Lebih dari 33 mahasiswa di Malang berdemonstrasi mendukung awak mobil tangki pada Senin (7/8/2017). Mereka yang mengatasnamakan Aliansi Perjuangan Rakyat (APR) berorasi di perempatan Veteran mengecam kesewenangan Pertamina terhadap buruh. Mereka mengungkap: sejak dirilisnya surat Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) Republik Indonesia (RI) dengan Nomor B. 605/PHIJSK/VII/2017 12 Juli 2017 lalu memandatkan pemeriksaan serentak terhadap PT. Pertamina Patra Niaga yang melanggar hukum ketenagakerjaan, PT Pertamina Patra Niaga dan seluruh vendornya masih terus merampas hak-hak awak mobil tangkinya. Mereka melarang awak mobil tangki yang ikut mogok untuk kembali bekerja bahkan posisinya digantikan sopir baru padahal hak untuk mogok dan berdemonstrasi adalah hak-hak demokratis kelas buruh.
Massa aksi juga menyatakan semakin banyak kesewenangan Pertamina yang terungkap. “Selama ini pihak PT Pertamina Patra Niaga beserta vendor-vendornya tidak pernah mendaftarkan perjanjian kerjanya pada pihak dinas ketenagakerjaan kota/kabupaten yang ada di Banyuwangi maupun provinsi,” terang rilis persnya. Mereka menyatakan itu melanggar Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 19 tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain Pasal 20 Ayat (1) dan juga Pasal 27 Ayat (2). Konsekuensi pelanggaran ini memungkinkan pencabutan izin operasional perusahaan vendor maupun Pertamina sebagaimana Surat Edaran Kemenakertrans No. 4 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Outsourcing.
Demonstran APR lantas mengecam tidak adanya tanggapan cepat dari pihak yang berwenang atas pelanggaran demikian. “Pihak yang berwenang dalam ketenagakerjaan seringkali membuat alasan tidak ada laporan maupun kekurangan orang dalam menjalankan pengawasan. Pembiaran ini sudah terjadi bertahun-tahun, namun pihak pemerintah maupun perangkatnya mengabaikan hal tersebut. Peran pengawasan dalam ketenagakerjaan di setiap daerah sangat lemah dan tidak peduli sama sekali dengan hak-hak pekerja yang dirampas,” kritik mereka.
Demikianlah hukum dalam kapitalisme memang dibuat untuk melayani kepentingan operasi kapital dalam menanamkan dirinya, menghisap-memeras, serta menumpuk laba di atas jerih payah dan penderitaan kelas buruh dan rakyat pekerja. Oleh karenanya hukum kapitalis cenderung bias: kapitalis dilindungi sementara rakyat dikriminalisasi. Mereka yang masuk golongan konglomerat, pejabat, dan aparat cenderung lebih mudah kabur dari hukuman walaupun melakukan kejahatan. Mulai dari Soeharto—yang melakukan kudeta dan pembantaian massal—malah dilindungi, Aburizal Bakrie—yang menenggelamkan banyak wilayah Sidoarjo dengan lumpur Lapindo—malah diambil alih tanggung jawab ganti ruginya, hingga Wiranto yang biang pelanggaran HAM justru dijadikan menteri. Sedangkan di sisi lain buruh yang dipukuli polisi Turn Back Crime (TBC) dalam demo Oktober silam malah dikriminalisasi, petani yang mempertahankan tanahnya dari penggusuran malah ditembaki, dan pemuda Papua seperti Obby Kogoya yang jadi korban serangan rasisme justru malah dibui.
Orator aksi menyatakan untuk menghadapi itu perlu solidaritas antar seluruh kaum tertindas. Maka APR menuntut percepat pemeriksaan pelanggaran PT Pertamina Patra Niaga dan vendor yang melanggar peraturan ketenagakerjaan, percepat pencabutan izin vendor di PT. Pertamina Patria Niaga yang melanggar Permen 19 Tahun 2012 dan peraturan ketenagakerjaan lainnya, buka dokumen izin operasional serta keluarkan surat nota pemeriksaan dan tindak tegas PT Pertamina Patra Niaga yang melanggar peraturan ketenagakerjaan. (lk)
Comment here