Sabtu (15/7), Ikatan Pelajar Mahasiswa Papua (IPMA-Papua) berkerjasama dengan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menyelenggarakan peringatan satu tahun pengepungan asrama mahasiswa Papua. Peringatan tersebut mengambil tema “Peringatan 15 Juli 2016: 1 Tahun Diskriminasi Mahasiswa Papua dalam Keistimewaan Yogyakarta”.
Acara peringatan tersebut diselenggarakan di Asrama Mahasiswa Kamasan yang juga merupakan asrama yang dikepung oleh aparat kepolisian bekerjasama dengan kelompok reaksioner. Satu tahun yang lalu sebuah front antara gerakan Indonesia dan Papua untuk menuntut hak menentukan nasib sendiri bagi Papua Barat terbentuk. Front tersebut bernama Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) yang terdiri dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), PEMBEBASAN, KPO PRP, LBH Yogyakarta, Lingkar Studi Sosialis (LSS), Komite Perjuangan Perempuan (KPP), Libertas, PMD, Kaukus Perda Gepeng, PLUSH dan organisasi serta individu lainnya.
Tanggal 14 Juli 2016 merupakan momentum 47 tahun pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969. Sementara tanggal 15 Juli 2016 akan diselenggarakan pertemuan Melanesia Spearhead Group (MSG) yang akan membahas status United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menjadi anggota penuh. Merespon momentum tersebut maka PRPPB menyelenggarakan rangkaian agenda yaitu 13-14 Juli 2016, Konferensi Pers, Mimbar Bebas dan Panggung Budaya, 15 Juli Aksi Massa serta 16 Juli dengan agenda bakar batu, ibadah, makan siang dan pengumuman hasil keanggotan MSG.
Sejak hari pertama, aparat kepolisian sudah bertindak represif dengan sengaja melakukan upacara di jalan raya depan asrama mahasiswa Papua. Ketika aksi dilancarkan, pemukulan serta penganiayaan dilakukan untuk memukul mundur massa aksi ke dalam asrama. Hari kedua represi semakin kejam, aparat kepolisian bekerjasama dengan kelompok reaksioner seperti Paksi katon, Laskar Jogja, Pemuda Pancasila dan FKPPI memblokade asrama, melakukan penangkapan serta razia rasis yang diarahkan khusus terhadap orang-orang Papua. Rasisme juga digunakan untuk kemudian membenarkan semua penganiayaan tersebut. Polisi juga melakukan penganiayaan serta mengkriminalisasi Obby Kogoya, proses persidangannya masih berlangsung hingga kini.
Acara peringatan diselenggarakan sejak pagi hari pukul 10:00 dengan pameran foto dan poster pelanggaran HAM di Yogyakarta. Sekitar pukul 17:30 acara panggung budaya dibuka dengan menyanyikan lagu “Tanah Papua”. Yang dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua Panitia sekaligus Ketua Asrama, Aliansi Mahasiswa Papua, IPMA-Papua, LBH Yogyakarta serta perwakilan warga Miliran. Orasi juga diberikan oleh perwakilan dari Komite Bersama Reformasi (KBR), Partai Rakyat Demokratik (PRD), Serikat Pembebasan Perempuan (Siempre), KPO PRP serta individu lainnya.
Orasi dari AMP menyerukan untuk melawan lupa terhadap diskriminasi yang terjadi. Sementara IPMA-Papua menyatakan bahwa orang Papua harus menghilangkan perbedaan. LBH Yogyakarta menekankan solidaritas yang harus dibangun untuk kasus Obby. Serta komitmen LBH untuk bersolidaritas terhadap perjuangan Papua. Sementara itu Dodok perwakilan warga Miliran menyatakan bahwa asrama mahasiswa Papua sudah ada selama kurang lebih 40 tahun sejak tahun 1968. Selama berpuluh-puluh tahun tersebut belum pernah masyarakat sekitar terganggu. Berbeda dengan Hotel Fave disamping asrama mahasiswa Papua yang baru selama beberapa tahun sudah membuat resah warga Miliran karena kekeringan yang diakibatkan hotel tersebut. Selain itu apa yang sebenarnya membuat resah warga Miliran satu tahun yang lalu bukanlah karena aktivitas penghuni asrama Papua. Namun justru karena kehadiran polisi yang berlebihan dengan bersenjata lengkap serta mengepung asrama. Dodok menyatakan bahwa warga Yogyakarta juga mengalami diskriminasi, “katanya kota pelajar namun banyak sekolah digusur untuk pembangunan hotel”.
Sementara itu KPO PRP dalam orasinya menyampaikan bahwa kemunculan PRPPB satu tahun lalu adalah sebuah kemajuan. Karena organisasi serta individu dari Indonesia dan Papua bersatu untuk menuntut hak menentukan nasib sendiri bagi Papua Barat. Rasisme yang merupakan diskriminasi terhadap sekelompok orang karena warna kulit, fisik ataupun budayanya muncul terkait dengan kapitalisme. Rasisme merupakan cara untuk membenarkan eksploitasi serta penindasan untuk akumulasi modal. Demikian tuntutan-tuntutan demokratik yang harus dibawa bukan sekedar kebebasan pers, pengadilan HAM, penarikan militer dari Papua namun juga harus mendukung hak menentukan nasib sendiri. Dengan dukungan tersebut maka iman demokrasi dari kelas buruh dan rakyat Indonesia akan semakin tebal. KPO PRP juga menekankan pentingnya menggalang solidaritas untuk Obby. Serta kebutuhan untuk membangun solidaritas antara kelas buruh dan rakyat Indonesia serta Papua untuk menuntut hak menentukan nasib sendiri. Menghancurkan kapitalisme dan membangun tatanan masyarakat baru yang demokratis, sejahtera serta damai.
Selain orasi juga ditampilkan mop Papua yang membuat penonton tertawa terbahak-bahak. Berbagai group band, kelompok vokal, tari dan drama seperti Mr Q, Rony, Sapari serta dari mahasiswa daerah Asmat, Paniai, Dogiai, Baliem, dsb tampil memeriahkan acara peringatan. Banyak lagu serta drama mereka adalah kreasi mereka sendiri yang menggambarkan kehidupan, penderitaan serta penindasan yang dialami oleh rakyat Papua.
Selain itu juga diputar dua film, yang pertama merupakan karya LBH Yogyakarta yang menggambarkan pengepungan asrama serta penganiayaan yang dilakukan oleh polisi bersama kelompok reaksioner terhadap Obby serta proses persidangan yang dihadapi oleh Obby. Film kedua adalah “Kitorang Basudara” yang menggambarkan sulitnya orang Papua mencari kost di Yogyakarta karena rasisme.
Acara peringatan tersebut ditutup dengan menyanyikan lagu “Tanah Papua” serta orasi dari LBH Yogyakarta. Perwakilan LBH menyerukan agar setiap tanggal 15 Juli dijadikan hari untuk melawan diskriminasi. (imk)
Mat merayakan, Tuhan menyertai selalu.