Pernyataan Sikap

Manifesto Faksi Bolshevik Leninis

Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga sekarang adalah sejarah perjuangan kelas. Bukan hanya perjuangan kelas secara eksternal namun juga secara internal. Kita mengenal sejarah perjuangan Marx melawan kaum anarkis dalam Internasionale Pertama. Kita mengenal sejarah perjuangan kaum Marxis anti perang Imperialis melawan para sauvinis sosial pendukung PD I dalam Internasionale Kedua. Kita mengenal sejarah perjuangan Lenin dan Kaum Bolshevik melawan Menshevik. Kali ini, harus kami katakan bahwa kita harus menghadapi perjuangan kelas internal dalam KPO PRP.

  1. PROBLEM ORGANISASI

Selama beberapa bulan terakhir bahkan lebih dari satu tahun, Kongres Politik Organisasi Perjuangan Pekerja (KPO PRP), mengalami berbagai permasalahan. Mulai dari pergantian sandi akun media sosial KPO PRP dan Arah Juang menjelang Kongres III KPO PRP secara sepihak dan tanpa pemberitahuan. Berikutnya rebutan jabatan sebagai Dewan Redaksi Arah Juang namun kemudian lari meninggalkan tanggungjawab. Distribusi serta setoran koran Arah Juang yang tidak serius dilakukan. Lalu keputusan KPO PRP Jakarta dan Bekasi untuk memboikot koran Arah Juang—media cetak resmi KPO PRP—serta  menolak memberikan iuran organisasi. Selanjutnya sikap KPO PRP Bekasi sebagaimana disuarakan BNV untuk memboikot Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI) dan Partai Pembebasan Rakyat (PPR). Berikutnya isu mengenai pertemuan diam-diam dengan Partai Rakyat Pekerja (PRP). Hingga sikap MKD, BNV, dan anggota lainnya dari KPO PRP Jakarta serta Bekasi untuk mendorong Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN) mendukung Obon (seorang elit serikat buruh yang berkolaborasi mendukung Prabowo dan Koalisi Merah Putih (KMP) dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bekasi.

Perlu diketahui bahwa secara umum, di dalam KPO-PRP terdapat dua kubu yang saling bertarung. Satu satu sisi ada KPO PRP Jakarta Tangerang Bekasi (Jatabek) yang didominasi Kelompok MKD BNV (KMB), mereka memundurkan partai revolusioner dengan mengutamakan pembangunan entah partai kiri luas atau partai massa buruh dan mengidap hiperaktivisme (yang sayangnya di KPO kecenderungan ini masih menjadi mayoritas). Sedangkan di sisi lain ada kubu yang berpegang teguh untuk membangun partai revolusioner dengan mengutamakan kerja kerja propaganda dan pengorganisiran berbasiskan ideologi. Pertentangan ini semakin menguat, selama dan pasca kongres terakhir.

Namun, kelompok Jatabek, tidak menunjukkan keseriusan dalam menguji tendensi yang mereka bawa. Ini bisa dilihat dari beberapa tulisan AJ yang diterbitkan. Karena kencerungan Jatabek yang poros utamanya adalah bangun ormas, front, dan lain-lain. Mereka berkutat pada hiperaktivisme. Hingga beberapa kali salah membaca situasi mulai dari mendorong politik alternatif dan lain-lainnya. Bahkan seringkali menggunakan cara-cara yang reaksioner. Ini ditunjukkan dengan sikap-sikap mereka dalam rapat KS, mereka seringkali mangkir dari rapat-rapat organisasi, sekali-kali muncul dengan alasan yang dibuat-buat (tidak disms, tidak punya HP, hujan, dan banyak lagi). Lalu kadang, seenaknya menuduh yang sudah bekerja, tidak demokratis, menghalang-halangi kepentingan mereka. Kontradiksinya, beberapa orang di antaranya justru sangat aktif dalam mengunggah status Facebook bahkan memiliki aplikasi Facebook Messenger yang bisa dilihat dalam keterangan di media sosialnya.

Pertentangan ini semakin menajam, semenjak keluarnya dukungan SGBN ke Obon. Hingga sikap terakhir yang mereka dorong, kesalahan ideologi yang parah di kawan-kawan Jatabek, kekelahan berkali-kali , demoralisasi di beberapa kawan, hilang arah dan terjebak pada politik situasi, daripada gak punya pilihan politik hingga memilih mendukung Obon, birokrat serikat buruh yang sudah jelas secara runtut diblejeti rekam jejaknya di beberapa perdebatan tulisan yang menjelaskan mengapa kita harus menolak mendukung Obon.

Perlu disimpulkan bahwasanya semua permasalahan demikian sebenarnya diakibatkan keberadaan anasir-anasir yang merusak di dalam organisasi. Mulai dari anasir revisionisme, likuidasionisme, reformisme, defeatisme, lalu anasir politik borjuis kecil, sisa budaya feodal, dan buntutisme hingga anasir hiperaktivisme, ekonomisme, dan elektoralisme. Kesemuanya sebenarnya merupakan anasir yang saling terkait satu sama lain, dan bukan hanya harus diblejeti namun juga dilawan.

REVISIONISME:

Revisionisme adalah penyimpangan terhadap dasar-dasar ideologis Marxisme yang secara esensial memakai sampul teori yang lama namun mengganti dalamnya dengan teori baru yang sebenarnya berbeda bahkan bertentangan dan berlawanan. bahkan menggunakan kutipan-kutipan Marxis klasik dengan dipreteli konteksnya untuk membenarkan oportunismenya, misalkan mendukung Obon memakai dalih karya Lenin berjudul Komunisme Sayap Kiri Penyakit Kekanak-kanakan. Bagaimana bisa partisipasi partai Bolshevik secara independen dalam parlemen Rusia dan menggunakannya untuk memblejeti penindasan disamakan dengan praktik KMB mendorong SGBN mendukung elit birokrasi serikat buruh yang bukan hanya berkali-kali melakukan kolaborasi kelas namun juga bersekutu dengan militerisme serta sisa Orde Baru?

LIKUIDASIONISME:

Likuidasionisme adalah likuidasi ideologis terhadap program partai revolusioner oleh sebagian anggota atau suatu kelompok dalam partai. Lenin mengungkapkan bahwa likuidasionisme itu sendiri “secara ideologis terdiri dari negasi terhadap perjuangan kelas proletariat sosialis pada umumnya dan penyangkalan terhadap hegemoni proletariat.” Meskipun likuidasionisme bisa berwujud dalam penyimpangan-penyimpangan maupun tindakan indisipliner yang bersifat teknis namun akar utamanya sebenarnya ada pada persoalan ideologis.

Khusus dalam kasus KPO PRP, kubu KMB telah berkali-kali melakukan tindakan-tindakan yang termasuk likuidasionisme. Mulai dari tindakan MKD mengambil alih akun media sosial Facebook KPO PRP serta tidak memberitahukan sandinya kepada Komite Sentral. Pertemuan diam-diam dan konspiratorial dengan Partai Rakyat Pekerja (PRP) dan Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI). Manuver sepihak mendorong SGBN untuk mendukung Obon dalam Pilkada Bekasi. Keputusan KPO PRP Bekasi untuk memboikot iuran dan koran Arah Juang. Sampai kegiatan KMB menerbitkan koran AJ tandingan.

REFORMISME:

Reformisme adalah anasir yang menganut pendirian politik bahwasanya perubahan bertahap atau berangsur-angsur di dalam institusi bisa pada akhirnya merubah aspek-aspek fundamental masyarakat, termasuk sistem ekonomi dan struktur-struktur politik. Reformisme yang menjangkiti gerakan kiri dan khususnya kiri sosialisme menolak sosialisme revolusioner.

Kaum reformis secara langsung maupun tidak langsung membatasi tujuan-tujuan dan aktivitas-aktivitas kelas buruh hanya pada pemenangan reforma-reforma. Mereka hanya mau berpropaganda dan mengusung isu yang bersifat reformis dan tidak menjalankan propaganda apalagi edukasi anti kapitalisme serta menyerukan pendirian negara buruh dan sosialisme.

Reformisme terkait erat dengan anasir-anasir berbahaya lainnya seperti ekonomisme, buntutisme, dan hiperaktivisme. Namun pada dasarnya—sebagaimana dikatakan Lenin—reformisme adalah penipuan borjuis terhadap buruh, yang meskipun bisa menerima peningkatan-peningkatan individual, tetap dijadikan budak upahan selama masih ada dominasi kapital.

