Opini Pembaca

Hari Pelaut Sedunia

Indonesia CallingTanggal 25 Juni merupakan Hari Pelaut Sedunia atau Seafarer’s Day yang dirayakan atas inisiatif dari Internasional Maritime Organization (IMO). IMO sendiri merupakan badan khusus dari Organisasi PBB. Hal ini memungkinkan kerjasama dan pertukaran informasi tentang isu-isu teknis, yang terhubung dengan pelayaran komersial internasional. IMO didirikan pada tanggal 6 Maret 1948 di Jenewa, tetapi mulai berlaku pada tanggal 17 Maret 1958. Kurang lebih 171 negara ikut dalam organisasi itu termasuk tiga anggota asosiasi. IMO berkantor pusat di London, sekitar 300 orang membentuk stafnya.

Hari Pelaut Sedunia diresmikan pada tahun 2010. Keputusan itu diadopsi oleh negara-negara anggota IMO pada konferensi yang diadakan di Manila, Filipina. Pembentukan ini sangat penting, karena mengakui pentingnya dan kontribusi unik yang dibuat oleh pelaut untuk perdagangan internasional lewat laut, ekonomi dunia dan masyarakat sipil secara keseluruhan. Disadari atau tidak, 90% barang-barang dibawa oleh kapal yang di dalamnya terdapat pelaut. Oleh karena itu, pelaut melayani di laut tidak hanya untuk industri perkapalan atau untuk tujuan karir mereka sendiri tetapi untuk semua orang yang membutuhkannya.

Kendati demikian, nasib pelaut khususnya pelaut Indonesia justru sangat memperihatinkan.Sejak naiknya Jokowi sebagai Presiden RI pada 2014 silam, Jokowi menerapkan visi Poros Maritim Dunia dan Tol Laut serta Nawacita sebagai program turunannya. Namun kenyataan yang terjadi adalah visi dan program itu hanya untuk meloloskan ambisi borjuasi supaya bisa meraih banyak keuntungan, sedangkan SDM pelautnya dibiarkan sebagai budak dengan gaji ratusan ribu rupiah.

Tidak sedikit pelaut-pelaut yang sangat ditindas, selain upah yang dibawah UMR manapun, para pelaut juga tidak mendapat tempat tinggal dan makanan yang layak di atas kapal, termasuk kapal itu sendiri juga tidak layak berlayar sehingga rentan mengalami kerusakan, terlebih lagi kapal-kapal bercincu juga sering memaksakan muatan melebihi kapasitas kapal (overload), sehingga membahayakan stabilitas kapal. Sudah begitu, pelaut pun tidak mendapatkan jaminan keselamatan kerja serta alat-alat keselamatan kerja. Semboyan “Safety First” hanya seuntai tulisan tanpa makna.

Pelaut, sebagai pekerja yang berketerampilan, dituntut untuk memenuhi syarat-syarat laik laut. Untuk itu, sebelum dapat bekerja di atas kapal pelaut harus memiliki sertifikat-sertifikat kompetensi, seperti Basic Safety Training (BST), Advance Fire Fighting (AFF), MEFA, SAT, BOCT, SDSD, dan sebagainya tergantung dari jenis kapalnya. Selain itu, pelaut juga diwajibkan memiliki buku pelaut yang dikeluarkan oleh Syahbandar. Semua persyaratan tersebut memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit, ditambah dengan minimnya lembaga diklat yang sah untuk dapat mencetak sertifikat kompetensi sehingga para pelaut harus menempuh perjalanan jauh menuju tempat diklat, terkadang juga ditambah biaya menginap dan makan di sekitar tempat diklat tersebut hingga berminggu-minggu lamanya. Sedangkan untuk membuat buku pelaut, dikabarkan hanya memakan waktu satu hari dan biaya 100 ribu rupiah, tapi kenyataannya masih banyak Syahbandar yang mengupayakan pungli. Dengan modus memperlambat proses dengan alasan yang beragam, mulai dari server error, mati listrik, kesalahan teknis, dan sebagainya dengan harapan pembuat buku pelaut mengeluarkan biaya lebih yang bisa mencapai jutaan rupiah untuk mempercepat proses pembuatan. Belum lagi semua persyaratan tersebut harus terus direvalidasi dan diperbarui. Tidak sedikit pelaut yang kemudian berhenti jadi pelaut karena banyaknya biaya yang harus dikeluarkan sebelum bekerja di kapal.

Setelah semua persyaratan terpenuhi, pelaut tidak lantas langsung bisa bekerja di atas kapal dengan mudah. Kita masih harus mencari-cari lowongan kerja di atas kapal. Lalu rata-rata informasi lowongan tersebut dibawa oleh broker, di mana kita harus membayarnya jutaan rupiah jika ingin cepat bisa bekerja di atas kapal. Tidak jarang pula pelaut tertipu oleh broker palsu, kita sudah membayarnya tapi kapalnya berbeda dengan yang ditawarkan, bahkan juga malah kapalnya tidak lagi beroperasi. Ini ditambah juga dengan sistem magang yang diterapkan untuk pelaut-pelaut yang baru saja lulus dan mendapatkan sertifikasi.

