Opini Pembaca

Korupsi, Hak Angket KPK, dan Kapitalisme

KorupsiSejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghembuskan pemburuan terhadap koruptor-koruptor dalam kasus skandal korupsi besar-besaran e-KTP, guncanganpun mulai terjadi ditubuh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasalnya tidak sedikit anggota DPR yang disangka-sangka terkait dengan kasus korupsi tersebut, termasuk Ketua DPR Setya Novanto. Bahkan kasus korupsi e-KTP tidak hanya mengguncang para politisi saja, para birokrat pemerintahan seperti Ganjar Pranowo dan pihak swasta pemenang tender untuk proyek e-KTP juga disebut-sebut mendapatkan cipratan keuntungan. Sampai saat ini, sudah ada empat tersangka yang sudah jelas terkait. Sudah dua nama pejabat Kemendagri yang terbukti bersalah di dalam pengadilan yaitu Irman dan Sugiharto, disusul dengan nama tersangka ketiga dari golongan pengusaha yaitu Andi Narogong, dan nama tersangka keempat yaitu Miryam S. Haryani anggota DPR dari Partai Hanura dengan sangkaan pemberian keterangan palsu dalam sidang.

Kasus mega korupsi e-KTP yang menghasilkan kerugian 2,3 Trilliun bagi Negara ini menjadi lebih memanas karena dibarengi juga dengan pengajuan hak angket KPK untuk membahas kewenangan institusi pemberantas korupsi tersebut. Gelombang pro-kontra terhadap hak angket KPK ini menjadi menarik untuk disorot karena DPR mengajukannya bersamaan dengan beredarnya nama-nama anggota DPR dalam kesaksian Miryam. Nama-nama yang disebutkan Miryam adalah nama-nama anggota DPR yang mengancamnya ketika akan memberikan keterangan kepada penyidik KPK soal kasus korupsi e-KTP. Beberapa nama yang disebut adalah Bambang Soesatyo dan Aziz Syamsudin dari Partai Golongan Karya (Golkar), Masinton Pasaribu dari PDIP, Sarifudin Sudding dari Partai Hanura, dan Desmond J Mahesa dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).[1] Setelah nama-nama tersebut disebutkan Novel Baswedan, salah satu penyidik senior KPK, menyusulah beberapa serangan diantaranya penyiraman air keras oleh oknum tak dikenal ke wajah Novel dan pengajuan hak angket KPK oleh beberapa anggota DPR RI. Kisah hak angket ini sendiri, di samping ada picuan dari pernyataan Miryam tentang ancaman dari beberapa anggota Komisi III DPR, ada juga faktor penolakan KPK terhadap permintaan Komisi III DPR RI untuk membuka rekaman Berita Acara Perkara (BAP) Miryiam dalam agenda rapat dengar pendapat dengan KPK.

Kemudian publik mulai disajikan dengan teka-teki dinamika yang terjadi dari banyak pernyataan yang berserakan tentang hak angket KPK. Tak bisa kita elakkan lagi suatu drama yang terjadi akibat watak-watak borjuis yang oportunis dan berusaha melindungi kepentingannya sendiri terjadi lagi di Indonesia. Hak angket KPK adalah salah satu bukti yang bisa dilihat sebagai manuver dari para politisi borjouis di DPR untuk melindungi dirinya dari jerat hukum korupsi. Dalih yang digunakan DPR untuk mengajukan hak angket KPK ada pada pasal 79 ayat 3 UU nomer 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) yang berbunyi sebagai berikut: Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Demikian dasar hukum yang digunakan untuk memuluskan hak angket KPK terus berjalan. Seribu satu alasan pun dihembuskan tentang dampak luas pada kehidupan masyarakat yang diklaim DPR untuk mengkritik KPK. Dari mulai hal teknis seperti surat sprindik yang bocor, kejelasan tentang kerjasama antara penyidik Polri dan KPK, sampai pada anggaran KPK yang kurang jelas, dan yang lebih politis lagi tentang KPK yang arogan harus memiliki sistem pengawasan yang jelas. Alasan-alasan tersebut diatas juga bisa kita lihat sebagai alasan klasik yang digunakan untuk melakukan intervensi politik kepada lembaga independen seperti KPK. Benar saja, setelah hak angket KPK disepakati dalam rapat paripurna DPR tanggal 28 Maret 2017 lalu dan kemudian disusul dengan pembentukan panitia khusus (pansus) hak angket KPK pada tanggal 30 Mei 2017 yang terdiri dari PDIP, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Sementara itu, hanya fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang telah resmi menolak dan tidak akan mengirimkan anggotanya.[2] Meskipun pasal 201 ayat 2 Undang-undang No 17 Tahun 2014 tentang Majelis Perwakilan Rakyat (MPR), DPR, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah DPD (DPD) atau UU MD3, menyatakan keanggotaan pansus terdiri dari semua unsur fraksi, namun pansus hak angket terus berjalan. Adapun empat agenda yang akan dibahas Pansus hak angket KPK yakni terkait kelembagaan KPK, pengelolaan sumber daya manusia, pengelolaan anggaran, dan terkait pelaksanaan kewenangan penegakan hukum.[3] Tentu saja tidak ketinggalan agenda untuk memanggil Miryam dan tetap menuntut KPK untuk membuka rekaman BAP Miryam.