Para reformis sering mengelak dari kritikan ini dengan menyatakan bahwa kelas buruh tidak bisa menerima propaganda sosialistis yang abstrak dan hanya bisa menerima propaganda isu konkret, seperti upah, tunjangan, jaminan kesehatan, dan sebagainya. Bahkan mereka seringkali menyatakan Sosialisme terlalu sulit dipahami oleh kaum buruh. Bukan hanya ini meremehkan kecerdasan kelas buruh namun juga berimplikasi menelantarkan tugas-tugas kaum sosialis. Sehingga sikap ini bukan hanya membuahkan penelantaran tugas-tugas pengorganisiran sel-sel atau lingkar-lingkar sosialis di kalangan buruh serta penelantaran edukasi sosialisme, namun juga menghubungkannya dengan elektoralisme.

Kaum reformis dalam KPO PRP dengan bersembunyi di balik pemujaannya terhadap propaganda konkret bahkan mengantarkan mereka menempuh oportunisme dan kolaborasi kelas untuk mendukung Obon, seorang elit birokrasi serikat buruh yang mendukung Prabowo—militeris dan sisa Orba sekaligus borjuis—dan KMP. Bahkan mereka bisa sampai melakukan pembelaan-pembelaan terhadap Obon. MKD melalui koran tandingannya dengan naifnya menyatakan, “…mendukung kolaborator kelas buruh adalah lebih baik ketimbang mendukung calon dari kelas pemodal itu sendiri…” Bukan hanya pernyataan ini mengingkari logika dialektis namun juga menafikan logika formal bahkan menampik kenyataan itu sendiri. Bagaimana bisa mendukung pendukung borjuasi lebih baik daripada mendukung borjuasi itu sendiri? Masih dalam tulisan berjudul “Masalah Taktik dalam Demokrasi Borjuis” MKD dalam koran tandingannya menulis “…sentimen SARA yang sempat mewarnai Pilkada telah dijadikan titik berangkat untuk mengkampanyekan program demokrasi dan kesejahteraan…” Sedemikian jauhlah pembelaan kaum reformis ini kepada elit birokrasi serikat buruh. Alih-alih menggaet dan memenangkan massa yang dihegemoni elit serikat tadi justru sebaliknya para reformis ini yang terseret ke pihak elit birokrasi serikat buruh.

Kaum Marxis tidak menentang perjuangan untuk reforma dan bahkan tidak menentang partisipasi dalam parlemen sebagaimana dituduhkan para reformis ini. Namun adalah dua hal yang berbeda antara memperjuangkan reforma sambil menekankan perlunya perjuangan kelas untuk menggulingkan kapitalisme dan membangun sosialisme di satu sisi dengan membatasi perjuangan hanya pada reforma dan menolak kerja-kerja propaganda serta edukasi sosialistis. Dua hal yang berbeda bahkan bertentangan pula antara partisipasi kaum Marxis di parlemen dan menggunakannya sebagai panggung untuk memblejeti kapitalisme dan keterbatasan demokrasi borjuis di satu sisi dengan di sisi lain menggiring kelas buruh ke bawah dominasi elit birokrasi serikat buruh dengan dalih buruh go politic padahal elit birokrat serikat tadi sama sekali tidak mewakili kepentingan kelas buruh melainkan kepentingannya sendiri.

DEFEATISMEFBL 2

Defeatisme adalah anasir yang menerima kekalahan tanpa perjuangan. Defeatisme yang melanda beberapa anggota khususnya KMB muncul dalam beberapa isu. Misalnya menghadapi naiknya sentimen reaksioner kanan, khususnya anti komunisme, di satu sisi dan di sisi lain elit birokrasi serikat buruh yang menguat, bukannya melakukan kontrapropaganda dan koreksi justru mengalah dan menyatakan PKI dan komunisme sudah tidak ada. Bukannya melakukan pembelaan terhadap Marxisme melainkan malah berusaha menenangkan sentimen reaksioner antikomunis atau komunistophobi. Defeatisme ini juga muncul dalam isu-isu lainnya. Contoh lainnya saat gelombang reaksioner homophobia dan heteroseksisme naik pasang terhadap kaum Lesbian Gay Biseksual Transgender Interseks (LGBTI). Kemudian juga saat rakyat Papua memperjuangkan kemerdekaan West Papua. Bukan hanya tidak ada pemblejetan dan propaganda sosialistis dari KMB terkait persoalan LGBTI dan Pembebasan Nasional Papua. Namun juga tidak ada pembelaan terkait hak-hak mereka yang dilanggar.

Masih kecilnya kaum revolusioner dan absennya partai revolusioner—dalam pengertian partai revolusioner yang mampu mengerahkan kelas buruh dan rakyat pekerja serta memimpinnya dalam perjuangan kelas melawan kapitalisme, membawa kita pada persoalan mengenai kebutuhan akan persatuan. Sayangnya banyak pihak masih memandang persatuan dengan menyederhanakan seperti logika formal. Bahwa ketika semakin ditambahkan (baca disatukan) maka hasilnya semakin banyak dan semakin mungkin menang. Seolah-olah satu ditambah satu ditambah satu selalu sama dengan tiga. Kaum revolusioner tidak melihatnya seperti itu. Tidak semua pertambahan menghasilkan jumlah yang lebih besar. Penambahan dengan angka-angka minus bahkan bisa malah mengurangi, menjadikannya nol, ataupun minus. Kaum Marxis Revolusioner harus mempertimbangkan baik kuantitas maupun kualitas dan tugas-tugas revolusioner kita.

Maka dalam hal kuantitas terdapat masalah besar dalam persatuan. Kemampuan mobilisasi dari berbagai persatuan yang dibangun mayoritas tidaklah signifikan. Ini menjadi faktor tambahan yang menekan gerakan demokratis maupun kaum revolusioner. Ini yang kemudian mendorong berkembangnya politik borjuis kecil dan sisa-sisa budaya feodal serta buntutisme.

POLITIK BORJUIS KECIL

Aktivitas politik berkisar pada permasalahan mekanis, prosedural, namun di balik itu sebenarnya menutupi pembangkangan terhadap disiplin organisasi atau bahkan revisionisme. Politik borjuis kecil mengabaikan persoalan-persoalan prinsip dalam perjuangan. Mengabaikan persoalan perspektif ideologi, program perjuangan, strategi dan taktik. Menggantikannya dengan keributan pribadi, pemalsuan, keluhan-keluhan, tuduhan-tuduhan pribadi dan gosip-gosip yang berkembang.

Politik borjuis kecil demikian bisa dilacak dari segi basis materialnya terkait keberadaan kelasnya sendiri. Kelas borjuis kecil yang berada di tengah-tengah, di atas kelas proletar namun di bawah borjuasi besar, menduduki posisi yang bimbang. Pendirian ideologis-ekonomis-politisnya sangat dipengaruhi oleh pandangan borjuasi, borjuasi kecil itu sendiri berkeinginan, sadar atau tidak sadar, untuk sukses dan menjadi borjuasi besar, termasuk dengan meniru moralitas borjuasi besar. Namun secara ekonomi mereka tidak menguasai alat produksi dalam skala besar dan secara politik mereka tidak memiliki kiprah dan kemampuan yang tinggi. Secara historis dalam konteks kebangkitan kapitalisme yang dimulai dari Eropa, borjuasi besar dengan mendirikan koran-korannya serta organisasi-organisasi politik modernnya bahkan lembaga-lembaga sainsnya, telah terlatih dan tertempa untuk melawan feodalisme dan monarki absolut dengan cara-cara yang objektif dan profesional. Namun borjuasi kecil, karena ketergantungan mereka pada keluarga patriarkal, dimana perusahaan-perusahaan mereka mayoritas adalah home industry atau industri rumah tangga yang dipimpin oleh sosok bapak atau kepala keluarga, kalah unggul dibandingkan borjuasi besar dan kekurangan atau bahkan tidak memiliki profesionalitas organisasi dan kecakapan politik yang dimiliki borjuasi besar. Akhirnya politiknya cenderung regresif dan tidak progresif. Cenderung mengandalkan intrik-intrik personal, subjektivitas, dan sebagainya. Sebagai kelas yang semakin lama, terutama di masa-masa krisis, terancam proletarisasi, mereka bercita-cita ingin jadi borjuasi besar namun takut terlempar masuk ke kelas proletar, posisi bimbang demikian membuatnya terus berayun dari satu sisi ke sisi lainnya dari waktu ke waktu.

