27 Juli 1996 silam kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat dikepung dan diserang. Peristiwa itu meningkatkan protes-protes lebih besar yang sudah berjalan sebelumnya, sekaligus menandai titik awal kejatuhan rezim militer Soeharto. Penyerangan tersebut dilakukan secara brutal oleh orang-orang yang ciri-cirinya persis seperti preman dan tentara namun mengaku sebagai anggota PDI yang resmi. Segerombolan orang berbaju PDI dan berkepala plontos ini ternyata adalah tentara yang ditugaskan untuk menghancurkan kantor PDI dan menyerang para aktivis dan tokoh yang memberikan solidaritas terhadap PDI Mega. Gerombolan berbaju merah berkepala plontos dengan ditutupi kain merah ini dibantu oleh polisi dan pasukan “loreng” (Tentara).[1]
Peristiwa 27 Juli 1996 yang sering disingkat Kudatuli ini berada dalam konteks Indonesia yang sejak akhir tahun 1980an sebagai akibat dari kebijakan penanaman modal asing dan hutang luar negeri, banyak tanah-tanah para petani yang digusur. Sementara itu, pasca perlawanan di 1978, mahasiswa dijatuhi kebijakan “massa mengambang” oleh Rezim Militer Soeharto. Peningkatan secara drastis yang terjadi pada aksi-aksi protes sejak 1989 dan seterusnya dihadapi dengan meningkatkan penangkapan, pelarangan berita mingguan, dan pemberhentian liberalisasi media. Aksi-aksi protes selalu dijawab dengan penyiksaan, penculikan, dan penembakan dengan peluru tajam kepada para demostran.
Sebagai akibat dari kebijakan massa mengambang serta mengambil pelajaran dari berbagai perlawanan terhadap rezim otoriter di internasional. Kondisi tersebut menjadi dasar bagi berkembangnya gerakan yang lebih radikal setelah selama lebih dari sepuluh tahun ditindas oleh rezim militer Soeharto. Mahasiswa-mahasiswa menjalankan perspektif turun ke rakyat, serta rakyat yang berhasil diorganisir kesadarannya, menjadi unsur pembentuk dari Partai Rakyat Demokratik. Tanggal 15 April 1996 mereka yang tergabung dalam berbagai organisasi masa seperti Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Serikat Tani Nasional (STN) dan Jaringan Kerja Kesenian Kerakyat, mendeklarasikan sebuah partai yang bernama Partai Rakyat Demokratik (PRD). Pendirian PRD menjadi landasan awal perkembangan gerakan radikal dimasa itu.[2]
Tahun 1987 Megawati didekati Soerjadi (kepemimpinan PDI yang baru (orang yang pada akhirnya menjadi saingan Megawati), yang tampaknya pada saat itu memiliki kedekatan dengan saingan-saingan Soeharto, untuk didorong menjadi kandidat anggota parlemen dalam pemilu. Alhasil Megawati bisa menghidupkan kembali paling tidak basis temporer PDI. Rezim semakin menunjukan ketidakmampuannya untuk mengendalikan oposisi kanan borjuis yang kala itu dimanifestasikan oleh PDI. Konflik antar Soeharto dan Megawati berkembang menjadi konfrontasi dibulan Juni 1996, saat pemerintah memutuskan hanya mengakui Kongres PDI yang diorganisasikan oleh faksi Soerjadi yang anti Megawati dan pro rezim. Dengan demikian, mereka mencabut pengakuan hukum bagi Megawati, menyingkirkannya secara hukum dari politik formal. Dia menolak menerimanya dan mempertahankan bahwa kepemimpinannya dan PDI-nya lah partai yang sah.[3] Setelah bulan Juni 1996, hampir selama setahun, aksi protes yang berkembang sejak tahun 1989 terus menguat. Disisi lain, protes politik juga semakin kuat dilakukan terhadap kebijakan Soeharto yang berupaya mengendalikan PDI. PDI yang lahir dari suatu fusi dari PNI lama (tapi yang telah dibersihkan) dan partai Kristen kecil, adalah salah satu partai yang diizinkan oleh Undang-undang Pemilihan Umum dan Politik Soeharto.
