Perspektif

Demokrasi Untuk Kelas Mana?

Selasa, 9 Mei 2017, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok divonis dua tahun penjara atas penodaan agama menurut pasal 156a huruf a KUHP. Tidak lama berselang Presiden Jokowi mengimbau semua pihak untuk dapat menerima vonis tersebut. Termasuk juga menerima langkah yang akan dilakukan Ahok untuk banding. Meskipun atas permintaan istrinya, Veronica Tan, upaya banding ini kemudian dicabut.

Pasca-vonis Ahok, merebak berbagai aksi massa di sekitar 100an kota di Indonesia maupun di beberapa kota di luar negeri. Aksi yang sering disebut sebagai aksi lilin tersebut menyuarakan isu-isu seperti pembebasan Ahok, keadilan untuk Ahok, matinya keadilan, save NKRI, anti rasisme, Bhineka Tunggal Ika, toleransi, pencabutan pasal karet: penistaan agama, Pancasila dan NKRI harga mati, dan sebagainya. Banyak aksi tersebut dilakukan secara spontan dan menarik banyak lapisan baru. Banyak diantara mereka yang sepertinya belum pernah berorganisasi ataupun terlibat dalam aksi-aksi massa sebelumnya. Namun yang jelas, utamanya mereka yang selama ini jadi korban politik rasisme—yaitu kaum Tionghoa-Indonesia, non-Muslim,dan sebagainya.

Namun di beberapa kota aksi tersebut mengalami pembubaran oleh kelompok reaksioner maupun aparat kepolisian. Di Yogyakarta, Forum Umat Islam (FUI) menyerang aksi lilin di Tugu Yogyakarta. Sementara di Makassar, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Makassar bekerjasama dengan Front Pembela Islam (FPI) Sulawesi Selatan membubarkan aksi lilin di Pantai Losari. Kemudian di Pekanbaru aksi lilin dibubarkan oleh Warga Pekanbaru Cinta Kebersihan, suporter bola dari Askar The King, serta tokoh masyarakat dan agama. Sementara FPI Tebing Tinggi tidak dapat membubarkan aksi lilin di Tebing Tinggi karena kalah jumlah. Sementara itu aksi lilin di Solo, Pontianak, Bandung, Batam, Kudus, Medan, Depok, Tegal, Pluit, Bangka, dsb entah dibubarkan atau dilarang oleh aparat kepolisian dan TNI.

Sementara itu sehari sebelum vonis Ahok, Menkopolhukam Wiranto, Menkumham Yasonna Laoly, Mendagri Tjahjo Kumolo dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian memberikan pernyataan di Kemenkopolhukam mengenai pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Proses pembubaran tersebut akan dilakukan dengan langkah hukum. Semingguan kemudian, Wiranto menegaskan bahwa pemerintah akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membubarkan HTI. Langkah yang menurutnya sudah sesuai dengan prosedur hukum. Wiranto menekankan bahwa pembubaran itu diperlukan untuk mencegah berkembangnya ancaman terhadap keutuhan bangsa.

HTI meresponnya dengan menyelenggarakan konferensi pers menolak pembubaran tersebut serta akan menggandeng ormas Islam untuk menolak pembubaran tersebut. Kepada media massa, Ismail Yusanto—Juru Bicara HTI menyatakan punya hubungan dengan Partai Gerindra dan PKS. Keesokan harinya HTI bertemu dengan pimpinan DPR, Fadli Zon. Politisi Gerindra tersebut menyatakan bahwa tuduhan bahwa HTI adalah ormas yang anti Pancasila sangatlah tidak tepat. Fadli Zon juga menyatakan bahwa HTI memiliki kontribusi dalam melakukan revisi undang-undang yang dianggap liberal. Selain itu rencana pembubaran tersebut tidak melalui prosedur dan kajian substansi yang mendalam.

Sementara di hari yang sama Senin, 8 Mei 2017, pada saat pembukaan pameran seni bertema Wiji Thukul di Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (Pusham UII), Pemuda Pancasila melakukan upaya pembubaran. Upaya pembubaran juga terjadi pada pameran seni Wiji Thukul di Semarang beberapa hari sebelumnya oleh Forum Umat Islam Semarang (FUIS). Walaupun begitu kedua acara tersebut tetap dilanjutkan sesuai rencana.

Selasa, 16 Mei, Jokowi bertemu dengan sejumlah tokoh agama di Istana Negara. Dalam pertemuan tersebut Jokowi menyatakan bahwa “Konstitusi menegaskan semua warga negara berkedudukan sama dalam hukum, tanpa terkecuali,” termasuk menegaskan bahwa toleransi antar umat beragama harus dijaga untuk mencegah konflik.