Organisasi sosialis, termasuk KPO PRP, karena lahir, eksis, dan bergerak, di dalam masyarakat kapitalisme, secara tak terelakkan juga mengalami tekanan terus-menerus dari kapitalisme. Kapitalisme tidak hanya mengepungnya dari segi corak produksi namun juga dari segi budaya akibat hegemoni monopoli kapitalisme terhadap alat-alat produksi dan reproduksi kebudayaan. Memang dalam sebagian waktu, organisasi sosialis bisa menangkalnya dengan ideologi Marxis dan praksis revolusioner, namun dalam sebagian waktu lain, pengaruh-pengaruh kapitalistis ini bisa merembes atau memenetrasi organisasi. Termasuk dalam bentuk politik borjuis kecil.

Persis inilah yang dilakukan KMB dalam KPO PRP dari waktu ke waktu. Kawan QD, mantan anggota KPO PRP Jakarta memutuskan keluar akibat keributan personal karena dituduh berbohong oleh salah satu anggota kolektifnya. MKD dan BNV mengomel rapat biro tidak demokratis karena mereka tidak diSMS terlebih dahulu namun setelah diSMS bahkan ditelepon termasuk diputuskan rapat mingguan dengan jam dan hari yang sudah pasti pun tetap mangkir. Sayangnya saat kawan-kawan yang mengorbankan waktu, uang, dan tenaga untuk bisa mengikuti rapat-rapat biro serta menjalankan keputusan-keputusannya, termasuk berjuang agar koran Arah Juang bisa berisikan tulisan-tulisan sosialistis, namun kemudian malah dituduh tidak demokratis oleh kawan-kawan yang mangkir rapat dan tidak turut mengemban tugas menulis.

POLITIK SISA BUDAYA FEODAL

Politik sisa budaya feodal adalah aktivitas politik berkutat pada hubungan patronase, subjektivitas, dan dominannya sindir menyindir alih-alih kritik lugas atau polemik terbuka. Mengapa ada politik sisa budaya feodal di Indonesia? Sebab Indonesia, sebagai negara kapitalis terbelakang yang tidak pernah menuntaskan revolusi demokratis nasional, menyisakan persoalan besar, salah satunya adalah tidak tuntasnya industrialisasi dan modernisasi sehingga menyisakan masih banyaknya sisa budaya feodal. Termasuk di ranah politik.

Perkembangan ini berbeda bila dibandingkan dengan di negara-negara kapitalisme maju dimana kelas borjuasi yang bangkit memimpin revolusi industri dan modernisasi melawan feodalisme salah satunya dengan membangun ruang publik termasuk dengan pers, jurnalistik, dan media massa yang kemudian melahirkan budaya kritik politik secara lugas, terang-terangan, sebut nama, tunjuk hidung, dilengkapi dengan metode verifikasi dan keabsahan sumber serta informasi atau data. Berbeda dengan kelas tuan tanah bangsawan feodal yang mengandalkan persekutuan dengan elit agamawan dan memonopoli wacana lewat titah kerajaan. Meskipun tentu saja watak progresif dari pers revolusioner kemudian turut luntur begitu borjuasi menjadi kelas penindas baru yang berkuasa dan sistem kapitalisme mapan.

Indonesia sempat mengalami perkembangan kritis seiring kebangkitan nasional dan revolusi nasional. Mulai dari polemik polemik Tan Malaka versus Alimin soal pemberontakan 1926, polemik Soekarno dengan Mohammad Natsir seputar Islam, hingga polemik Njoto melawan Sayuti Melik seputar Badan Pendukung Soekarnoisme. Namun tradisi berpolemik secara terbuka ini dihancurkan begitu kediktatoran militer Orde Baru pimpinan Harto berkuasa dan membangun mengembangkan politik sisa budaya feodal hingga ke luar Jawa bahkan seIndonesia termasuk Papua turut dijadikan mangsanya.

Harto sendiri baru tumbang 19 tahun lalu dan politik sisa budaya feodalnya masih banyak bersisa bahkan kuat mempengaruhi dimana-mana. Ironisnya turut mempengaruhi organisasi-organisasi kiri pula. Muncullah hubungan patron klien, seniorisme, mempentingan koncoisme daripada kebenaran ideologis maupun ketepatan politis, serta lain sebagainya.

BUNTUTISME

Buntutisme pada dasarnya merupakan anasir yang mendorong agar aktivitas kaum Marxis membuntut pada kesadaran massa yang terbelakang. Ini terkait erat dengan Ekonomisme. Istilah ini muncul diperkenalkan Lenin dalam rangka perjuangan melawan kaum Ekonomis. Buntutisme, atau dalam bahasa Rusia Lenin menyebutnya Khvostism, untuk menyebut kaum Ekonomis yang mengemukakan bahwa seharusnya partai komunis tidak memegang kepemimpinan dalam situasi revolusioner namun membiarkan peristiwa-peristiwa ekonomi, seperti krisis, mogok kerja, pergolakan, dan sebagainya—untuk terjadi dengan sendirinya dan agar kaum Marxis mengikutinya dari belakang. Lenin dengan keras menentang ini. Partai seharusnya menjadi pelopor, melakukan edukasi, mengagitasi, dan mengamati kesempatan dengan seksama serta memanfaatkannya sebaik mungkin.

Bagaimanakah buntutisme ini muncul dan menyebar di dalam KPO PRP lewat KMB? Salah satu indikasi awalnya adalah kengototan mereka untuk melakukan intervensi dalam momentum Pilkada serentak dan Pileg serta Pilpres berikutnya (yaitu tahun 2019). Bagaimana suatu organisasi yang cuma punya keanggotaan tidak lebih dari hanya 30 orang mau mengintervensi Pemilihan Umum dengan jumlah pemilih nasional di atas 130 juta orang, itu tidak pernah mereka tuangkan dalam tulisan yang dipublikasikan hingga kini.

Namun perwujudannya salah satunya bisa dilihat dalam manuver mereka yang mendorong SGBN mendadak mendukung Obon dari KSPI/FSPMI. Padahal sudah berkali-kali diblejeti bahwasanya Obon merupakan elit birokrat serikat buruh sekaligus kolaborator kelas yang menundukkan perjuangan kelas buruh demi menggalang persekutuan dengan kapitalis khususnya kubu Prabowo, seorang militeris sisa Orde Baru, dan Koalisi Merah Putih (KMP)nya. Mereka beranggapan mendukung Obon sama dengan mendukung kelas buruh, tidak peduli kalau Obon adalah birokrat serikat buruh dan kolaborator kelas. Bahkan MKD sendiri dalam koran tandingan mereka menyatakan bahwa mendukung kolaborator kelas leboh baik daripada mendukung borjuasi. Padahal kolaborator kelas itu jelas-jelas mendukung borjuasi. Mereka punya ilusi bahwasanya seandainya Obon terpilih namun mengkhianati kelas buruh maka massa serikatnya otomatis bisa mereka galang ke pihaknya dan bahkan otomatis bisa dimobilisasi untuk mengkritik bahkan menentang Obon. Ilusi ini dianut dan bahkan disebar tanpa mempertimbangkan kenyataan sangat sedikitnya kader partai yang bekerja dalam serikat buruh, penolakan mereka terhadap kerja-kerja distribusi koran revolusioner, dan langkanya edukasi atau pendidikan sosialis bahkan absennya sel-sel partai di pabrik-pabrik atau lingkungan-lingkungan tempat tinggal buruh. Alih-alih bisa menggaet massa dari serikat kuning demikian malah berisiko memunculkan terseretnya kader partai ke pihak elit birokrat serikat buruh di satu sisi dan di sisi lain demoralisasi dari kaum buruh, termasuk buruh berkesadaran relatif maju yang tidak setuju dengan sentimen-sentimen reaksioner birokrat KSPI namun kecewa karena partai malah menyuruh buruh mendukungnya.

FBL 4HIPERAKTIVISME

Kecenderungan mementingkan aktivitas organisasi massa—seperti serikat dan ormas mahasiswa—di atas segalanya  sampai habis segala daya tenaga di satu sisi dan di sisi lain mengebelakangan dan meninggalkan pekerjaan partai seperti propaganda dan edukasi sosialistis.