Markas PDI menjadi tempat pertemuan koalisi anti pemerintah yang dikenal dengan nama Majelis Rakyat Indonesia (MARI). Meskipun Koalisi MARI bertujuan untuk mempertahankan PDI Megawati -yang disingkirkan oleh pemerintahan Soeharto secara hukum- namun juga mengeluarkan tuntutan umum yang lebih luas seperti pendidikan gratis, penghentian korupsi dan pencabutan UU yang menindas termasuk juga peningkatan upah buruh, pegawai negeri, dan prajurit. Dengan begitu, tidak heran jika pemerintah pada akhirnya bergerak untuk menghentikan kemungkinan konsolidasi yang lebih luas terjadi. Namun, pemerintahan rezim Soeharto rupanya memang tengah berada dalam masa yang sulit. Krisis politik rezim semakin parah. Penyerangan yang dibantu oleh polisi dan pasukan “loreng”, justru mengundang solidaritas lebih luas. Bentrokan sporadis semakin tak terbendung. Sebagian dari massa yang geram kepada polisi dan tentara, membakar pos polisi terdekat sambil meneriakan “ABRI pembunuh”. Dalam beberapa jam kemudian, penduduk daerah kumuh sekitarnya, para pelajar dan mereka yang melintas ikut bersolidaritas. Tentara kemudian membalasnya dengan menyemprotkan air dan gas air mata kearah kerumunan masa. Lantas massa berlarian dan kerumunan menjadi terpencar-pencar. Tidak lama berselang, beberapa ribu penduduk dari kaum miskin kota ikut bergabung. Saling serang terus terjadi. Diperkirakan lebih dari 200 orang ditangkap dan lima orang terbunuh.
Peristiwa 27 Juli 1996 merupakan contoh sindrom MALARI: mobilisasi protes yang terorganisasi oleh sektor politik tertentu, dibarengi oleh kerusuhan yang meluas dikalangan sebagian penduduk yang tak terorganisasi. Demonstrasi tersebut, juga merupakan tanda lain meningkatnya krisis politik bagi kontra revolusi: politik “masa mengambang” sedang mengalami penghancuran.[4] Rezim kemudian melancarkan serangan langsung terhadap Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dituduh mengorganisasikan kerusuhan-kerusuhan tersebut. Kampanye PRD sebagai komunis dan PKI versi baru, dipropagandakan oleh rezim. Dengan alasan itu, perintah diturunkan untuk menangkap pimpinan dan anggota PRD. Akibatnya kurang lebih 30 orang pimpinan dan anggota PRD ditangkap dan dipenjarakan. Ini menyebabkan PRD terpaksa bergerak di bawah tanah.
Sementara PRD diburu-buru, aksi-aksi protes terus berlanjut bahkan semakin meningkat. Sedangkan di lain hal, Megawati dan para pendukungnya masih menolak untuk menerima keabsahan pemerintah terhadap PDI saingannya yang dipimpin Soerjadi. Mereka mengambil langkah hukum, dengan mencabut status hukum semua cabang yang dibentuk oleh PDI-Soerjadi. Setiap kali persidangan, selalu disertai dengan pengumpulan massa PDI sambil berpawai atau berdemostrasi. Aksi-aksi tersebut relatif tidak militan, namun cukup efektif untuk menyebarluaskan metode mobiliasi politik ke seluruh negeri. Setelah Juli 1996, PDI dan aksi-aksi spontan yang tejadi bisa menjaga berbagai isu tetap menjadi agenda publik sekaligus, sehingga gairah politik mampu mendekati status kemarahan bahkan pemberontakan.
November 1996, PRD terus bergerak dan membentuk komite-komite aksi dibeberapa kota. Dalam empat bulan, sejumlah aksi protes terus meningkat. Di Lampung, aksi gabungan antara mahasiswa, pelajar, dan supir sedikit banyak terjadi secara spontan. Begitupun dibeberapa kota lainnya seperti di Situbondo, Jawa Timur, Rengas Dengklok, Ujung Pandang dan sebagainya. PRD muncul sebagai organisasi yang mengintervensi aksi buruh dan petani yang tengah bangkit secara spontan dengan mendorong dan membangun aksi sebagai strategi secara nasional. Strategi mobilisasi massa tersebut bertujuan untuk menyatukan kekuatan rakyat melawan kediktatoran Rezim Militer Soeharto dan membuka ruang demokrasi seluas-luasnya.
Pada Pemilu yang dilaksanakan bulan Mei 1997, atmosfer suhu politik semakin tinggi. Demonstrasi terjadi di berbagai tempat dan hampir setiap hari. Megawati dan para pengikutnya yang tidak bisa mengikuti pemilu, menyerukan massa untuk memboikot pemilu. Begitupun dengan hampir seluruh LSM pro demokrasi lainnya, juga turut serta menganjurkan untuk melakukan pemboikotan terhadap pemilu. Pemilu Mei 1997 menunjukan mobilisasi terbesar dalam sejarah Orde Baru. Rezim kemudian membalasnya dengan mengeluarkan peraturan-peraturan ketat yang menjamin polisi dapat mengendalikan proses kampanye. Namun secara spontan pada hari kampanye yang disediakan untuk Parta Persatuan Pembangunan (PPP), suatu fusi partai-partai islam, justru melakukan mobilisasi besar-besaran, membawa poster dan spanduk, memproklamirkan slogan “Mega Bintang”. Dimana kata Mega yang mengacu pada Megawati, sementara Bintang adalah lambang dari PPP. Massa dari kedua oposisi kanan borjuis tersebut, bersatu dalam kemarahan menolak Golkar dan Orde Baru. Berbagai spanduk nampak menunjukkan kemarahan tersebut seperti “Koalisi Mega Bintang Rakyat Menolak Mayoritas Mutlak Golkar”, “Golkar Korup”, Golkar Curang” dan sebagainya. PRD yang dipaksa bergerak di bawah tanah, kembali mengambil momentum tersebut untuk mengintervensi dan meningkatkan kesimpulan tuntutan politik yang diberikan ke masa. Dengan mengatas namakan koalisi Mega-Bintang Rakyat, mereka mulai menyebarkan selebaran kepada massa yang tengah berkumpul dan berpawai. Selebaran tersebut berisikan tuntutan besar: Turunkan Soeharto! yang di dalamnya berisikan lima Undang-undang politik: cabut dwi fungsi ABRI; komposisi kabinet yang terdiri dari partai-partai; hapuskan korupsi dan konglomerat; selidiki harta kekayaan anak-anak presiden, menteri-menteri dan para pejabat lainnya; dan turunkan harga. Sedikitnya kurang lebih 600.000 selebaran mereka sebarkan, beberapa diantara massa yang berkumpul bahkan rela memfotocopynya. Perlawanan dan propaganda yang mereka sebarkan secara terus menerus pada akhrinya membuahkan hasil. Krisis Ekonomi pada tahun 1998 meledakkan mobilisasi massa tersebut dan membuat Soeharto terjungkang dari tampuk kekuasaan.