Keesokan harinya, setelah bertemu dengan pemuka agama, dalam pertemuan dengan sejumlah pimpinan redaksi media massa, Jokowi menekankan bahwa konstitusi menjamin hak berserikat dan berkumpul. Namun organisasi yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI tidak akan dibiarkan. Jokowi juga mengatakan bahwa “Misalnya PKI nongol, gebuk saja. TAP MPR jelas soal larangan itu,” Bahwa langkah menggebuk mereka yang melawan konstitusi merupakan bagian dari penegakan hukum. Kalimat “gebuk” tersebut mengingatkan kita akan kata-kata yang digunakan oleh Soeharto di akhir masa jabatannya.

Apa karakter dan penjelasan kelas dari berbagai bentuk respon dan perlawanan tersebut? Lenin pernah menjelaskan kenapa pada Februari 1917 walaupun kekuasaan de facto berada di tangan Soviet Buruh dan Prajurit namun Pemerintahan Sementara, yang notabene adalah kekuasaan kelas borjuis, masih dapat bertahan. Hal ini karena muncul lapisan pemilik kecil, borjuis kecil, orang-orang yang berdiri ditengah-tengah antara kapitalis dan buruh upahan. Ciri khas politik dari mereka adalah: “sikap kepercayaan tak beralasan terhadap para pemilik modal.”

Sedangkan dalam situasi sekarang kita mendapati kepercayaan tidak beralasan terhadap Jokowi, Ahok ataupun penegakan hukum. Termasuk kepercayaan terhadap demokrasi (borjuis) yang bisa ada untuk semua kelas, kelompok serta kepentingannya.[1]

Jokowi dianggap anti demokrasi, tidak mampu melawan rasisme  ataupun serangan-serangan dari kelompok reaksioner, militer, dan sebagainya namun pada saat yang bersamaan diharapkan untuk mempertahankan demokrasi lewat penegakan hukum terhadap kelompok reaksioner.

Beberapa kelompok percaya bahwa HTI memiliki hak hidup dalam demokrasi ini. Jikalau ingin dibubarkan maka harus melalui mekanisme hukum. Hal yang sama seharusnya juga berlaku untuk kelompok reaksioner yang lain seperti FPI ataupun Pemuda Pancasila, FKPPI, dan sebagainya. Mereka menuntut kebebasan dan toleransi bagi kelompok-kelompok reaksioner tersebut untuk menyerang ruang-ruang demokrasi, menyerang diskusi, pameran foto, dan sebagainya. Termasuk kebebasan bagi kelompok-kelompok reaksioner tersebut untuk menyebarluaskan rasisme. Tapi pada saat bersamaan menyatakan anti rasisme. Bagaimana bisa seseorang menyatakan anti rasisme kalau mereka ingin memberi ruang bagi kaum rasis?

Toh menurut mereka kalau ada penyerangan terhadap ruang demokrasi maka itu adalah tugas aparat keamanan untuk menegakan hukum. Padahal itu adalah aparat keamanan yang sama, hukum yang sama serta rezim yang sama yang menurut mereka tidak demokratis. Entah karena mau membubarkan HTI, menggunakan pasal penistaan agama terhadap Ahok ataupun membiarkan penyerangan ruang demokrasi oleh kelompok reaksioner.

Memajukan tuntutan-tuntutan serta isu-isu seperti “NKRI harga Mati”, “Save NKRI”, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan sebagainya mengandung bahaya bagi kelas buruh dan rakyat tertindas itu sendiri.

Selama 32 tahun kekuasaan Rejim Militer Soeharto istilah-istilah tersebut dihancurkan dari perspektif perjuangan kelas buruh dan rakyat, perjuangan melawan imperialisme, kolonialisme dan kontra revolusioner pendukungnya di Indonesia. Istilah tersebut kemudian digunakan untuk memperkuat ideologi tunggal yang menopang kekuasaan Rezim Militer Soeharto. Istilah tersebut hingga kini justru untuk memecah belah kelas buruh dan rakyat serta mempertahankan kekuasaan kelas borjuis.

Istilah-istilah tersebut juga digunakan untuk mengatakan bahwa adalah demi “Indonesia”, adalah baik demi bangsa jika orang-orang yang (dituduh) komunis (dan pendukung Soekarno) dibantai dan diperkosa. Adalah demi keutuhan NKRI maka rakyat Aceh, Papua dan Timor Leste merasakan pembunuhan massal. Adalah demi save NKRI maka rakyat di Tanjung Priok, 27 Juli, Semanggi, Kerusuhan Mei, dsb, dsb harus dibungkam. Adalah demi bangsa dan negara maka Marsinah, Udin, Munir, Theys Eluay dan jutaan orang lainnya pantas untuk dihabisi.