Sebagaimana dijelaskan dalam Arah Juang edisi 7 suatu kecenderungan untuk menghabiskan semua waktu dan tenaga di lapangan atau bahkan jalanan untuk aksi maupun advokasi. Akibat tindakan hiperaktifnya, mereka menunda, mengabaikan, atau bahkan meninggalkan sepenuhnya tugas-tugas membangun ideologi, edukasi, analisis, dan wacana Marxis secara sistematis.

Kecenderungan aktif—bahkan hiperaktif—ini membuat mereka lari dari satu isu ke isu lain, dari satu kampanye ke satu kampanye lain, sampai habis daya dan upaya. Sehingga tidak ada tenaga tersisa untuk mengkaji Marxisme, membaca dan mendiskusikan tulisan-tulisan dari Marx sampai Lenin, apalagi menulis, menerbitkan, dan mengedarkan koran revolusioner. Ini seringkali diperparah sikap memonopoli pengetahuan ideologi di kalangan beberapa pimpinan hiperaktivisme yang diiringi dengan tindakan menakut-nakuti anggota-anggota yang ingin mempelajari Marxisme. Bacaaan-bacaan yang diperbolehkan hanya yang sifatnya normatif dan legal-formal. Bacaan-bacaan revolusioner justru dijauhi dan disembunyikan. Padahal Lenin jauh-jauh hari sudah memperingatkan, “Tidak ada gerakan revolusioner tanpa teori revolusioner.” Kecenderungan ini bahkan bisa semakin parah dengan sikap menolak ideologi, menolak “grand theory”, dan obsesi terhadap praktik sekaligus mencapai kesadaran dan menemukan teori sendiri lewat praktik sendiri.

Padahal dalam Apa yang Harus Dikerjakan, Lenin sudah mewanti-wanti kecenderungan anti-teori, obsesi terhadap praktik, yang disebutnya Primitivitas. “Orang-orang ini yang tidak bisa menyebut kata ‘teoretikus’ tanpa mencemoohnya, yang menggambarkan bertekuklututnya mereka pada kurangya pelatihan dan keterbelakangan sebagai ‘perasaan terhadap kenyataan-kenyataan kehidupan’, mengungkap dalam praktiknya kegagalan untuk memahami tugas-tugas praktik paling penting kita. Kepada para pencorot mereka berteriak: Berjalanlah serempak! Jangan lari mendahului! Kepada orang-orang yang mengidap kekurangan energi dan insiatif dalam kerja organisasional, kekurangan “rencana-rencana” luas dan aktivitas yang tegas, mereka berteriak-teriak tentang ‘taktik-taktik sebagai proses’! Padahal dosa terburuk yang kita lakukan adalah memerosotkan tugas-tugas politik dan organisasional ke tingkat kepentingan-kepentingan yang “jelas”, “konkret” dari perjuangan ekonomi sehari-hari; namun mereka justru terus menyanyikan kepada kita lagu yang sama: berikan watak politik kepada perjuangan ekonomi itu sendiri!…

Tidak heran kemudian kalau tendensi ini kekurangan atau bahkan kosong isian ideologis. Ini tercermin dari berbagai slogan (dan tuntutan) yang salah, bahkan tidak jarang bertentangan dengan Marxisme. Seperti slogan: “Negara telah gagal”, “Negara tidak hadir”, “Tagih janji Jokowi”, “Jangan represi mahasiswa Papua merayakan identitas budayanya”, dan sebagainya. Kekosongan bahkan minusnya ideologi ini akhirnya diisi oleh tendensi radikal bebas. Maka bertemulah keduanya dalam hubungan yang saling melengkapi…dan menjerumuskan. Akibatnya kemandirian rakyat pekerja rusak karena selama ini diajari menitipkan nasibnya pada borjuasi ‘progresif’. Akibatnya kesadaran rakyat pekerja terus berada di bawah cengkeraman ideologi penindas.

Kita memahami pentingnya mengorganisir perlawanan terhadap penindasan kapitalisme. Namun kita tidak bisa hanya berkutat pada persoalan yang bersifat membela diri saja. Selama masih ada kapitalisme—apalagi saat krisis, selama itu pula akan terus ada pencurian nilai lebih, perendahan terhadap upah buruh, penaikan harga barang-barang kebutuhan pokok, perampasan tanah, penggusuran, dan berbagai macam penindasan lainnya. Justru kita harus membangun partai buruh revolusioner, bukan hanya karena itu merupakan memori kolektif perjuangan kelas buruh, bukan hanya karena itu satu-satunya organ yang mampu memberikan kita kesatuan politik dan pemahaman akan tugas yang perlu kita lakukan, namun juga karena itu adalah instrumen ofensif/senjata serang untuk memimpin kelas buruh dalam perjuangan merebut kekuasaan dan menumbangkan kapitalisme sehingga bisa menghabisi biang kerok dari banyak penindasan dan penghisapan hari ini.

Sayangnya anasir Hiperaktivisme juga merasuk dan menyebar di dalam KPO PRP. Baik berwujud hiperaktivisme dalam serikat-serikat buruh maupun dalam organisasi-organisasi mahasiswa. Pengorganisiran bukan berdasarkan pembangunan kesadaran kelas revolusioner melalui kerja-kerja ideologisasi melainkan berdasarkan keresehan-keresahan. Akibat konkretnya adalah merapuhnya ideologi bahkan juga menurunnya keanggotaan baik dalam bentuk menurunnya partisipasi aktif sampai keluarnya beberapa anggota. Rapuhnya ideologi ini bahkan bisa memberi celah bagi masuknya ideologi-ideologi reaksioner ke dalam pikiran dan sikap anggota atau kelompok anggota.

EKONOMISME

Anasir berbahaya dan merusak lainnya adalah Ekonomisme. Ekonomisme terkait erat bahkan berkelitkelindan dengan buntutisme dan oportunisme. Lenin mengatakan bahwa ekonomisme pada dasarnya adalah oportunisme. Alias mau membuntut pada kesadaran umum dari massa. Mereka menganggap dengan begitu akan mendapatkan dukungan massa. Oleh karena itu ekonomisme bukan sekedar kecenderungan yang menampakkan diri hanya berkutat mengusung tuntutan bersifat ekonomis yang berhubungan langsung dengan hajat hidup, seperti upah. Namun ekonomisme juga dapat mengajukan tuntutan-tuntutan politis namun dibatasi pada apa yang sudah diajukan oleh massa itu sendiri. Ekonomisme meninggalkan tuntutan-tuntutan politis, pembelaan terhadap seluruh elemen rakyat tertindas, dan pemblejetan-pemblejetan Marxis.

Sebagai suatu bentuk oportunisme, Ekonomisme secara membandel meyakini bahkan juga menekankan agar peran kader partai membuntut secara pasif kepada gerakan massa kelas buruh pada tiap tahapan perkembangannya alih-alih bertindak sebagai pelopor kelas. Mereka menolak mengemban tanggung jawab untuk bicara kepada kelas buruh mengenai keseluruhan dari tugas-tugas kelasnya dengan dalih bahwa kelas buruh pada umumnya belum tahu dan menolak percaya. Dengan demikian kaum Ekonomis memilih tunduk atau setidaknya berkompromi kepada setiap prasangka yang menjangkiti setiap buruh yang mereka temui dan sentuhi.

Dengan demikian perkutatan kaum Ekonomis terhadap tuntutan-tuntutan bersifat ekonomis dan normatif hanyalah merupakan perwujudan sementara dari oportunisme ini. Karena ini hanyalah cerminan dari kenyataan bahwa massa buruh yang terbelakang belum berjuang melawan pemerintahan kapitalis tapi sudah cukup terangsang untuk berjuang dengan tuntutan dan isu yang diarahkan pada para majikannya. Kaum Ekonomis bertemu dengan buruh dan kemudian menurunkan wacana bahkan kesadarannya sesuai tingkatan buruh yang bersangkutan tadi alih-alih meningkatkan kesadaran sang buruh menjadi kesadaran kelas revolusioner.