Namun demikian PRD belum sempat melakukan klarifikasi Ideologi. Proses Klarifikasi Ideologi justru baru terjadi setelah pasca penggulingan soeharto di 1998. Para borjuis radikal yang melihat bahwa perjuangan sudah selesai setelah keran demokrasi telah terbuka, memilih masuk ke dalam partai-partai borjuis dan melakukan perebutan kekuasaan didalam demokrasi liberal. Ataupun masuk ke dalam aktivitas-aktivitas demokratik non partai seperti mendirikan LSM.
Meskipun terdapat pertentangan antara oposisi kanan borjuis dengan rezim penguasa orde baru di dalam berbagai peristiwa tersebut namun semua kemajuan bukanlah hasil dari perjuangan para elit politik seperti Megawati, Amien Rais, Sultan apalagi para pelanggar HAM seperti Prabowo, Wiranto, ARB, JK, Akbar Tanjung dan sebagainya. Peristiwa 27 Juli 1996 yang kemudian berlanjut dengan Reformasi 1998 menunjukan perjuangan luar biasa yang dilancarkan oleh kaum muda, mahasiswa dengan senjata mobilisasi massa yang dibangun sejak tahun 1980an. Militansi dan rela berkorban yang mereka miliki, harus tetap kita simpan sebagai penyemangat bagi perjuangan kedepannya.
Satu hal yang pasti bahwa capaian dari reformasi 1998 adalah terbukanya ruang demokrasi rakyat yang sebelumnya dihancurkan oleh Rezim Militer Soeharto. Capaian tersebut berkaitan erat dengan perjuangan kelas buruh dalam mencapai Sosialisme. Pembukaan ruang demokrasi akan memudahkan propaganda ide-ide sosialisme. Mempermudah kaum sosialis dalam melancarkan perjuangan politik dan ideologi melawan borjuasi. Dengan demikian semakin tuntas perjuangan demokrasi, maka akan semakin memperkuat perjuangan kelas buruh melawan borjuasi untuk sosialisme.
Namun demikian, Reformasi bukanlah Revolusi. Reformasi adalah perbaikan di bidang politik, ekonomi dan sosial dalam tatanan ekonomi politik yang lama: kapitalisme. Reformasi adalah konsesi yang di berikan oleh kelas penguasa sebagai akibat dari hebatnya perjuangan politik yang terjadi, dan mengancam kepemimpinan kelas berkuasa. Kelas buruh, membutuhkan sebuah Revolusi Sosial, perubahan mendasar yang menghancurkan tatanan lama dan pembangunan masyarakat baru. Perjuangan demikian, hanya bisa dituntaskan oleh kelas buruh yang sadar. Karena sosialisme akan menggantikan sistem kapitalisme dengan sebuah sistem yang terencana. Dengan demikian dibutuhkan sebuah perjuangan yang sadar untuk menghilangkan sepenuhnya pembagian masyarakat kedalam kelas-kelas. Maka di sinilah peran Partai Revolusioner dibutuhkan dalam memasok kesadaran sosialis kepada rakyat pekerja, agar siap dan teguh dalam menuntaskan perjuangan menuju sosialisme.
ditulis oleh Dipta Abimana, Kader KPO PRP
[1] https://koranpembebasan.wordpress.com/2013/07/25/menolak-lupa-kudatuli-1996/ Diakses 26 Juli 2017
[2] Alif Pramuja dan Diponegoro, Perjuangan Melawan Rezim Militer Soeharto, Koran Arah Juang Edisi 22 III-IV Mei 2017
[3] Max Lane, Unfinished Nation, hal : 243
[4] Max Lane, Unfinished Nation hal : 248
Comment here