Mari kita lihat hak angket apa saja yang sudah diajukan DPR. Pada periode 2004-2009, dari dua belas usulan hak angket yang diajukan, hanya empat usulan yang diterima sebagai hak angket DPR, sedangkan enam usulan ditolak, dan sisanya dua usulan kandas di tengah jalan atau tidak berlanjut. Usulan hak angket yang disetujui menjadi hak angket DPR pada periode tersebut, antara lain: (1) usul hak angket atas Penjualan Tanker Pertamina; (2) Penyelenggaraan Ibadah Haji; (3) Kenaikan Harga BBM (II); dan (4) Kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilu Legislatif 2009. Sementara itu, usul hak angket yang ditolak di antaranya adalah: (1) Angket Kenaikan Harga BBM (I); (2) Lelang Gula Impor Ilegal; (3) Kredit Macet Bank Mandiri; (4) Impor Beras; (5) Penunjukan ExxonMobil Ltd. sebagai Pimpinan Operator Lapangan Minyak Blok Cepu; (6) Transfer Pricing PT Adaro Indonesia. Sisanya, yakni Angket Penyelesaian KLBI/BLBI dan Pilkada Maluku Utara kandas alias prosesnya berhenti di tengah jalan.[4] Pada masa itu, hasil hak angket yang terlihat berpihak pada rakyat adalah tentang penurunan harga BBM yang berhasil diusahakan. Meskipun usul penurunan harga BBM oleh hak angket DPR tersebut, tidak lepas dari gelombang aksi massa menolak kenaikan harga BBM di tahun 2008 di sisi lain dan di sisi lain politik pencitraan oposisi kanan borjuis untuk melawan rezim penguasa. Kegagalan beberapa usul hak interpelasi, angket, ataupun menyatakan pendapat DPR pada periode 2004-2009 tersebut tidak lepas dari peran lobi yang dilakukan pemerintah kepada parpol-parpol di DPR. Pemerintah melakukan pertemuan tertutup, yang diwakili Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) atau beberapa orang menteri dengan pimpinan fraksi-fraksi dan komisi terkait untuk membicarakan tentang usul interpelasi atau angket yang sedang dibahas di parlemen.[5]

Sedangkan, sampai dengan akhir tahun 2011, ada dua kasus angket yang diajukan DPR Periode 2009-2014, yaitu tentang penyelamatan (bailout atau penalangan) Bank Century dan mafia perpajakan.[6] Adapun yang terbaru di tahun 2017 dimana DPR menyepakati hak angket untuk mengaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta meskipun menjadi terdakwa dalam kasus penistaan agama. Namun efektivitas hak angket selalu dipertanyakan. Selama ini hak angket hanya menjadi peperangan para partai partai borjuis untuk melindungi kepentingannya masing masing dan tidak sedikitpun mempunyai efek pada kelas buruh.

Dari rangkaian singkat tentang geger kasus mega korupsi e-KTP dan manuver yang dilakukan DPR lewat hak angket nya, ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi. Pertama, hak angket KPK yang digulirkan DPR tidak terlepas dari picuan kasus mega korupsi e-KTP yang menyebut-nyebut nama anggota-anggota DPR terlibat. Semua itu tidak bisa kita lepaskan dari kerangka kelas borjuis yang memiliki kepentingannya sendiri yaitu menjaga modal demi menumpuk keuntungan dari kelas buruh.

Kedua, dalam sistem kapitalisme dimana kelas borjuis berkuasa, hanya ada hukum borjuis, politik borjuis dan begitu pula dengan demokrasi borjuis. Hukum borjuis yang dimaksud adalah hukum yang fleksibel bagi penguasa dan runcing bagi rakyat kecil. Kita bisa lihat bagaimana alasan alasan untuk mengajukan hak angket KPK kurang begitu relevan dengan yang dinyatakan pada pasal 79 ayat 3 UU nomer 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) dimana hanya bisa digunakan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Berikut juga dengan pasal 201 ayat 2 Undang-undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3), menyatakan keanggotaan pansus terdiri dari semua unsur fraksi, namun pansus hak angket terus berjalan meskipun belum semua fraksi mengirim anggotanya bahkan ada yang sudah menolak mengirim anggotanya. Sementara itu politik borjuis adalah politik untuk menjaga kepentingan para partai partai borjuis untuk tetap berkuasa dan demokrasi borjuis adalah demokrasi untuk kepentingan kelas borjuis yang sama sekali tidak mengakomodir kepentingan kelas buruh.