Permasalahannya sulit untuk mengetahui dengan jelas pandangan-pandangan kaum Ekonomis di dalam KPO PRP. Pertama, karena hiperaktivisme dan juga ada kecenderungan anti teori. Kedua, karena oportunismenya tidak mungkin divulgarkan. Jadi ditutupi jargon-jargon revolusioner.

Bagaimanapun juga anasir-anasir ekonomisme yang menjalar ke beberapa cabang dan anggota KPO PRP ini bisa dilihat dari pemujaan mereka kepada spontanitas, obsesi ingin menggalang seluruh lapisan buruh—termasuk lapisan terbelakang dan reaksioner—alih-alih memprioritaskan menggalang lapisan paling maju dan paling sadar kelas, serta yang paling jelas minim bahkan absennya suara maupun sikap kaum Ekonomis terhadap penindasan yang dianggap tidak populer bagi kesadaran rata-rata buruh. Ini ditunjukkan dengan minim atau bahkan tidak adanya sikap dari KMB saat terjadi penindasan terhadap para pejuang kemerdekaan dan pembebasan nasional West Papua maupun terhadap LGBTI.

ELEKTORALISME

Elektoralisme merupakan kecenderungan mengutamakan intervensi politik elektoral di atas segalanya dengan mengesampingkan meta-organisasi atau dinamika perkembangan partai revolusioner yang tidak bisa lahir serta merta menjadi partai massa melainkan harus mengalami proses pertumbuhan dari lingkar diskusi->grup propaganda->organisasi massa (partai kader->partai massa). Elektoralisme itu bisa menjerumuskan kesalahan dalam bentuk pemaksaan taktik entryisme di satu sisi dan di sisi lain memuja Partai Kiri Luas (PKL) sebagai suatu ketetapan mutlak meskipun faktor-faktor subjektif dan objektif malah bertentangan dengan itu.

Berbeda dengan kaum Bolshevik memandang intervensi elektoral hanya sebagai taktik untuk mendapatkan panggung bicara kepada kelas buruh dan massa rakyat demi memblejeti kapitalisme serta mempropagandakan sosialisme. Mereka yang menganut elektoralisme memuja intervensi elektoral dengan benar-benar beriman kepada ilusi bahwasanya partisipasi elektoral sepenuhnya mutlak perlu untuk memutus rantai lesser-evilism di satu sisi dan di sisi lain agar rakyat bisa menempatkan perwakilan atau bahkan pemerintahannya sendiri. Mereka sepenuhnya meyakini bahwa elektoralisme baik melalui pileg maupun pilkada bahkan juga pilpres bisa memenuhi hak-hak buruh dan rakyat pekerja serta meningkatkan hajat hidup mereka sekaligus menyelesaikan permasalahan rakyat.

Pertama, mereka tidak melihat selama masih berada dalam kerangka sistem kapitalisme bahwa hal tersebut tidak mungkin diwujudkan karena meskipun secara politis kursi pemerintahan bisa mereka kuasai namun alat-alat produksi masih di tangan kapitalis. Kedua, mereka juga tidak tahu atau bahkan tidak mau tahu bahwa saat kapitalisme mengalami krisis bukan saja tidak ada basis material untuk konsesi bagi buruh dan rakyat namun juga reforma-reforma yang sebelumnya diberikan pemerintah atas desakan massa juga akan direnggut kembali.

  1. APA YANG PERLU DILAKUKANFBL

Menghadapi situasi ini maka perlu KPO PRP perlu melakukan konsolidasi ideologi, politik, dan organisasi. Anasir-anasir yang membahayakan bahkan merusak organisasi seperti Revisionisme, Likuidasionisme Reformisme, Defeatisme, Politik Borjuis Kecil, Politik Sisa Budaya Feodal, Buntutisme, Hiperaktivisme, Ekonomisme, dan Elektoralisme, perlu dilawan, diblejeti, dikritik, dikoreksi, disembuhkan, dan kalau tidak mungkin maka perlu dihapuskan. Begitu juga manuver-manuver oportunistis seperti buntutisme pada kaum kolaborator kelas dan elit birokrat serikat buruh, harus diblejeti dan dilawan. Ini semua menuntut konsolidasi ideologi, politik, dan organisasi. Secara garis besar kami merumuskan bahwa apa yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

  1. Mempertahankan dan membela mandat dari Kongres III KPO PRP.
    1. Program Maksimum
    2. Program Minimum
    3. Strategi dan Taktik
    4. Program Kerja
  2. Mempertahankan dan membela keputusan-keputusan dari Komite Sentral, Biro Ideologi, Biro Politik, Biro Organisasi, dan Dewan Redaksi Arah Juang.
  3. Memenangkan seluruh cabang, badan, dan struktur organisasi KPO PRP ke dalam garis revolusioner.
  4. Memverifikasi seluruh keanggotaan KPO PRP dan menerapkan pendisiplinan terhadap seluruh praktik pelanggaran yang ada.
  5. Membentuk Faksi Bolshevik Leninis sebagai upaya terkonsolidasi dan terorganisir untuk melawan berbagai anasir yang membahayakan bahkan merusak KPO PRP.

Namun sebelumnya perlu dijelaskan bahwa konsolidasi ideologi, politik, dan organisasi ini bukan berarti memecahbelah dan menghancurkan organisasi. Justru sebaliknya konsolidasi ideologi, politik, dan organisasi ini untuk menyelamatkan organisasi agar tetap berada di atas ideologi dan haluan Marxisme revolusioner.

Faktor situasi objektif sebenarnya berpihak kepada kubu revolusioner dalam organisasi. Basis material bagi berkuasanya ekonomisme, reformisme, dan hiperaktivisme sebenarnya tidak ada dengan kenyataan saat ini kapitalisme semakin krisis dan gerakan buruh terpukul mundur. Secara ideologis maupun organisasional kita lebih unggul, walaupun KMB dukung Obon-Bambang tapi itu di atas landasan atau bahkan alasan yang lemah.

Keputusan Biro Organisasi untuk mengamankan situs Arah Juang setelah akun FB KPO PRP diambilalih (yang kemudian diakui MKD dilakukan dirinya) bahkan sempat menghilang, penerusan program kerja yang sudah dimandatkan Kongres III KPO PRP meskipun minim bahkan absen partisipasi KMB, sampai kerja-kerja penyusunan, penerbitan, hingga penyebaran koran revolusioner sebagai bukan hanya media propaganda namun juga pengorganisir massa, menunjukkan sebenarnya jalan yang ditempuh sudah jalan yang benar. Meskipun berkali-kali diganggu, direcoki, bahkan juga disabotase oleh anasir-anasir merusak dalam organisasi. Namun semua itu perlu dilengkapi konsolidasi ideologi, politik, dan organisasi berdasarkan Marxisme revolusioner ke dalam suatu faksi.

James Patrick Cannon, seorang Marxis Amerika, pendiri Partai Komunis Amerika Serikat, yang kemudian dipecat kaum Stalinis Amerika Serikat (AS) dan kemudian membangun Socialist Workers Party (SWP) atau Partai Pekerja Sosialis, mengatakan dalam tulisannya yang berjudul  “Perjuangan Faksional dan Kepemimpinan Partai”, Perjuangan faksional adalah ujian kepemimpinan. Perjuangan faksional adalah bagian dari proses membangun partai revolusioner massa, bukan seluruh perjuangan, tetapi menjadi bagian dari itu.  Sekali lagi perlu digarisbawahi (bahkan berulangkali) di sini bahwasanya perjuangan kelas bukan hanya bersifat eksternal berupa perlawanan terhadap para konglomerat, aparat, dan pejabat, namun juga bersifat internal, yakni melawan anasir-anasir anti partai atau penyimpangan-penyimpangan lainnya.

Maka tugas utama dari faksi adalah memenangkan kepemimpinan ideologis, melahirkan kader-kader terkemuka, melawan tanpa ampun tendensi Hiperaktivisme, dan kolaborasi kelas (di dalam organisasi kita). Maka untuk dapat menjalankan hal tersebut dengan berhasil, James P Cannon mengatakan “Setiap perjuangan faksional yang serius, disiapkan benar dengan kepemimpinan yang sadar, berkembang dalam tahapan-tahapan yang progresif/maju. Memiliki awal, tengah dan akhir. Lalu di setiap tahap perjuangan kepemimpinan diletakkan dan diuji. Tanpa kepemimpinan yang sadar, faksionalisme hanya akan menyebabkan kekacauan dan kehancuran bagi partai”

Juga mengutip pernyataan Lenin ketika membenarkan pengusiran Otzowis (boycottists) dari Fraksi Bolshevik, “Sebagai faksi, yaitu, sebagai kesatuan dari orang-orang yang berpikir sama dalam partai, kita tidak dapat bekerja tanpa kesatuan pada pertanyaan mendasar. Untuk melepaskan diri dari faksi adalah tidak sama dengan melepaskan diri dari partai. Mereka yang telah meninggalkan faksi kami tidak berarti kehilangan kemungkinan bekerja di partai. “(Likuidasi yang Likuidator).

