AksiReportase

Yogyakarta Aksi Adili Sitok Bu(d)ayawan Pelaku Kekerasan Seksual

Aksi Tolak SitokYogyakarta- 18 Mei 2017 tepatnya kamis malam, sekitar pukul 19.30 di Langit Art Space, Bantul Yogyakarta, pembukaan pameran tunggal Sitok Srengenge disambut dengan aksi massa oleh kawan-kawan yang tergabung dalam Aliansi Tolak Buayawan Pelaku Kekerasan Seksual: Sitok Srengenge. Aksi tersebut merupakan respon terhadap Sitok Srengenge yang masih berkeliaran bebas meski telah berulangkali melakukan tindak kekerasan seksual.

Terhitung sejak tahun 2013, kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh Sitok belum juga menemui titik terang. Sitok dilaporkan dalam kasus pemerkosaan pada November 2013. Sitok telah memperkosa, namun kasus ini tidak berjalan dengan adil. Hampir satu tahun berjalan, Sitok baru ditetapkan menjadi tersangka pada Juli tahun 2014. Namun selang berapa waktu dari penetapan tersangka, media memberitakan bahwa kasus ini akan di-SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) karena lemahnya bukti-bukti. Sampai hari ini, setelah hampir 4 tahun berjalan Sitok masih berkeliaran bebas tanpa diadili atas kejahatannya.

Karena tidak adanya keadilan untuk korban dan Sitok masih melenggang bebas tanpa diadili, kerap kali terjadi aksi massa atas penolakan terhadap ruang-ruang untuk Sitok khususnya di dalam ruang-ruang kesenian. Tak luput pada kamis malam lalu, aksi adili Sitok merupakan bukti bahwa keadilan harus ditegakan.

Aksi tersebut dimulai ketika beberapa massa aksi yang berada di dalam area pembukaan pameran membentangkan spanduk bertuliskan “Tangkap Sitok Bu(d)ayawan Mesum!” di tengah-tengah bangku penonton, tepat setelah sambutan pembukaan pameran. Segera setelah spanduk terbentang, petugas keamanan yang terdiri dari organisasi reaksioner, polisi dan TNI merepresi para pembawa spanduk dengan menarik-narik hingga keluar dari bangku penonton.

Dengan segera massa aksi yang lain berkumpul di belakang spanduk sambil meneriakkan “Sitok pemerkosa!” berulang-ulang. Hal ini kemudian ditanggapi dengan represi dari petugas dan organisasi reaksioner, bahkan terdapat juga ancaman hendak memperkosa dari kaum reaksioner yang mengenakan kaos hitam bertuliskan FKPPI kepada salah satu perempuan dari massa aksi.

Polisi pun terus melakukan intimidasi dengan beberapa kali akan merebut spanduk, mencari-cari penanggung jawab aksi tersebut. Namun, kekuatan massa membuat polisi kelimpungan, karena massa dengan serentak dan tegas menjawab “semua bertanggung jawab”. Massa aksi tidak hanya meneriakan “Sitok Pemerkosa”, “Tangkap Sitok”, tapi juga menyebarkan selebaran propaganda terkait perbuatan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Sitok.

Setelah berbagai intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian, TNI, dan milisi sipil reaksioner, situasi cukup mereda. Maka, setelah situasi mereda, aksi dilanjutkan dengan pembacaan tuntutan yang berisi:

  • Penjarakan Sitok Srengenge,
  • Usut kasus-kasus serupa yang dilakukan budayawan-budayawan seperti Sitok,
  • Perkuat UU mengenai perempuan yang masih lemah,
  • Menuntut keadilan untuk seluruh perempuan-perempuan yang sudah dilukai hak dan harga dirinya.

Sasaran dari aksi ini adalah menolak lupa bahwa Sitok belum diadili dan menuntut keadilan hukum atas kejahatan Sitok serta mengkampanyekan kepada massa luas bahwa Sitok Srengenge adalah pelaku pemerkosaan yang tidak bertanggung jawab atas kejahatannya. Aksi massa juga mengeluarkan pernyataan sikap bahwa mereka dengan tegas menolak segala bentuk upaya penyelenggaraan karya-karya Sitok dimanapun.

Dari kejadian tersebut, kita dapat mengetahui bahwa masih bebasnya Sitok Srengenge yang telah berulangkali melakukan kekerasan seksual menunjukkan hukum sama sekali tidak mencerminkan keadilan. Bahwa hukum beserta aparat penegak hukum memihak kepada pemerkosa. Hal tersebut juga membuktikan bahwa dalam penyelesaian kekerasan seksual dan perjuangan pembebasan perempuan tidak bisa dititipkan kepada negara. (ab,m)

Loading

Comment here