Ketiga, sejarah implementasi hak angket telah membuktikan bahwa hak angket tidak berguna bagi kelas buruh dan hanya berguna untuk menjaga kepentingan kelas borjuis. Kita bisa menyaksikan pertarungan setiap partai partai borjuis dalam parlemen ketika membahas hak angket. Tidak terlepas juga dari anggaran yang dialokasikan untuk menjalankan hak angket. Untuk hak angket KPK saja, DPR membutuhkan sekitar 3,5 miliar rupiah untuk menyelesaikan hak angket itu sendiri. Belum lagi tidak ada untungnya bagi kelas buruh dimana korupsi tetap merajalela, penggusuran terus terjadi, pelanggaran HAM tidak pernah diselesaikan, tidak ada upah yang layak, politik rasial terus terjadi, diskriminasi terhadap perempuan, Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), kaum miskin kota dan rakyat tertindas lainnya terus terjadi. Maka harus kita tegaskan lagi bahwa hak angket hanya drama kelas borjuis dan tidak ada untungnya sama sekali bagi kelas buruh.

Korupsi dan Kapitalisme

Dalam sistem kapitalisme, fakta tentang korupsi yang terus menerus terjadi takkan bisa terelakkan lagi. Kapitalisme adalah sistem yang berfungsi menumpuk sebanyak mungkin kekayaan untuk kepentingan sang kapitalis dan segelintir golongannya saja. Bahkan kapitalisme itu sendiri berdiri di atas pencurian nilai lebih oleh kapitalis terhadap buruh. Oleh karena itu secara hakiki tidak ada kapitalisme tanpa korupsi. Kapitalisme tidak akan hidup jika membagikan seluruh kekayaan yang dihasilkan kelas buruh kepada kelas buruh. Justru kapitalisme akan hidup jika menghisap nilai lebih yang diambil dari kerja kelas buruh itu sendiri. Nilai lebih dapat diambil dari kelas buruh dengan cara menindas terus menerus dengan hari kerja yang lama, upah rendah, dan lain sebagainya untuk kemudian diambil oleh sang kapitalis. Semakin dalam penindasan terhadap kelas buruhnya, maka kesenjangan antara si kaya dan si miskin akan semakin mencolok. Si kaya, para kaum kapitalis hanya akan menancapkan kesuburan kapitalnya untuk dirinya sendiri.Namun kapitalisme tidak bisa tumbuh subur begitu saja tanpa kesetiaan dari kaum kapitalis dan para pengikutnya untuk menjaga modal. Kaum kapitalis tidak bisa bekerja dengan seorang diri saja, mereka membutuhkan pengikut setia. Untuk memelihara modal yang ingin mereka kuasai, kaum kapitalis membutuhkan pengikut pengikut setianya dari kalangan birokrat pemerintahan, politisi, sampai pada perusahaan perusahaan penguasa pasar. Mereka membutuhkan bantuan dari orang orang terdekatnya untuk dapat memenangkan kompetisi kepemilikan pribadi terhadap kapital/modal untuk dapat menjadi yang terkaya yang maha kuasa.

Menurut KBBI, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Benar saja, korupsi akan berguna sekali bagi kapitalisme untuk melipat gandakan keuntungannya. Kapitalisme sama dengan sistem yang korup. Sementara itu korupsi hanya akan menguntungkan kelas borjuis. Maka dari itu, korupsi terus menerus hanya akan dilakukan oleh kelas borjuis meskipun gaji para politisi di DPR, gaji para birokrat pemerintahan, dan gaji para pengusaha sudah tinggi. Karakter borjuislah yang terus menerus menimbulkan rasa lapar untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Tidaklah heran jika korupsi akan terus terjadi di masa kapitalisme. Hak angket KPK tidak akan menjadi solusi bagi penghilangan korupsi di Indonesia karena kita bisa melihat bahwa drama para partai partai borjuis terjadi untuk menyelenggarakan hak angket tersebut dan selama kapitalisme masih tumbuh subur, hak angket KPK sekalipun tidak akan berguna untuk menghilangkan akar dari korupsi. Atau bahkan untuk mendukung secara penuh institusi independen KPK yang hanya bisa sampai pada tahapan memenjarakan para koruptor namun tidak sanggup menghilangkan korupsi karena kapitalisme masih berjaya. Taktik mendukung KPK hanya sampai pada batas terciptanya reforma-reforma dalam kapitalisme tanpa suatu gerakan revolusioner untuk menggulingkan sistem yang menjijikan dan korup yaitu kapitalisme.