ML pernah menceritakan tentang perpecahan Democratic Socialist Party (DSP) atau Partai Sosialis Demokratis dengan Leninist Faction atau Faksi Leninis dan kemudian Revolutionary Socialist Party (RSP) atau Partai Sosialis Revolusioner “berbagai aliran punya tradisi sendiri. Di kami (DSP) dulu ada Tendency dan ada Faction, kedua-duanya sebuah kelompok terorganisir di dalam partai yang juga mengumumkan dirinya secara terbuka.” “Tendency adalah kelompok yang memperjuangkan perubahan garis dalam semua atau sebagian hal dan masih percaya bahwa anggota maupun pimpinan bisa diyakinkan akan benarnya garis yang diperjuangkannya. Sedangkan Faction didirikan selain juga sama-sama untuk memperjuangkan perubahan garis, tetapi sudah yakin pimpinan (mayoritas) tak akan bisa diyakinkan, sehingga juga memperjuangkan penggantian pimpinan.”

  • DEKLARASI FAKSI BOLSHEVIK-LENINIS

Kami, yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan berdirinya Faksi Bolshevik Leninis, demi mempertahankan garis politik dan praksis KPO PRP untuk tetap berada di atas rel Internasionalisme Proletar dan Sosialis Revolusioner. Pendirian Faksi Bolshevik Leninis ini juga merupakan upaya perjuangan lebih terkonsolidasi dan terorganisir untuk melawan Revisionisme, Reformisme, Defeatisme, Politik Borjuis Kecil, Politik Sisa Budaya Feodal, Buntutisme, Hiperaktivisme, Ekonomisme, dan Elektoralisme yang tengah menjangkiti KPO PRP.

Salah satu hal yang harus dilakukan untuk membenahi persoalan yang sedang melanda KPO PRP adalah melakukan konsolidasi Ideologi. Harus ada pendalaman yang lebih rigid dan revolusioner dari asas Sosialisme Ilmiah. Sosialisme Ilmiah yang dianut KPO PRP seharusnya tidak memberi ruang bahkan celah bagi penyimpangan-penyimpangan terhadap Marxisme. Oleh karena itu Sosialisme Ilmiah yang dianut KPO PRP haruslah merupakan ideologi Bolshevik Leninisme.

Ideologi Bolshevik Leninisme terdiri minimal dari komponen-komponen berikut: (1) Filsafat Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis. Suatu filsafat yang tidak hanya terbukti keilmiahannya namun secara khusus ditujukan untuk mempersenjatai kelas proletariat dalam perjuangannya.

(2) Analisis Kelas dan Kritik Ekonomi Politik terhadap Kapitalisme. Sumbangsih teori dari Marx dan Engels untuk memblejeti kapitalisme serta kontradiksi-kontradiksinya.

(3) Politik Sosialis. Politik gerakan yang bertujuan final mendirikan masyarakat kelas dengan tatanan sosio-ekonomi berdasarkan kepemilikan bersama atas alat-alat produksi serta menghilangnya kelas-kelas, uang, dan negara.

(4) Sentralitas Pemogokan Massa dalam revolusi. Sumbangsih Rosa Luxemburg, khususnya lewat karyanya Pemogokan assa, Partai dan Serikat-serikat Buruh, yang menekankan pemogokan massa sebagai serangan proletariat yang menusuk langsung ke jantung kapitalisme:sektor industri dan alat-alat produksi. Sekaligus, pemogokan massa, sebagai instrumen vital baik dalam perjuangan menentang perang Imperialisme maupun membuka revolusi.

(5) Anti Revisionisme, Anti Reformisme, dan Anti Stalinisme. Perjuangan kaum revolusioner untuk melawan penyimpangan-penyimpangan terhadap Marxisme.

(6) Vanguardisme dan Partai Pelopor Revolusioner. Strategi yang dikembangkan Lenin dimana lapisan-lapisan paling maju dari proletariat atau kelas buruh diorganisir ke dalam partai dengan politik revolusioner dan berfungsi sebagai perwujudan kekuatan politik proletarian melawan musuh-musuh kelasnya sekaligus untuk memimpin kelas buruh dan rakyat pekerja menumbangkan kapitalisme serta merebut kekuasaan ke tangannya sendiri.

(7) Sentralisme Demokrasi. Prinsip-prinsip organisasi internal partai yang mengatur demokrasi dalam wujud kebebasan para anggota partai untuk mendiskusikan bahkan memperdebatkan isu-isu gerakan dan perjuangan sekaligus persoalan-persoalan kebijakan dan arah partai namun begitu keputusan partai telah ditentukan lewat voting mayoritas maka semua anggota harus menjalankan keputusan tersebut (sentralisme). Singkat kata kebebasan (demokrasi) dalam berdiskusi dan kesatuan (sentralisme) dalam tindakan.

(8) Perjuangan untuk memenangkan revolusi sosialis dan mendirikan kediktatoran proletar. Ini adalah persoalan prinsip pokok dan fundamental bagi ideologi suatu partai buruh revolusioner. Bahwasanya perjuangan kita bukan perjuangan reformisme untuk mewujudkan konsesi-konsesi bagi kaum buruh namun tetap dalam skema mengelola kapitalisme. Bukan perjuangan parlementarisme untuk mewujudkan pemerintah dan kabinet ‘kiri’ namun tetap berada dalam kerangka negara borjuis. Perjuangan kita adalah untuk memenangkan revolusi sosialis dan mendirikan kediktatoran proletar serta pada puncaknya mewujudkan sosialisme sedunia.

 (9) Internasionalisme proletar. Kapitalisme adalah suatu sistem global dan oleh karenanya kelas buruh harus bertindak sebagai suatu kelas global untuk mengalahkannya dalam perjuangan kelas. Dus, kelas buruh harus berjuang bersolidaritas dengan kawan-kawan buruhnya di negara-negara lain dengan landasan kepentingan kelas yang sama untuk menghindari penundukan, penjajahan, serta pemecahbelahan. Internasionalisme proletar terikat erat dengan cita-cita dan tujuan-tujuan revolusi dunia. Dengan demikian internasionalisme proletar menolak sauvinisme, nasionalisme, dan regionalisme.

(10) Anti Imperialisme. Perjuangan melawan kapitalisme juga merupakan perjuangan melawan imperialisme. Karena Imperialisme adalah tahapan tertinggi kapitalisme. Tentu saja anti imperialisme kita bukan anti imperialis model kaum pasifis yang menghendaki perdamaian (meskipun perdamaian itu berlangsung di bawah penindasan masyarakat kelas) dan menentang perang (meskipun perang itu adalah perang pembebasan nasional, perang kelas/revolusi, dan perang melawan kontra-revolusi). Anti imperialisme kita juga bukan anti imperialisme kaum kanan seperti Khomeinisme maupun politik rezim-rezim diktator anti AS yang menentang Imperialisme sepanjang bertentangan dengan kepentingan penindasannya (namun berkolaborasi dengan kaum Imperialis lain yang menjadi sekutunya). Pandangan Leninis soal Imperialisme, berdiri di atas pembongkaran terhadap dominasi ekonomi dan eksploitasi ekonomi suatu negeri, bukan (hanya) dominasi politik dan militer terhadap suatu bangsa dan negaranya, serta sumber dayanya. Sejatinya tujuan pokok imperialisme adalah eksploitasi ekonomi bukan sekadar kontrol terhadap suatu negeri atau wilayah semata. Oleh karena itu, dengan berlandaskan teori lima ciri Imperialisme, yang dijelaskan Lenin dalam Imperialisme – Tahapan Tertinggi Kapitalisme, bukan sekadar penentangan terhadap perang (Imperialis) namun juga penentangan terhadap sistem ekonomi kapitalis itu sendiri.

