Kamis (27/7) Front Anti Kriminalisasi yang terdiri dari LBH Yogyakarta, IPMA Papua, AMP dan FRI-WP, melakukan aksi solidaritas untuk pembebasan Obby Kogoya. Pada pukul 7 pagi, aliansi mulai berkumpul di dalam asrama Kamasan untuk melakukan sejumlah persiapan aksi. Spanduk, poster, ikat kepala bertuliskan “Bebaskan Obby” dibagikan kepada setiap orang di dalam aliansi. Setelah persiapan selesai, pada pukul 08.45, aliansi mulai berjalan kaki bersama-sama menuju Pengadilan Negeri Yogyakarta untuk mengawal sidang putusan Obby.
Pukul 09.42 aliansi berkumpul dan berorasi di halaman depan ruang sidang. Sementara polisi yang tadinya tidak terlihat mulai bermunculan dari dalam ruang persidangan dan beberapa diantaranya berdiri di samping barisan aliansi yang sedang mendengarkan orasi. Kemudian pada jam 09.50 orasi selesai, dan aliansi mulai memasuki ruang sidang. Ruangan sidang dipenuhi oleh aliansi.
Pada pukul 10.07 sidang dimulai. Pembacaan putusan pun dilakukan. Dalam pembacaan putusan tersebut, polisi tiba-tiba menerobos masuk lalu berbaris di samping ruang sidang. Kemudian, masih dalam pembacaan putusan, pukul 10.27 seorang polisi bernama Jayeng H menerobos masuk ke ruang sidang dengan membawa senjata api, tetapi kemudian diperintahkan oleh hakim untuk keluar dari ruang persidangan, karena terdapat aturan bahwa dalam ruang sidang siapapun tidak diperbolehkan membawa senjata.
Pukul 10.52, pembacaan putusan selesai, kemudian hakim ketua memutuskan bahwa Obby bersalah dan dijatuhi 1 tahun masa percobaan dengan hukuman 4 bulan penahanan. Setelah sidang ditutup, aliansi kemudian kembali berkumpul di halaman depan ruang persidangan. Mereka kembali melakukan orasi-orasi.
Dalam kesempatan itu, LBH Yogyakarta menyampaikan bahwa persidangan tidak melihat fakta-fakta yang ada. Padahal, fakta sudah jelas bahwa semua saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut tidak mampu menunjukkan bukti-bukti yang jelas. Bahkan saksi tersebut juga ada yang tidak jelas kesaksiannya, karena menunjukkan bahwa oknum polisi terkait yang dianggap menjadi korban dari kekerasan Obby, berada di 3 tempat yang berbeda dalam satu waktu.
Kemudian menyangkut surat tugas, secara hukum tidak dibenarkan petugas melakukan tugas dengan cara diskriminatif dan penyiksaan, tetapi dalam persidangan hal itu justru dibenarkan. Sebelumnya, Komnas HAM juga telah memberikan 8 fakta bahwa penyiksaan justru terjadi pada Obby, tetapi persidangan tidak melihat fakta ini.
Selain itu, LBH Yogyakarta juga menyatakan akan melakukan banding, karena ini adalah untuk melawan penyiksaan yang dilakukan aparat negara terhadap warga negara Indonesia.
Pukul 11.22, aliansi melakukan pembacaan pernyataan sikap di depan halaman ruang persidangan. Dalam pernyataan tersebut, aliansi mengungkapkan bahwa sudah lama rakyat West Papua mendapatkan diskriminasi rasial dan pembungkaman ruang demokrasi di Indonesia terutama di Yogyakarta. Aliansi tidak akan tiggal diam atas represifitas aparat Negara dan atau dengan ormas-ormasnya, aliansi juga tidak akan berdiam diri dengan diskriminasi rasial yang terus dihadapi rakyat West Papua, dan aliansi tidak akan berdiam diri dengan pembungkaman ruang demokrasi yang terus terjadi di Indonesia, khususnya Yogyakarta. Aliansi juga menyerukan solidaritas dari rakyat tertindas lainnya yang ada di West Papua dan yang ada di Indonesia untuk bergabung memperjuangkan hak-haknya terhadap ruang demokrasi yang sedang dibungkam.
Dengan itu semua, aliansi menyatakan sikap:
- Bebaskan Obby Kogoya karena dia tidak terbukti bersalah dan dia merupakan korban kekerasan dan kriminalisasi.
- Mengecam keras tindakan aparat kepolisian yang melakukan kriminalisasi, diskriminasi rasial, dan yang menjadi pelaku kekerasan terhadap Obby Kogoya.
- Hentikan rasisme dan kriminalisasi terhadap rakyat West Papua dan juga terhadap rakyat Indonesia.
- Hentikan perampasan tanah rakyat yang dilakukan oleh Negara Indonesia dan berikan ruang hidup untuk rakyat.
- Tangkap dan adili polisi pelaku kekerasan terhadap Obby Kogoya.
- Berikan ruang demokrasi bagi rakyat West Papua dan bagi seluruh rakyat tertindas di Indonesia.
Kriminalisasi Obby Kogoya berawal setahun yang lalu dari upaya aparat kepolisian bekerjasama dengan kelompok reaksioner untuk merepresi aksi Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB). Dengan dijatuhkannya vonis tersebut maka hukum Indonesia membenarkan represi serta rasisme yang digunakan oleh aparat kepolisian bekerjasama dengan kelompok reaksioner. Represi dan rasisme tersebut digunakan untuk memberangus hak demokratis menyampaikan pendapat termasuk menuntut hak menentukan nasib sendiri. Lihat: kronologi represi PRPPB , pernyataan sikap PRPPB dan pernyataan sikap PRRPPB pra peradilan Obby. (bd)
Comment here