ditulis oleh Louise O’Shea
Label “politik identitas” digunakan untuk berbagai posisi dan praktik, yang menjadi persamaan utama adalah semuanya menggunakan pendekatan seksional (bersekat) untuk menantang penindasan dan kesemuanya mengutamakan pengalaman subyektif.
Politik identitas bisa sangat berteori atau sesederhana merefleksikan akal sehat yang berdasarkan atas kebenaran yang mudah diamati: bahwa dunia ini terbagi antara mereka yang tertindas dan mereka yang tidak, dan bahwa kepentingan kelompok datang dari banyak sekat-sekat yang terbagi. Sebagai contoh, kenyataan bahwa perempuan mengalami penindasan membuat laki-laki paling tidak secara watak tidak merasa berkepentingan pada isu pembebasan perempuan atau kemungkinan terburuk mereka justru terlibat penindasan tersebut. Dan ini juga berlaku untuk bentuk penindasan lainnya.
Bentuk ekspresi politik identitas berubah sesuai jamannya. Pada 1960-an manifestasi utamanya berupa gerakan separatisme, terutama bagi para perempuan dan, selanjutnya, perempuan lesbian. Gerakan Pan-African Marcus Garvey yang mendorong orang kulit hitam Amerika Serikat kembali ke Afrika demi terbebas dari rasisme, merupakan contoh awal dari pandangan politik yang sama.
Saat ini, tidak banyak yang mendukung gerakan separatisme. Apa yang jauh berkembang adalah politik identitas, dimana pengalaman (sering ditekankan dengan kata sifat yang berlebihan “(pengalaman-ed) hidup”) dianggap suatu keunggulan, memberikan validitas yang tak bisa dipertanyakan pada subyek dan pendekatan analitis serta strategisnya terhadap penindasan.
Ada dua contoh terbaru yang dapat menunjukan sudut pandang ini.
Contoh pertama adalah pernyataan yang dirilis kelompok advokasi-pengungsi yang dikenal dengan RISE – Refugees, Survivors and Ex-Detainees menjelang aksi Palm Sunday, aksi ini merupakan aksi demonstrasi pro-pengungsi terbesar dalam setahun. Sebagai bagian dari permintaan RISE akan representasi yang lebih besar, kelompok tersebut berpendapat:
“RISE adalah satu-satunya organisasi di Australia yang sepenuhnya dikendalikan oleh pengungsi, pencari suaka dan mantan tahanan rumah detensi imigrasi. Kerja yang kami lakukan didasarkan pada kepercayaan akan kekuatan dan kebutuhan untuk bisa menentukan nasib kami sendiri. Agar suara orang-orang dengan pengalaman hidup seperti kami dapat didengar jelas, dapat mengarahkan pembicaraan pada hal yang berkaitan dengan pengungsi … gerakan seperti RISE seharusnya ditempatkan paling depan dalam ruang advokasi pengungsi.”
Sebuah artikel yang mendukung pernyataan ini, diterbitkan dalam Community Four, menjelaskannya lebih lanjut:
“Seiring waktu komunitas semacam ini telah mengajarkan pada kita, bahwa perubahan berkelanjutan dan efektif bagi mereka yang tertindas hanya akan datang ketika mereka dapat mengendalikan gerakan mereka sendiri. Ini karena mereka sendiri lah yang merasakan realitas hidup dibawah penindasan dan mereka juga yang akan hidup dengan apapun perubahan yang berhasil dicapai (tidak seperti kita yang di akhir hari dapat beralih mematikan lampu dan pulang ke rumah sebagai penduduk yang bebas merdeka). Keberagaman suara mereka ini yang harus kita dengar sebelum menyusun langkah selanjutnya.”
Contoh lainnya adalah respon kolumnis feminis Clementine Ford terhadap sebuah video yang banyak mendapat pujian, dibuat para siswa SMA laki-laki untuk mendukung Hari Perempuan Internasional:
“Maafkan saya karena tidak terlalu peduli dengan kesadaran tiba-tiba pada anak-anak lelaki yang secara kategoris tidak dipaksa merasakan reaksi balasan seperti yang dirasakan teman-teman perempuannya ketika sama-sama bicara mengenai pengalaman nyata mereka.”
Selanjutnya diikuti instruksi bagi laki-laki yang ingin mendukung perempuan secara tulus:
“Dengarkan ketika kami menceritakan pengalaman seputar keperempuanan kami… baca buku yang ditulis oleh perempuan, saksikan film tentang protagonis perempuan (dan yang memiliki kedalaman nyata dalam ceritanya), dengarkan podcast yang dibuat oleh perempuan, belilah musik yang ditulis dan direkam oleh perempuan. Tunjukkan kepedulian pada cerita-cerita kami dan peduli bahwa kami lah yang menceritakannya. Wanita berhak menjadi saksi kehidupannya sendiri – kami tidak membutuhkan sekutu laki-laki yang tepat untuk menilai kami benar atau tidak.”