(11) Anti Fasisme. Fasisme adalah gerakan borjuis kecil dan lumpen proletar yang lahir akibat ekspresi krisis struktural mendalam yang melanda kapitalisme serta buah dari tendensi kapitalisme untuk mengorganisir kehidupan sosial secara totaliter. Sebagaimana dikatakan Trotsky “Fasisme memiliki fungsi historis untuk menghantam kelas buruh, menghancurkan organisasi-organisasinya, dan mencekik kebebasan politik saat kaum kapitalis tidak mampu memerintah dan mendominasi dengan mekanisme demokratis.” Ciri khusus fasisme, sebagaimana dikatakan Doug Lorimer dalam kata pengantar Fascism: What It Is and How to Fight It, “...(fasisme) tidak bergantung secara pokok kepada metode-metode represi negara-polisi. Ciri khas fasisme adalah ia merekrut kelas menengah yang frustasi, lumpen proletar, dan elemen-elemen kelas buruh terbelakang ke dalam suatu gerakan massa untuk mendemoralisasi, mengintimidasi dan mengatomisasi gerakan buruh melalui suatu kampanye pembunuhan dan teror.” Oleh karena itu perjuangan melawan fasisme adalah salah satu prinsip dasar yang bahkan harus dimiliki sejak berbentuk landasan ieologis. Selama kapitalisme masih hidup, terutama saat krisis dan kelas buruh gagal merebut kekuasaan, maka selama itu ada bahaya fasisme. Namun perjuangan melawan fasisme tidak bisa dibangun di atas kolaborasi kelas. Tidak bisa dibangun berdasarkan aliansi dengan borjuis ‘demokratis’ untuk melawan borjuis ‘fasis’. Keduanya lebih banyak kesamaan daripada perbedaan. Apalagi borjuis ‘demokratis’ jauh lebih takut terhadap gerakan buruh revolusioner dan kemungkinan proletariat merebut kekuasaan daripada takut terhadap ancaman kediktatoran fasisme. Oleh karena itu perjuangan melawan fasisme tidak bisa dibangun dengan Front Popular, melainkan harus dibangun dengan Front Persatuan, yang menyatukan seluruh kelas buruh dan rakyat pekerja, baik dari spektrum revolusioner maupun reformis, yang mana keduanya punya musuh bersama: fasisme. Kesimpulannya, menurut Doug Lorimer, “…satu-satunya cara efektif agar gerakan buruh bisa mengalahkan gerakan fasis adalah dengan menarik massa pekerja ke dalam suatu kesatuan kampanye kontra-mobilisasi, termasuk bela diri bersenjata oleh laskar-laskar buruh yang meliput ‘puluhan dan ratusan ribu pejuang’. Strategi demikian jelas berbeda dengan pasifitas kaum liberal dan reformis dengan ketergantungannya (dan pengharapannya) kepada negara kapitalis untuk melucuti gerombolan fasis, maupun berbeda dengan kaum ultrakiri dengan avonturismenya sekaligus ilusi kekanakannya bahwasanya fasisme bisa dikalahkan oleh minoritas militan yang menjalankan serangan-serangan fisik terhadap pertemuan-pertemuan dan reli-reli kaum fasis…

(12) Dukungan kepada bangsa-bangsa yang ditindas imperialisme untuk mendapatkan hak menentukan nasib sendiri (self determination). Kapitalisme yang telah mencapai tahapan tertingginya yaitu Imperialisme, selalu akan menindas bangsa-bangsa lainnya untuk terus melanggengkan penghisapannya. Oleh karena itu ideologi partai buruh revolusioner perlu menekankan bukan hanya anti-imperialisme namun juga dukungan terhadap perjuangan pembebasan nasional. Daerah-daerah dan bangsa-bangsa jajahan merupakan salah satu urat nadi penghisapan Imperialisme sekaligus militerisme dan rezim borjuis pelayanannya, oleh karena itu kemenangan pembebasan nasional tidak hanya akan memutus rantai penindasan namun juga akan melemahkan Imperialis dan pemerintahan borjuis di negara Imperialis tersebut. Selain itu kemerdekaan bagi bangsa-bangsa tertindas akan mempercepat pembelahan masyarakat di atas garis kelas. Sehingga pembentukan kelas buruh dan rakyat pekerja yang memisahkan diri dari borjuasi nasional serta kapitalis birokrat di negara (bekas) jajahan akan semakin mempererat internasionalisme revolusioner dan solidaritas antar kelas buruh sedunia.

Sebagaimana jauh-jauh hari dikatakan Lenin: “Kaum proletariat harus melawan pengekangan paksa bangsa-bangsa yang tertindas di dalam batas-batas bangsa tertentu, dan inilah makna perjuangan untuk hak penentuan nasib sendiri. Kaum proletariat harus menuntut hak politik untuk memisahkan diri bagi negeri-negeri jajahan dan bagi bangsa-bangsa yang ditindas oleh bangsanya “sendiri”. Jika kaum proletariat tidak melakukan hal itu, internasionalisme proletariat akan menjadi ungkapan yang tidak bermakna; saling percaya dan solidaritas klas antar buruh dari bangsa-bangsa yang menindas dan tertindas akan menjadi mustahil…Kaum Sosialis dari bangsa-bangsa yang tertindas, di sisi yang lain, secara khusus harus berjuang untuk dan mempertahankan persatuan absolut (juga secara organisasional) antara buruh dari bangsa yang tertindas dengan buruh dari bangsa yang menindas. Tanpa persatuan semacam itu akan menjadi mustahil untuk mempertahankan kebijakan proletariat yang independen dan solidaritas kelas dengan proletariat dari negeri-negeri lain di hadapan semua akal-akalan, pengkhianatan dan tipu daya borjuasi

Dengan demikian, KPO PRP harus memberikan dukungan terhadap perjuangan pembebasan nasional di dunia, khususnya dalam konteks di Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan West Papua. Sedangkan dalam konteks dunia, harus memberikan dukungan terhadap perjuangan pembebasan nasional Palestina, Kurdistan, Catalonia, dan sebagainya.

(13) Perjuangan untuk menghapuskan segala bentuk penindasan yang disebabkan oleh masyarakat kelas, khususnya oleh kapitalisme. Dengan demikian selain mendukung perjuangan kelas buruh untuk menumbangkan kapitalisme dan merebut kekuasaan, juga secara aktif memajukan perjuangan pembebasan perempuan, penghapusan rasisme dan segala bentuk diskriminasi sosial, perlawanan terhadap sektarianisme dan fundamentalisme agama, serta perjuangan kesetaraan hak LGBT untuk menghancurkan homophobia dan heteroseksisme. Sebagaimana dikatakan Lenin, “Cita-cita kaum sosialis seharusnya tidak menjadi sekretaris serikat buruh, tetapi menjadi corong rakyat, yang mampu bereaksi terhadap setiap tirani dan penekanan, tidak peduli di mana munculnya, tidak peduli golongan apa yang bersangkutan; yang mampu menggeneralisir semua perwujudan ke dalam sebuah gambaran dari kekejaman polisi dan eksploitasi kapitalis; yang mampu mengambil keuntungan dari setiap kejadian betapapun kecilnya, untuk menyatakan di depan umum pendirian sosialis dan tuntutan demokratisnya, demi menjelaskan kepada semua orang tentang pentingnya perjuangan sejarah dunia untuk emansipasi kaum proletar.

Peranan demikian akan bisa diwujudkan bilamana partai memiliki medianya sendiri, khususnya koran yang terbit secara teratur. Koran revolusioner, dengan demikian, menduduki posisi penting dalam organisasi revolusioner. KPO PRP sebagai organisasi sosialis revolusioner oleh karenanya tidak jemu-jemu bukan hanya menekankan pentingnya menjalankan kerja-kerja koran namun juga mengerahkan segala cara dan upaya yang dibutuhkan untuk merealisasikannya.

Tentu saja konsolidasi ideologi demikian juga tidak cukup tanpa disertai dengan konsolidasi politik. Sebagaimana yang disampaikan dalam paragraf-paragraf sebelumnya. Ini artinya mempertahankan dan membela mandat dari Kongres III KPO PRP (Program Maksimum, Program Minimum, Strategi dan Taktik, Program Kerja). Kemudian mempertahankan dan membela keputusan-keputusan dari Komite Sentral, Biro Ideologi, Biro Politik, Biro Organisasi, dan Dewan Redaksi Arah Juang.