Hingga hari ini istilah-istilah tersebut juga masih digunakan untuk merepresi kelas buruh dan rakyat. Rakyat Papua dibunuhi dan ribuan aktivisnya ditangkap atas nama NKRI. Seminar, diskusi, pameran foto, aksi, dan sebagainya diserang oleh kelompok reaksioner atas nama Pancasila dan anti komunis. Bahkan seperti yang dikatakan oleh Jokowi, semua yang melanggar Konstitusi, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika akan digebuk.

Sementara dibalik itu semua, Rejim Militer Soeharto hingga sekarang terus membiarkan eksploitasi oleh kekuatan Imperialis sementara memperkaya kelas borjuis.

Kelompok-kelompok reaksioner dalam upayanya untuk mempertahankan diri kemudian menggunakan istilah-istilah gerakan pro demokrasi bahkan hak asasi manusia. FPI misalnya menyerukan untuk melawan rasisme dan fasisme. Padahal FPI sendiri merupakan organ fasis berbasiskan lumpen proletar dan borjuis kecil yang dilahirkan, dibina serta dipersenjatai oleh kelas borjuis, polisi dan militer. Mereka digunakan dalam waktu-waktu tertentu agar Rejim tidak terkena tuduhan anti hak asasi manusia.

Sementara HTI sejak lama menggembar-gemborkan dirinya sebagai anti kapitalisme. Ada juga yang mempercayainya dan pada akhirnya turut menyemai ilusi kepada organ fundamentalis, reaksioner, dan anti-demokrasi ini. Lagi-lagi disini kita melihat akibat jika kita menghilangkan analisis kelas dan perjuangan kelas.

Tidak terhitung begitu banyak elit politik borjuis serta berbagai macam kelompok menyatakan dirinya sebagai anti kapitalis. Harry Tanoe, Amin Rais bahkan Hitler pun mengaku anti-kapitalisme. Termasuk dalam hal ini HTI. Tapi kalau membaca dokumennya HTI atau HT pada umumnya apa yang hendak mereka terapkan lebih brutal dan reaksioner.[2]

Pertama, mereka tidak menghapuskan modal, pengusaha, dan kekuasaan modal alias kapital, kapitalis, dan kapitalisme. Kedua, mereka akan menerapkan upah yang tidak layak. Dokumen HTI menyatakan “…Beban kebutuhan hidup, biaya kesehatan dan tanggungan lain buruh tidak menjadi faktor penentu upah.Kedua, bahkan tidak ada upah minimum. “…negara tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional).” Ketiga, melarang mogok kerja. “Mengenai mogok kerja, pada dasarnya hak ini tidak ada dalam Islam. Karena kontrak kerja buruh ini merupakan akad ijarah, dan akad ijarah ini merupakan akad yang mengikat, bukan akad suka rela yang bisa dibatalkan sepihak dengan seenaknya.Keempat, tidak boleh ada serikat pekerja selain serikat pekerja resmi negara Islam. “Apakah dalam Islam mengenal Hak Berserikat dan Serikat Pekerja? Mengenai hak berserikat bagi buruh, maka hak ini tidak dinafikan oleh Islam. Buruh boleh berkumpul, baik dengan sesama buruh, maupun buruh dengan para majikan. Hanya saja, diperbolehkannya hak berserikat ini tidak berarti perlu membentuk serikat pekerja. Karena ini merupakan dua hal yang berbeda. Berkumpul adalah hak yang dijamin oleh syariah. Namun membentuk serikat pekerja yang dimaksudkan untuk mengurusi kesejahteraan buruh. Maka ini merupakan aktivitas ri’ayatu as-syu’un yang hanya boleh dilakukan oleh negara. Karena itu, hak membentuk serikat pekerja yang melakukan ri’ayatu as-syu’un tidak diberikan kepada yang lain, selain kepada negara.

Apakah demokrasi itu? Apakah penegakan hukum itu? Bisakah ada demokrasi untuk penindas dan yang ditindas? Ada kebebasan dan keadilan untuk keduanya? Ataukah untuk si rasis dan anti rasis? Kenapa tidak bisa saling menghargai serta bersikap toleran kepada semuanya? Kenapa tidak bisa hidup berdampingan si penindas dan yang tertindas, si rasis dan yang anti rasis?

