubarkan oleh pihak kepolisian bekerjasama dengan kelompok-kelompok reaksioner. Aparat kepolisian juga melakukan penangkapan terhadap massa aksi dan bahkan pembela hukum. Terjadi juga penganiayaan dari aparat kepolisian dan kelompok-kelompok reaksioner terhadap massa aksi.

FRI WP JktAksi di Jakarta dimulai di Monumen Patung Kuda Arjuna Wiwaha dan direncanakan bergerak menuju Istana Negara. Aparat kepolisian melarang massa aksi bergerak ke istana dengan alasan persiapan peringatan HUT RI pada 17 Agustus. Namun massa aksi mengatakan akan tetap melakukan long march ke istana. Polisi kemudian membubarkan massa aksi dan mengakibatkan beberapa massa aksi terluka. Sekitar 24 orang massa aksi dibawa ke Polda Metro Jaya.

Lalu di Bandung, aparat kepolisian bekerjasama dengan kelompok-kelompok reaksioner seperti Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) yang dibina oleh Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI) serta Jaringan Komunikasi Amanat Rakyat (Jangkar) untuk membubarkan aksi FRI WP. Sejak awal kelompok reaksioner tersebut telah melakukan aksi tandingan. Mereka melakukan penghadangan terhadap massa aksi serta menyisir titik aksi di Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi mencari massa FRI WP dan AMP. Massa aksi kemudian mengambil titik kumpul lain dan melanjutkan aksi di depan gedung Dinas Sejarah Angkatan Darat.

Sedangkan di Yogyakarta, tepatnya titik aksi, Taman Parkir Abu Bakar Ali (ABA), polisi dan kelompok reaksioner, Paksi Katon, berganti-gantian melakukan apel dalam upaya menggagalkan aksi FRI WP dan AMP. Polisi menyiapkan dua mobil polisi, tiga truk, 10 motor trail dan satu meriam air beserta 100 personil kepolisian dan puluhan anggota Paksi Katon. Massa aksi kemudian tetap melakukan aksi namun belum sampai 10FRI WP Bandung menit aksi dimulai, polisi dan Paksi Katon menyerang massa aksi. Paksi Katon meneriaki massa aksi dengan kata-kata “Separatis, gebuk, gebuk, gebuk, komunis, gebuk, gebuk, gebuk, NKRI harga mati.” Perlengkapan aksi berupa keranda yang bertuliskan “Matinya Demokrasi di West Papua” dihancurkan oleh Paksi Katon sementara polisi mendorong massa aksi ke dalam truk polisi. Total sekitar 29 orang ditangkap dan dibawa ke kantor kepolisian resot kota besar (polrestabes) Yogyakarta. Solidaritas datang dari Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) dan Front Mahasiswa Nasional (FMN) hingga sekitar jam 17.00 seluruh massa aksi dibebaskan.

Sementara itu di Kota Malang, polisi bekerjasama dengan kelompok reaksioner Pemuda Pancasila (PP) serta orang-orang yang memakai sorban dan gamis dan orang-orang beratribut dan berseragam Generasi Muda (GM) FKPPI, Gerakan Masyarakat Ahlusunah Wal Jamaah (GEMAS), serta Bantuan Serba Guna (Banser) Nahdlatul Ulama (NU), santri-santri yayasan Darul Hikmah Kebonsari Malang, membubarkan aksi FRI WP dan AMP. Massa aksi yang berkumpul di depan Stadion Gajayana didatangi oleh berbagai kelompok reaksioner yang membawa bendera merah putih sambil menyanyikan lagu kebangsaan dan meneriaki: NKRI Harga Mati. Mereka merampas atribut aksi dan mengintimidasi massa aksi termasuk juga aktivis LBH Rumah Keadilan Malang. Kelompok reaksioner tersebut juga sempat memukul salah satu peserta aksi hingga terluka. Selain itu mereka juga sempat mengeroyok pemuda Papua dan menyodoknya dengan tongkat bendera karena meneriakan “Papua, Merdeka!” Terdapat juga dua mahasiswa Papua yang berkuliah di Malang yang disudutkan, dijadikan bulan-bulanan, dipaksa membacakan lima sila Pancasila dengan megaphone di bawah tekanan massa.