Apabila kita menggali sejarah perjuangan pelaut, ternyata pelaut memiliki perjuangan yang sama dengan perjuangan buruh-buruh yang ada di darat. Misalnya pada 27 Januari 1933, para pelaut Indonesia dan Belanda sedang menggelar pemogokan umum. Mereka menolak keputusan penurunan upah yang diputuskan oleh De Jonge (1931-1936), Gubernur Jenderal Hindia-Belanda saat itu. Sejarah ini sekaligus juga menunjukkan bahwa pelaut tidak terjebak pada rasisme, terlihat dari persatuan mereka dengan pelaut Belanda yang  ternyata juga sama-sama ditindas sebagai pekerja.

Selain itu, ada pula perjuangan yang lebih maju dari sekadar tuntutan-tuntutan normatif, misalnya dalam film dokumenter “Indonesia Calling 1946”, yang menunjukkan sejarah perjuangan pelaut memboikot kapal-kapal kolonial Belanda di Australia demi mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia melawan rezim pemerintah kolonial Belanda, dimana Belanda melalui pelabuhan-pelabuhan di Australia hendak mengirimkan pasukan dan senjata untuk menjajah kembali Indonesia. Kemudian setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 maka rakyat Indonesia, yang dibawa Belanda ke Australia setelah Jepang merebut Hindia Belanda pada Perang Dunia II, melakukan aksi demonstrasi dengan menolak bekerja dengan pihak Belanda, baik dari kalangan buruh darat maupun pelaut. Dengan dukungan kuat dari publik Australia serta Australian Waterside Workers Union, buruh dan para pelaut Indonesia, Tiongkok, serta India berhasil memboikot kapal-kapal Belanda ke Indonesia yang dikenal sebagai “The Black Armada“. Selama beberapa tahun upaya pemboikotan tersebut berhasil menahan ratusan kapal Belanda ke  Indonesia.

Perjuangan pelaut hari ini untuk kesejahteraannya tidak bisa dipisahkan dengan perjuangan-perjuangan yang lebih luas dari sekadar perjuangan untuk upah, jaminan sosial, keselamatan kerja dan tuntutan-tuntutan normatif lainnya. Hal ini disebabkan kapitalisme tidak hanya menindas pelaut dan buruh di darat, namun juga rakyat luas lainnya. Lagi pula, perjuangan-perjuangan untuk upah dan sebagainya itu juga tidak akan dapat menyelesaikan persoalan. Kita belajar dari pengalaman di mana dari dulu para pekerja selalu mengangkat isu upah, PHK sewenang-sewenang, jaminan sosial, tetapi hingga sekarang tuntutan tersebut tidak berubah sama sekali. Masalahnya adalah watak dari kapitalisme yang cepat atau lambat, dalam masa krisis, akan merampas kembali hasil dari perjuangan-perjuangan tersebut.

Di sisi yang lain kita juga tidak bisa lagi berharap pada Negara dan aparatus-aparatusnya, karena merekalah yang sebenarnya melanggengkan kapitalisme, dan mereka juga berkepentingan untuk itu. Perjuangan pelaut juga membutuhkan pengamatan yang jeli mengenai siapa musuh kita bersama, supaya tidak terjebak pada rasisme. Memang apa yang tampak di permukaan adalah rasisme, namun apakah kita akan melawan rasisme dengan rasisme, sementara pekerja asing-aseng itu sendiri juga ditindas oleh golongan mereka sendiri? Kita bisa belajar dari pengalaman sejarah perjuangan pelaut yang tidak mengenal rasisme seperti telah terpapar di atas, serta banyak pula diulas oleh Arah Juang. Lagi pula, apakah dengan menyingkirkan para asing-aseng itu akan menjamin kita semua sejahtera? Jawabannya tidak sama sekali. Karena kapitalisme tetap bisa digerakkan oleh non-asing-aseng, oleh yang rasnya sama dengan kita, agamanya sama dengan kita, kebangsaannya sama dengan kita. Kita bisa melihat para pekerja di Negara lain yang memprotes perusahaannya meskipun perusahaannya dijalankan oleh sesama bangsanya sendiri. Di Amerika, Inggris, Perancis, Australia, para pekerjanya tetap tidak sejahtera meskipun perusahaannya dikelola oleh sesamabangsanya. Artinya, kapitalisme bukan soal ras.

Para pekerja di mana pun tinggalnya, apapun pekerjaanya, apapun rasnya, selama berdiri kapitalisme, mereka akan tetap ditindas. Maka yang kita butuhkan tidak sekadar serikat pekerja yang mengadvokasi kasus perampasan hak-hak pekerja, namun kita juga membutuhkan partai alternatif yang secara lebih luas mengangkat persoalan-persoalan yang juga lebih luas dari sekadar upah, tetapi tetap memiliki hubungannya dengan persoalan pekerja dan rakyat luas lainnya. Itu merupakan sebuah partai alternatif revolusioner dengan keanggotaan yang terpilih, ideologis dan memiliki strategi dan taktik yang tepat untuk dapat menumbangkan kapitalisme dan menggantinya dengan sosialisme.

 

ditulis oleh Miswanto, Pelaut

Loading

Comment here