FBL 3Sebagaimana mandat Kongres III KPO PRP, berikut Program Maksimum dan Program Minimum KPO PRP:

Program Maksimum

  1. Pemusatan kepemilikan seluruh alat produksi dan sumber daya ekonomi (pabrik, bank, komunikasi, energi, tanah, air, dan lain-lain) ke tangan negara kelas buruh.
  2. Penerapan industrialisasi dan teknologisasi alat-alat produksi bagi peningkatan kekuatan produktif masyarakat sekaligus bagi keberlangsungan alam.
  3. Penghapusan hak waris dan dikembalikan ke negara
  4. Membangun pertanian kolektif dan modern melalui dewan-dewan tani.
  5. Pemenuhan secara terencana kebutuhan hidup pokok seluruh rakyat
  6. Pembubaran tentara reguler dan pembentukan milisi rakyat
  7. Pembubaran parlemen dan birokrasi negara borjuasi serta pembangunan dewan-dewan rakyat.
  8. Internasionalisme

Program Minimum

  1. Nasionalisasi atas aset-aset vital nasional (energi, perbankan, infrastruktur, komunikasi, dll) dibawah kontrol klas buruh dan rakyat pekerja.
  2. Penghapusan hutang luar negeri.
  3. Membangun solidaritas internasional.
  4. Laksanakan reforma agraria.
  5. Industrialisasi dan teknologisasi nasional yang ramah lingkungan bagi pemenuhan kebutuhan hidup rakyat; yaitu meningkatkan industrialisasi atas kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat, pembatasan dan pengurangan impor dari negara-negara imperialis, serta pembukaan lapangan pekerjaan.
  6. Pendidikan gratis, ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan
  7. Kesehatan gratis dan berkualitas serta terakses
  8. Redistribusi kekayaan nasional melalui:
  9. Peningkatan pajak dari pengusaha dan orang kaya.
  10. Pemberantasan korupsi dan penyitaan harta koruptor.
  11. Peningkatan subsidi bagi kebutuhan pokok rakyat.
  12. Pembukaan ruang demokrasi yang lebih besar:
  13. Kebebasan berkumpul, berpendapat dan berekspresi,
  14. Kebebasan berorganisasi atau berserikat,
  15. Kebebasan berpolitik,
  16. Kebebasan berideologi,
  17. Kebebasan beragama dan berkeyakinan,
  18. Kebebasan orientasi, identitas dan ekspresi seksual,
  19. Kebebasan pers,
  20. Menghapus peran militer dalam ranah sipil :
  21. Bubarkan komando teritorial,
  22. Militer kembali ke barak,
  23. Pemberian hak sekaligus kewajiban bekerja secara layak bagi seluruh masyarakat usia produktif, dan demikian juga pendapatan yang layak bagi seluruh masyarakat produktif.
  24. Perlindungan khusus bagi kaum perempuan, anak, lansia, kaum miskin, lgbt, difsable dan minoritas agama, suku serta etnis.
  25. Hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi West Papua
  26. Hentikan eksploitasi alam, perlindungan lingkungan, dan terapkan energi terbarukan;
    1. Tolak reklamasi
    2. Rehabilitasi lahan paska tambang
    3. Tolak eksploitasi kawasan karst
  27. Pengadilan HAM berat: kasus Malapetaka 1965, kerusuhan reformasi 1998, DOM Aceh, Papua, Timor Leste, dan sebagainya.
  28. Kemerdekaan Palestina.

Strategi Taktik dan Program Kerja

Kongres III KPO PRP memberikan penekanan pada pembangunan partai revolusioner. Mengangkat partai revolusioner ke tempat seharusnya, sebagai strategi utama yang akan dilakukan KPO PRP dalam perjuangan revolusioner. KPO PRP tidak menutup mata terhadap berbagai kelompok kiri lainnya sehingga kami juga mengupayakan taktik pembangunan partai revolusioner. Saat ini kami melihat kawan-kawan Partai Pembebasan Rakyat (PPR) yang memiliki beberapa kesamaan dengan kami.

Strategi utama lain yang diputuskan adalah membangun persatuan rakyat pekerja. Hal ini dilakukan dengan taktik front persatuan. Termasuk pembangunan front persatuan dengan serikat-serikat buruh di tingkatan lokal.

Berhubungan dengan itu adalah strategi untuk meningkatkan kesadaran kelas dengan pembangunan alat-alat propaganda serta wadah-wadah perjuangan kelas. Maka KPO PRP mengintensifkan penerbitan koran Arah Juang menjadi 2 mingguan serta akan menerbitkan Jurnal Bumi Rakyat. Termasuk juga memperkuat Rumah Penerbitan Bintang Nusantara.

Untuk membangun kesadaran kelas tersebut maka dibutuhkan pemblejetan terhadap musuh-musuh revolusi seperti kelas borjuis, militerisme, kelompokk reaksioner dan sisa-sisa feodalisme. Terkait juga dengan membangun persatuan rakyat pekerja maka dibutuhkan untuk memblejeti elit-elit birokrasi serikat buruh secara khusus dalam hal kolaborasi mereka dengan kelas borjuis serta anti demokrasinya. Selain itu kritik juga dilakukan terhadap gerakan dan elit-elit moderat yang mengilusi massa.

Untuk perdebatan mengenai taktik partai massa, Kongres III KPO PRP akan memutuskannya dalam konferensi.

Patut diketahui sebagian dari mandat Kongres III KPO PRP ini berusaha diingkari bahkan dimanipulasi oleh KMB. Termasuk salah satu di antaranya mandat persatuan revolusioner dengan Partai Pembebasan Rakyat (PPR). KMB bahkan mensabotasenya dengan memboikot PPR. Mereka ngotot memprioritaskan Konferensi Taktik (Konfertak) padahal tidak ada mandat konfertak. Apa yang ada adalah taktik partai massa diputuskan dalam konferensi. Ini pun setelah Konferensi Persatuan Revolusioner dengan PPR.

Akhirnya konsolidasi ideologi dan politik ini harus dilengkapi dengan konsolidasi organisasi. Kami menyerukan kawan-kawan KPO PRP untuk bergabung dengan kami dalam perjuangan mempertahankan dan membela keputusan-keputusan dari Komite Sentral, Biro Ideologi, Biro Politik, Biro Organisasi, dan Dewan Redaksi Arah Juang. Termasuk di dalamnya adalah memenangkan seluruh cabang, badan, dan struktur organisasi KPO PRP ke dalam garis revolusioner. Kemudian memverifikasi seluruh keanggotaan KPO PRP dan menerapkan pendisiplinan terhadap seluruh praktik pelanggaran yang ada. Tak ketinggalan yang sangat penting adalah membentuk Faksi Bolshevik Leninis sebagai upaya terkonsolidasi dan terorganisir untuk melawan berbagai anasir yang membahayakan bahkan merusak KPO PRP.

Menangkan Ideologi Bolshevisme-Leninisme!

Kalahkan Anasir-anasir Perusak Partai!

Bangun Partai Revolusioner demi Perjuangan Kelas Buruh untuk Sosialisme!

Dipo Negoro

Dipta Abimana

Kuggi Kayla

Leon Kastayudha

Surtikanti

Yuri Aldebaran

 

REFERENSI:

Bumi Rakyat. Minggu V Juli 2014. Apa yang Diperjuangkan Bumi Rakyat. Malang: Bumi Rakyat.

Landau, Bruce. 2003. Lenin dan Partai Bolshevik. Bintang Nusantara: Yogyakarta.

Lenin, Vladimir Ilyich. 1916. Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri. Marxist Internet Archives seksi Indonesia. (https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-hakpenentuannasibsendiri.htm, diakses pada 15 Januari 2016).

Lenin, Vladimir Ilyich. 1902. What is to Be Done? Burning Questions of Our Movement. Selected Works, Vol. 1. Moscow: Progress Publisher

Lenin, Vladimir Ilyich. 1913. Marxism and Reformism. Moscow: Progress Publisher.

Lorimer, Doug. 2002. “Introduction” dalam Leon Trotsky, What is Fascism and How to Fight It. 1933. New South Wales: Resistance Books.

Trotsky, Leon. 1930-1933. The Struggle Against Fascism in Germany. Marxist Internet Archives.

Loading

Comment here