Pasca meninggalkan tempat dan berkumpul di lokasi aman maFRI WP YKssa aksi mengeluarkan pernyataan sikap mengecam aparat rezim penindas yang bersekutu dengan kelompok-kelompok reaksioner di Malang. “Kami Aliansi Mahasiswa Papua tetap akan maju walaupun hari ini kita dihadang oleh ormas reaksioner yang diprovokasi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan ekonomi politik di Papua, dalam penghadangan oleh ormas reaksioner tampak jelas kehadiran aparat keamanan namun terjadi proses pembiaran sehingga kami menilai bahwa pihak kepolisian hendak mendesain konflik antara ormas dan massa aksi AMP. Namun kami massa aksi AMP menyadari bahwa perjuangan kami melawan negara Indonesia yang sedang menindas kita dan hari ini Selasa 15 Agustus 2017 kami hendak turun jalan untuk menggugat perjanjian New York Agreement 1962 yang ilegal antara Amerika, Belanda, dan Indonesia…kami menilai negara sedang mendiskriminasi bahkan membungkam ruang demokrasi dan ini telah mebuktikan bahwa Indonesia bukanlah negara demokrasi…” ungkap Yohanes Giyai, Koordinator Lapangan (Korlap) aksi.

FRI WP dan AMP jugAksi FRI WP Malanga melancarkan aksi di depan Kampus Universitas Diponegoro, Semarang. Polisi bekerjasama dengan kelompok reaksioner Garda Nasional Patriot Indonesia (Ganaspati) kemudian membubarkan aksi tersebut. Massa Ganaspati berteriak-teriak: “NKRI Harga Mati. Kalau mau merdeka jangan hidup di sini (Indonesia).” Dengan dalih adanya penolakan, kepolisian kemudian membubarkan serta melakukan penangkapan terhadap massa aksi FRI WP dan AMP. Koordinator aksi massa ditarik rambutnya dan kemudian diseret untuk ditangkap. Akibatnya dalam upaya pembubaran tersebut satu orang massa aksi mengalami luka ringan dan sekitar 47 orang massa aksi ditangkap dan dibawa ke kantor polrestabes Semarang. Polisi juga menangkap dua orang pembela hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. Ketika massa aksi ditangkap, aksi solidaritas dilakukan di luar polrestabes Semarang, hingga massa dibebaskan.

Sementara itu di Ternate, aksi FRI WP di Kampus Universitas Khairun II berjalan lancar.  Massa aksi membagikan selebaran mengecam New York Agreement dan mengusung spanduk serta poster-poster dukungan terhadap perjuanFRI WP Semaranggan pembebasan nasional West Papua. Berbagai perwakilan massa aksi bergantian berorasi mengecam pelanggaran HAM sekaligus menuntut hak untuk menentukan nasib sendiri.

Aksi serentak di berbagai kota di Indonesia ini mengangkat isu (1) Kebebasan dan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua. (2) Tarik militer (TNI-POLRI) Organik dan Non-Organik dari seluruh tanah papua sebagai syarat damai. (3) Tutup Freeport, British Petroleum (BP), LNG Tangguh, MNC dan yang lainnya yang merupakan dalang kejahatan kemanusiaan di tanah Papua. (4) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses penentuan nasib sendiri, pelurusan sejarah dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua.