Tema umum di sini adalah, pertama, bahwa pengalaman penindasan memberi otoritas tak terbantahkan bagi seseorang untuk bicara, menganalisa dan mengajukan strategi untuk melawan atau menghapus penindasan. Kedua, mereka yang tidak merasakan pengalaman serupa hanya boleh memainkan peran pasif mendukung mereka yang mengalami penindasan, atau akan dianggap menambah masalah.
Seperti variasi dari politik identitas lainnya, kesahihan suatu argumen dihubungkan dengan identitas orang yang membuatnya. Apa yang dikatakan menjadi pertimbangan kedua dibanding siapa yang mengatakannya.
Batasan dari Pengalaman
Persoalan dari pendekatan tersebut adalah, pengalaman merupakan dasar yang tidak memadai untuk membangun suatu analisa tentang penindasan atau untuk merancang strategi politik untuk mengakhiri penindasan.
Sebagian karena pengalaman terhadap penindasan tidak mungkin seragam, dan yang ditindas pun tidak sama. Kenyataannya, jumlah pengalaman dan individu yang mengalami penindasan bisa jadi sama banyaknya.
Seksisme yang dialami seseorang seperti Julia Gillard (mantan Perdana Menteri Australia-ed) atau Gina Rinehart (pemilik perusahaan tambang Hancock Prospecting-ed), contohnya, akan sangat berbeda dibanding dengan yang dialami perempuan pekerja migran dengan upah kerja minimum atau dengan seorang ibu yang hidupnya bergantung pada uang pensiunan. Demikian pula pengalaman seorang pengungsi yang bertahun-tahun mendekam dalam tahanan dengan yang berhasil menghindari pengalaman tersebut tentu sangat berbeda, meskipun sama sahihnya, sama-sama contoh pengalaman sebagai pengungsi.
Strategi politik yang dibuat berdasarkan pengalaman subyektif akan cenderung semaunya mengangkat pengalaman tertentu saja di atas pengalaman yang lainnya, melupakan realitas penindasan yang kompleks menjadi tidak lebih dari stereotip atau malah menjadi kewalahan hingga titik koherensi dari kelompok tertindas itu sendiri dipertanyakan.
Upaya menentukan mana pengalaman yang “otentik” atau mencari pengalaman mana yang dapat mewakili dengan layak, akan sangat bermasalah. Alih-alih menangkap beberapa realitas penindasan, lebih sering hasilnya merupakan refleksi prasangka yang lebih umum – atau agenda politik – dari mereka yang memegang kekuasaan.
Masalah kedua dari pendekatan ini, berkaitan dengan yang pertama, adalah bahwa cara setiap individu merespon penindasan dapat sangat bervariasi, bahkan ketika pengalamannya serupa.
Pengalaman terhadap penindasan dapat, misalnya, menyebabkan penerimaan/ kepatuhan, keseluruhan atau sebagian, dari kelompok tertentu yang subordinat dalam masyarakat, entah disebabkan penindasan yang telah diinternalisasi atau karena mereka merasa tidak memiliki pilihan selain menyesuaikan diri dengan status quo yang tampaknya tak bisa digoyahkan.
Ini sepenuhnya bisa dimengerti, banyak dari pengungsi yang menanggapi penindasan dengan cara sangat bersemangat merangkul negara, budaya dan institusi yang mereka adopsi untuk menunjukkan rasa terima kasih atau karena merasa jika melakukan hal yang sebaliknya mungkin akan menimbulkan permusuhan. Hal ini bisa terjadi meskipun negara dan institusi yang sama telah memperlakukan mereka sewenang-wenang ketika berusaha mendapatkan suaka.
Sama juga halnya dengan perempuan yang memaksakan norma-norma seksis pada perempuan lain, meskipun mereka sendiri merasakan dampak buruk seksisme. Terutama pada kaum ibu, contohnya, mengajarkan perempuan yang lebih muda untuk tampil dan berperilaku “pantas” – yaitu biasanya seksis –.
Namun pengalaman akan penindasan juga bisa berdampak sebaliknya. Dalam situasi yang tepat, pengalaman tersebut dapat mengubah sikap politik seseorang dan mendorong mereka untuk memberontak. Anda hanya perlu mengingat tindakan berani yang dilakukan gerakan pembebasan perempuan pada akhir 1960an atau demonstrasi dan kerusuhan di rumah detensi imigrasi lepas pantai. Rasa ketidakadilan yang lahir dari pengalaman dapat mengubah seseorang menjadi seorang aktivis dan pejuang melawan kekuasaan, tapi kekuasaan yang sama juga dapat memaksa mereka menjadi patuh.