Marxisme mengajarkan kita tentang kelas-kelas dan perjuangan kelas. Bahwa masyarakat sudah terbagi menjadi kelas-kelas yang saling bertentangan. Kelas-kelas yang ditentukan berdasarkan atas posisinya dalam corak produksi. Siapa yang menguasai alat produksi maka dia akan menguasai bagaimana hasil produksi tersebut digunakan serta didistribusikan. Sementara dalam kapitalisme mereka yang tidak menguasai alat produksi akan dipaksa untuk menjual tenaga kerjanya hingga mati tanpa pernah menikmati hasil kerjanya. Kelas borjuis dan kelas proletar terlibat dalam pertarungan yang terus berlangsung dan tidak ada jalan ketiga. Tidak ada jalan tengah diantara pertarungan tersebut. Jika kita tidak berpihak dan mendukung kemajuan perjuangan kelas proletar maka kita akan justru memperkuat penindasan kelas borjuis.

Oleh karena itu dalam melihat demokrasi, Lenin dalam karyanya Revolusi Proletariat dan Kautsky si Pengkhianat mengatakan “seorang Marxis tidak akan pernah lupa bertanya: “(demokrasi-pen) untuk kelas mana?” Memang demokrasi borjuis lebih baik jika dibandingkan dengan teokrasi di zaman feodalisme. Betul juga bahwa demokrasi sekarang merupakan langkah maju dibandingkan masa Rejim Militer Soeharto. Namun demokrasi borjuis “…akan selalu terbatas, tidak lengkap, dan munafik, sebuah surga untuk yang kaya dan jebakan dan tipuan bagi yang tertindas, bagi yang miskin. Kebenaran inilah yang membentuk bagian paling penting dari ajaran Marx…”

Benar bahwa Lenin menyerukan kaum sosialis harus bereaksi terhadap segala bentuk penindasan namun bukan asal reaksi melainkan reaksi revolusioner yang menyimpulkan mengenai watak aparat dan negara penindas serta menyerukan pentingnya pembebasan proletariat untuk menggulingkan kapitalisme dan mendirikan sosialisme.

Jadi Lenin sama sekali tidak menyuruh kaum sosialis untuk menjelaskan fungsi-fungsi dari aparat negara kelas borjuis atau meminta mereka menjalankan fungsi-fungsi mereka. Termasuk juga Lenin tidak menyuruh kaum sosialis untuk membela kaum reaksioner yang ditindas kelas penindas yang berkuasa. Partai Bolshevik sama sekali tidak protes saat Rasputin sang dukun Rusia dibunuh. KPD tidak mengomel para pentolan Strumabteillung (SA) atau Pasukan Badai dieksekusi secara tidak demokratis dalam malam pisau panjang.

Mereka yang berkilah bahwa HTI berbeda karena HTI tidak pernah melakukan kekerasan fisik harusnya memperhatikan bahwasanya sentimen-sentimen anti-kafir, retorika rasis, seksis, dan reaksioner HTI itu saja sudah termasuk kekerasan verbal yang terlalu berbahaya untuk ditunggu perwujudannya baru kemudian dipadamkan.

Perjuangan kita bukanlah perjuangan demokrasi bagi semua kelas dan kelompok. Perjuangan kita bukanlah untuk toleransi antara semua kelas dan kelompok. Antara kelas borjuis dan kelas proletar, kelompok rasis dengan anti rasis, antara homofobia dan pro-LGBT, anti demokrasi dengan pro demokrasi. Perjuangan kita juga bukanlah untuk memperkuat fungsi negara kelas borjuis, atas nama aturan hukum ataupun persatuan dan kesatuan.

Perjuangan kita adalah untuk membangun kekuatan politik revolusioner dari kelas buruh dan rakyat tertindas. Kekuatan politik revolusioner yang bersama kelas buruh dan rakyat akan memperjuangkan penuntasan revolusi demokratik dan menyingkirkan kelas borjuis serta kelompok reaksioner yang menghalanginya. Untuk kemudian menghancurkan negara kelas borjuis dan membangun negara kelas proletar.

ditulis oleh Leon Kastayudha dan Dipo Negoro, Kader KPO PRP

tulisan yang sama dimuat di suplemen Arah Juang edisi 22, III-IV Mei 2017

[1] Lihat misalnya http://aruspelangi.org/siaran-pers/pernyataan-sikap-gema-demokrasi-atas-bentuk-pelecehan-demokrasi-ketidakadilan/ dan https://fprsatumei.wordpress.com/2017/05/12/pernyataan-sikap-front-perjuangan-rakyat-fpr-atas-vonis-bersalah-terhadap-ahok/

[2] Lihat: http://hizbut-tahrir.or.id/2012/11/13/bagaimana-islam-mengatasi-persoalan-buruh/
dan http://hizbut-tahrir.or.id/2012/05/03/cara-islam-mengatasi-masalah-perburuhan/

Loading

Comment here