Buruh dan KorupsiBagaimana kelas Pekerja bersikap?

Pertama, kasus mega korupsi e-KTP yang terjadi dan drama hak angket KPK yang digulirkan DPR bisa digunakan kelas buruh jika untuk menelanjangi kebusukan para borjuis borjuis di hadapan massa luas lewat propaganda atau aksi massa. Pertentangan antar borjuis ini merupakan buah dari sistem kapitalisme yang terus menerus akan menggali kuburnya sendiri. Maka kelas buruh punya kepentingan untuk secara tegas bersikap untuk menjelaskan ke hadapan massa luas tentang kebusukan-kebusukan para borjuis borjuis ini. Hak angket tidak akan berguna bagi kelas buruh karena DPR hanya merupakan ajang permainan partai partai borjuis untuk melindungi kepentingannya masing masing. Dalam sejarahnya, hak angket di Indonesia tidak memberikan kepentingan kelas buruh. Segala penindasan masih dialami kelas buruh di Indonesia ini.

Kedua, kelas buruh perlu mempropagandakan bahwa korupsi tak terpisahkan dari kapitalisme. Ini diperlukan untuk membangun pemahaman kepada massa bahwasanya menghilangkan korupsi sampai ke akar-akarnya tidaklah sederhana dan tidak bisa dilakukan dalam batasan-batasan kapitalisme. Gerakan-gerakan refomis yang hanya ingin mereformasi dan memperbaiki kapitalisme dengan memberantas korupsi tidak akan berhasil. Kelas buruh perlu menjelaskan tentang sistem kapitalisme sebagai akar kemunculan korupsi dan membangun gerakan-gerakan yang revolusioner untuk menggulingkan sistem kepemilikan pribadi kapitalisme dan menggantikannya dengan sistem kepemilikan sosial yaitu sosialisme.

Ketiga, oleh karena itu perjuangan kelas buruh juga harus mengusung perjuangan melawan korupsi sebagai bagian dari perjuangan demokratis nasional yang dihubungkan dengan perjuangan sosialisme. Kelas buruh perlu melawan serangan-serangan kaum borjuasi dan kapitalis birokrat terhadap KPK temasuk hak angket yang akan melemahkan KPK. Semua itu adalah gerakan yang tepat ketika menolak hak angket dengan artian mereka akan menolak drama partai partai borjuis dalam DPR yang sedang ramai-ramai melindungi partainya dan bertindak membersihkan namanya masing masing dari jeratan kasus korupsi terutama korupsi e-KTP. Namun harus dipahami bahwa penguatan KPK sebagai institusi independen pemberantas korupsi hanya sampai pada memenjarakan para koruptor saja dan tindakan-tindakan pencegahan yang tidak mencabut akar dari korupsi itu sendiri: kapitalisme. KPK tidak akan mampu menghilangkan korupsi selama kapitalisme masih berjaya. Apa yang sanggup dihasilkan KPK hanyalah reforma-reforma kecil dari hasil pembukaan kasus korupsi dan pemenjaraan koruptor. Karena tidak semua tokoh-tokoh kelas borjuis bisa tersentuh KPK akibat kekuasaannya yang sangat luar biasa. Kesimpulannya kelas buruh harus menjunjung independensi kelasnya dalam mengusung perjuangan anti-korupsi. Dalam situasi kondisi tertentu bisa beraliansi dengan organisasi-organisasi anti-korupsi namun harus disadari bahwa beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anti korupsi juga menerima pendanaan dari lembaga donor internasional, beberapa bahkan merupakan lembaga terkait imperialis, seperti Ford Foundation, USAID, World Bank, dan sebagainya, yang pasti menitipkan agendanya tersendiri kepada lembaga-lembaga yang didonorinya. Oleh karena itu secara lebih pokok kelas buruh harus lebih berpijak pada persatuan perjuangan kelas buruh dan rakyat tertindas lainnya dalam perjuangan melawan korupsi dan menghubungkannya dengan perjuangan demokratis nasional serta perjuangan sosialis untuk menggulingkan kapitalisme: akar sebenarnya dari korupsi.

 

ditulis oleh Faranisa Alana, mahasiswi UGM.

 

[1] http://news.liputan6.com/read/2904295/sidang-e-ktp-6-anggota-dpr-disebut-menekan-miryam-haryani

[2]https://nasional.tempo.co/read/news/2017/05/30/078880037/pansus-hak-angket-terbentuk-kpk-penanganan-korupsi-terus

[3]http://nasional.kompas.com/read/2017/06/22/21390991/ini.empat.agenda.utama.pansus.hak.angket.kpk

[4]http://ejournal.lipi.go.id/index.php/jpp/article/viewFile/233/107

[5] Ibid

[6]Ibid

Loading

Comment here