Bagaimana si tertindas bersikap terhadap pengalaman akan penindasan sangat subyektif. Sikapnya bisa dipengaruhi unsur personal, aspek lain dari si individu misalnya posisi kelas sosialnya atau latar belakang politik dan iklim politik secara umum di tempat tersebut. Sikap ini tercermin di berbagai manifestasi politik perlawanan terhadap penindasan: ada kelompok perempuan yang konservatif dan yang radikal. Ada kelompok pengungsi yang berkampanye melawan pemerintah, dan kelompok lainnya yang menjilat pemerintah.
Akhirnya, sebab penindasan tidak bisa diuraikan dari pengalaman saja. Adalah kemustahilan memahami cara kerja seluruh sistem ekonomi dari satu lingkungan kerja saja, juga tidak mungkin untuk memahami banyaknya faktor struktural yang mendukung terjadinya penindasan perempuan dari realita seksis di kehidupan sehari-hari.
Ini tercermin dalam reaksi umum para pengungsi di kamp-kamp konsentrasi lepas pantai: sangat kebingungan mengapa mereka diperlakukan sangat menjijikkan. Tak pelak analisis yang dibuat berdasarkan pengalaman cenderung akan melemahkan sebab utama terjadinya penindasan, menjadi apa yang terlihat dipermukaan saja seperti: sikap atau perilaku buruk dari individu, orang kulit putih dan seterusnya. Atau terkadang hanya memunculkan aspek familiar dari otoritas-otoritas seperti: polisi, badan kesejahteraan atau media. Ini hanya menjadi wawasan parsial yang cenderung menyederhanakan dan mendistorsi bagaimana realita sosial yang kompleks berkontribusi terhadap ketidaksetaraan.
Untuk memahami realita sosial yang kompleks ini, penting untuk bergerak melampaui batasan pengalaman.
Jadi, berharap untuk mendapatkan pemahaman yang berarti tentang penindasan dengan hanya secara pasif mendengar pengalaman dari yang tertindas akan mengakibatkan kebingungan kronis dan kegagalan besar. Begitu pula dengan menjadikan kepercayaan bahwa hanya pengalaman yang akan memberikan individu wawasan eksklusif tentang apa yang dibutuhkan untuk menyembuhkan penindasan dan memahami penyebabnya sebagai sebuah prinsip.
Setiap anak laki-laki SMA yang mencoba menerima saran Clementine Ford tidak akan bisa menjadi sekutu efektif bagi perjuangan pembebasan perempuan. Lagipula, “suara otentik” mana yang harus anak laki-laki itu ikuti: Clementine Ford, Janet Albrechtsen (kolumnis-ed) atau Julie Bishop? Suatu gerakan pengungsi yang berusaha menjalankan strategi memastikan pengungsi sebagai kelompok “memimpin pembicaraan tentang segal hal yang berkaitan dengan pengungsi” (berkebalikan dengan hanya mematuhi keinginan satu kelompok advokasi seperti RISE) juga akan menemui kegagalan yang sama dalam mencapai tujuan.
Pengalaman akan Penindasan
Tidak ada maksud untuk menganggap pengalaman terhadap penindasan sebagai faktor yang tidak penting atau menganggap mereka yang tidak mengalami penindasan dapat dan bisa melihat masalah lebih jelas dibanding yang memiliki pengalaman akan penindasan. Alih-alih, tulisan ini bermaksud menyampaikan bahwa pengalaman saja tidak cukup untuk membuat analisa tentang penindasan atau membuat strategi politik untuk melawan penindasan. Analisa tersebut harus dibuat dari hasil debat dan argumen dari mereka yang tertindas, dan mereka yang sama-sama memiliki tujuan pembebasan [meskipun pengalamannya yang tidak sama-pen]. Pada akhirnya, analisa dan strategi harus diuji dalam praktik-praktik perjuangan, dan juga mengacu pada pengalaman sejarah.
Dalam prosesnya, tidak diragukan lagi pengalaman memainkan peran. Tentu saja mereka yang mengalami penindasan akan dapat memberi gambaran lebih baik bagaimana penindasan bermula, baik dengan cara halus maupun terang-terangan, dan mereka memahami efek buruk dari penindasan. Hal ini akan membuka pemahaman bagi yang lain dalam melihat realita sosial ketika penindasan terjadi, yang pada gilirannya akan membantu terbangunnya lingkungan politik yang lebih inklusif.
Apa yang umumnya dialami anggota kelompok tertindas, bahkan yang berasal dari situasi sosial yang sangat berbeda, juga menegaskan bahwa diskriminasi struktural adalah penyebab kelompok tertentu berada di posisi subordinat, bukan hanya karena ketidakberuntungan, kegagalan individu atau keadaan sosial mereka yang tidak menguntungkan. Pengalaman ini akan membantu melihat ciri khas setiap masalah dan membantu menyoroti apa saja yang dibutuhkan untuk segera mencapai pembebasan.