Represi dan intimidasi terhadap aksi mengecam New York Agreement di berbagai daerah Indonesia ini menunjukkan tiga hal. Pertama, ini adalah tindak lanjut konkret langsung dari Perppu Ormas  yang didalamnya juga menyasar pejuang pembebasan West Papua. Pembubaran terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) hanya sekadar batu loncatan saja bagi rezim untuk menyerang kelompok-kelompok oposisi lainnya, baik oposisi borjuis, oposisi kanan reaksioner, maupun oposisi rakyat. Sebab dalam situasi belum meredanya krisis kapitalisme dunia, rezim borjuasi di berbagai negara termasuk di Indonesia perlu semakin memperbeFRI WP Ternatesar penghisapan untuk menyelamatkan kapitalisme. Karena seperti hukum aksi selalu memunculkan reaksi, maka penghisapan juga bisa memunculkan perlawanan, sehingga rezim borjuis berkepentingan memperparah penindasan dan pemberangusan demokrasi bukan hanya untuk melanggengkan penghisapannya namun juga menstabilkan kekuasaannya.  Kedua, persekutuan antara aparat rezim penindas dan kelompok-kelompok reaksioner menunjukkan bahwa kaum penindas meskipun berbeda identitas lebih punya banyak kesamaan kepentingan di antara mereka untuk bisa bersatu melawan kaum tertindas. GEMAS yang fundamentalis, mengusung slogan NKRI Bersyariah, serta menggelar aksi bela Islam (untuk menggoyang bukan hanya rezim Basuki di Jakarta namun juga menyasar rezim Jokowi) bisa bersatu dengan PP yang mengaku berdiri setia di pihak rezim Jokowi-JK. Ketiga, represi dan intimidasi ini menunjukkan bahwasanya demokrasi di Indonesia tidak lebih dari kediktatoran borjuis. Demokrasi bagi borjuasi, demokrasi bagi para konglomerat, pejabat, dan aparat. Namun kediktatoran bagi buruh, tani, dan kaum tertindas, termasuk di sini terhadap rakyat West Papua yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembebasannya.

Benar bahwasanya aksi 15 Mei 2017 kemarin sebagian besar telah dipukul mundur kaum reaksioner di Indonesia. Namun aksi tersebut berhasil naik di beberapa media internasional serta berhasil mengundang solidaritas dari berbagai organisasi yang sebelumnya tidak ikut mengampanyekan perjuangan pembebasan nasional West Papua. Pelajaran yang bisa dipetik ada tiga. Pertama, kian perlunya menggalang semakin banyak massa dan organisasi pergerakan terutama elemen kelas buruh untuk semakin bergabung dalam perjuangan pembebasan nasional West Papua.

Kedua, propaganda yang sudah dilakukan secara meluas tentang pemberangusan demokrasi dan kekejaman aparat rezim penindas dengan bersekutu bersama kelompok-kelompok reaksioner perlu ditambah dengan versi terjemahannya atau propaganda dalam bahasa Inggris untuk (1) menggalang semakin banyak solidaritas internasional dan (2) mendorong tekanan internasional terhadap Indonesia. Ini tindakan cukup berguna untuk menyiasati media-media kapitalis Indonesia yang tidak berpihak pada pembebasan nasional West Papua.

Ketiga, perlunya melengkapi aksi-aksi ini dengan diskusi-diskusi (baik diskusi publik, diskusi semi-publik, maupun diskusi dari satu organisasi ke organisasi lain) dan edukasi-edukasi yang mengupas sejarah penindasan terhadap West Papua dan kepentingan kelas buruh dan rakyat pekerja Indonesia untuk mendukung perjuangan pembebasan nasional West Papua.

Saat ini aparat rezim borjuis Indonesia dan kelompok-kelompok reaksioner termasuk kaum-kaum fasistis pendukungnya memang bisa saja memukul mundur aksi pembebasan nasional West Papua serta media-media nasional kapitalis bisa saja bersekongkol tidak menyuarakan perjuangan pembebasan nasional West Papua dan menutupi kebenaran tentangnya. Namun sebagaimana kata Maxim Gorky lewat karyanya berjudul Ibunda, “Samudera sekalipun tak akan mampu menenggelamkan kebenaran.” Kita harus semakin menggalang kekuatan, membangun kesadaran, memperluas solidaritas dan barisan perjuangan untuk maju lagi dalam perlawanan saat memungkinkan. Perjuangan pembebasan nasional memang panjang dan berliku tapi bukanlah kemustahilan. Ratusan tahun Jawa dijajah namun akhirnya bisa merdeka dan mendirikan Indonesia, berabad-abad Irlandia dijajah Britania namun semakin lama semakin maju perjuangan pembebasan nasionalnya, puluhan tahun Kurdistan dipecahbelah dan dikuasai namun sekarang mereka punya pasukan-pasukan dan daerah otonominya sendiri, begitu juga bangsa-bangsa tertindas di dunia lainnya. West Papua tidaklah sendirian. Kemerdekaan akan menang melawan penjajahan, pembebasan akan menang melawan penindasan, demokrasi akan menang melawan fasisme, dan sosialisme akan melawan kapitalisme.

(diolah dari berbagai sumber. lk, na, rf, imk)

Loading

Comment here