Lebih lanjut pengalaman akan penindasan memiliki potensi untuk mempolitisasi mereka yang tertindas. Pengalaman mereka akan memberi wawasan penting mengenai bagaimana pengerahan kekuatan dilakukan dan bagaimana ketidaksetaraan dipertahankan, mereka yang tidak mengalami perlakuan semacam itu akan lebih sulit mengamatinya. Wawasan ini akan memancing perlawanan – tanpa perlawanan tidak akan ada pembebasan.
Meskipun tidak selalu, penindasan dapat menimbulkan empati lebih besar pada kelompok lain yang mengalami perlakuan serupa, meski mereka tidak terpengaruh secara langsung.
Pengalaman terhadap penindasan akan melengkapi kemampuan seseorang mengenali bagaimana kontrol dan kekuasaan beroperasi, atau melihat konsekuensi sosial yang lazim ditimbulkannya. Ini akan berpotensi memunculkan solidaritas dan menjelaskan mengapa dibutuhkan teori terpadu tentang masyarakat yang dapat digunakan untuk menjelaskan sebab terjadinya berbagai bentuk penindasan, kepentingan yang mengikat adanya penindasan dan strategi yang diperlukan untuk melawan penindasan. Artinya, teori itu akan mendorong orang memahami ketidaksetaraan sosial secara lebih luas melampaui pengalaman yang mereka miliki saja.
Perlawanan
Tidak diragukan pengalaman adalah salah satu faktor penting dalam perjuangan melawan penindasan. Orang kulit putih tidak mungkin menjadi Martin Luther King Junior dan seseorang heteroseksual tidak mungkin menjadi Harvey Milk. Akan jauh lebih menarik bagi orang lain yang belum menjadi bagian dari perlawanan untuk melihat anggota dari kelompok tertindas menantang penindasan yang mereka alami. Pengalaman akan penindasan itu mengilhami mereka dengan otoritas moral yang lebih besar diantara orang-orang yang coba mereka pimpin, itulah sebabnya perjuangan melawan penindasan cenderung paling kuat ketika dipimpin oleh mereka yang mengalami penderitaan itu.
Untuk memenangi pembebasan, sangat penting adanya partisipasi aktif dari massa yang tertindas, dan bisa dibayangkan munculnya pemimpin dari lapis sosial yang sama.
Tapi ini bukan hanya karena mereka mengalami penindasan dan memiliki wawasan penting tentang penindasannya lantas mereka dapat memimpin perjuangan. Martin Luther King Junior tidak menjadi pemimpin perjuangan kaum tertindas yang hebat karena memiliki pengalaman khusus atau karena dia lebih otentik dibanding calon pemimpin lainnya, namun karena dia mampu membangunkan rakyat, membangkitkan semangat perjuangan dan harapan mereka. Kemampuan ini didapat dari visi sosialnya yang luas, analisanya dan pengaruh politik yang dimilikinya.
Begitu pula kesuksesan perjuangan gerakan perempuan tahun 1960-an berkaitan dengan kuatnya gerakan serikat buruh dan kuatnya iklim pemberontakan secara umum ketika itu, sehingga terbentuk pendekatan politik dari para aktivis sesuai dengan pengalaman yang dimilikinya.
Teori tentang penindasan dan perjuangan pembebasan menjadi sangat kuat ketika dibangun diatas teori tentang masyarakat yang dapat menjelaskan semua bentuk penindasan dan ketidaksetaraan, dapat mengidentifikasi penyebabnya dengan akurat dan memberikan strategi pembebasan. Kekuatan teori semacam itu hanya bisa diuji oleh sejarah dan diuji dalam perjuangan yang dilakukan.
Pengalaman saja merupakan titik awal yang tidak memadai untuk membangun teori semacam itu. Tidak cukup hanya peduli dengan apa yang anda alami, atau secara pasif menerima kepemimpinan dari mereka yang tidak memiliki kualifikasi lain selain berasal dari kelompok tertindas. Semua yang percaya pada pembebasan dan kesetaraan sosial wajib terlibat aktif, mempertanyakan dan menguji berbagai teori tentang masyarakat dan penindasan, serta belajar dari perjuangan yang telah menguji teori tersebut secara historis serta saat ini dan disini. Semua ini tidak bisa dicapai tanpa melampaui batasan politik identitas dan pengalaman yang sempit.
Naskah diambil dari website redlfag.org.au. Dimuat pada tanggal 6 Juli 2017. Dapat diakses melalui https://redflag.org.au/node/5900
Diterjemahkan oleh Anita, mahasiswi UGM
Comment here