Teori

Merahnya Pelangi: Pandangan Kaum Sosialis terhadap LGBTI

Sejak pengesahan legalitas pernikahan sesama jenis melalui pengadilan Amerika Serikat (AS) yang diperingati Facebook dengan filter foto pelangi, isu terkait Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Interseks (LGBTI) telah masuk ke isu arus utama/”mainstream” di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Meskipun demikian Kaum LGBTI di Indonesia masih sangatlah ditindas, didiskriminasi, dan diintimidasi dibandingkan dengan kaum LGBTI di negara-negara kapitalis maju. Berbagai media borjuasi, mulai dari TV One, Republika, dan lainnya, menyorot LGBTI sebagai penyimpangan, kelainan, penyakit jiwa, bahkan seolah-olah sebagai ancaman.

Tentu saja kaum LGBTI sangatlah gampang dikambinghitamkan sebagai pengalih dari semakin menajamnya kontradiksi kelas dan krisis kapitalisme. Semakin banyaknya represi serta pemberangusan serikat terhadap kaum buruh, semakin kejamnya penindasan dan perampasan tanah terhadap kaum tani, semakin sering dan meluasnya penggusuran terhadap kaum miskin kota, semakin memburuknya kondisi ekonomi yang berbanding terbalik dengan semakin banyaknya potongan pajak dan tunjangan terhadap kaum kapitalis di satu sisi serta di sisi lain pencabutan berbagai subsidi dan naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok, membuat kelas penindas yang berkuasa mencari kambing hitam untuk mengalihkan kemarahan rakyat dari sistem yang menindas ini. Kaum Syiah, Ahmadiyah, minoritas keagamaan lainnya, dan Nasionalis Papua, yang dulunya sering dijadikan pengalihan sasaran kemarahan, tidak lagi bisa terus-menerus dkambinghitamkan karena semakin lama malah semakin menuai simpati. Oleh karena itu Kaum LGBTI yang jauh lebih rentan dan lebih mudah jadi sasaran sentimen serta prasangka reaksioner menjadi kambing hitam baru yang lebih potensial.

Kenyataannya LGBTI bukanlah abnormalitas atau penyakit sakit jiwa sebagaimana dituduhkan kaum bigot dan kaum reaksioner. Homoseksualitas dan biseksualitas termasuk dari empat jenis kategori orientasi seksual: heteroseksual, homoseksual, biseksual, dan aseksual. Semuanya merupakan variasi normal dan alami dalam seksualitas manusia dan sama sekali bukan sumber efek psikologis negatif. Bahkan di tahun 1999 terdapat dokumentasi ilmiah yang membuktikan bahwa homoseksualitas juga bisa ditemukan di lebih dari 500 spesies selain manusia[1][2]. Bukti ini diperkuat oleh Universitas Oslo yang malah di tahun 2006 berhasil menunjukkan homoseksualitas justru bisa ditemukan di 1.500 spesies[3]. Bruce Bagemihl, menyatakan, “satwa memiliki keanekaragaman seksual yang jauh lebih besar—termasuk homoseksual, biseksual, dan seks non-reproduktif…”[4]. Jadi tidak benar pandangan bigot yang menyatakan bahwasanya kaum LGBTI gila dan abnormal karena binatang saja tidak ada yang mau berhubungan seks sesama jenis. Justru pandangan kaum bigot yang tidak ilmiah, tidak dilandasi fakta, dan hanya berbasiskan prasangka serta sentimen homophobia dan heteroseksisme.

Kenyataannya konsep hubungan sesama jenis sudah berlangsung sejak lama. Indonesia misalnya mengenal beberapa pementasan seni tradisional yang menerapkan konsep “cross-dresser” atau seniman mengenakan busana lawan jenisnya seperti ludruk dan lengger. Selain itu praktik homoseksualitas juga terekam dalam kitab Serat Centhini yang disusun dan diterbitkan sekitar 1814 di Surakarta. Salah satu bagian dalam kitab itu mengisahkan Mas Cabolang dan para pelayannya menemui pasangan penari Jathilan yang merupakan homoseksual di daerah Ponorogo. Mas Cabolang dan para pelayannya yang digambarkan rupawan kemudian juga mengalami pengalaman yang lebih seksual dengan para perempuan selain dengan para penari Jathilan laki-laki. Selain itu juga ada peristiwa dimana ia dan Nurwitri terlibat dengan hubungan homoseksual dengan Bupati Wirosobo[5]. Selain itu hubungan sesama jenis juga terdapat dalam hubungan Warok-Gemblak di Jawa Timur. Warok, memiliki konotasi sebagai pahlawan daerah atau jagoan sekaligus praktisi kesenian Reog Ponorogo. Sesuai tradisi, Warok memiliki pantangan wajib dilarang berhubungan seksual dengan perempuan. Namun mereka diperbolehkan berhubungan seks dengan laki-laki berusia delapan sampai 15 tahun dimana partner seks ini disebut Gemblak meskipun hubungan Warok-Gemblak tidak mengenal istilah maupun kosakata “homoseksual. Dede Oetomo dari Arus Pelangi menyebutkan terdapat publikasi di tahun 1941 yang mendokumentasikan hubungan antara warok perempuan dengan gemblak perempuan pula.”[6]. Selain itu juga terdapat ritual inseminasi terhadap anak laki-laki Papua yang melibatkan “homoseksualitas”. Praktik ini tercatat berlangsung di kaum Melanesia, seperti Sambia dan Etoro di Papua Nugini serta di orang-orang Kimam di provinsi Papua bagian selatan Indonesia[7] dimana demi peralihan kedewasaan, anak-anak Papua diharuskan menerima sperma melalui oral seks atau anal seks. Umumnya laki-laki yang berperan sebagai inseminator adalah anggota suku yang lebih tua. Selain itu masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan bahkan mengenal lima gender dimana dua gender yang serupa dengan laki-laki yaitu oroané dan perempuan yaitu makkunrai serta sisanya adalah bissu (menyerupai konsep androgini), calabai (laki-laki dari segi fisik namun berperan sebagai perempuan), dan calalai (perempuan dari segi fisik namun berperan sebagai laki-laki)[8]. Bahkan secara tradisional di masa silam, bissu dipandang sebagai perantara antara manusia dan dewa[9]. Semua ini menunjukkan tuduhan yang menuding bahwasanya homoseksualitas, biseksualitas, dan transseksualitas atau keberadaan LGBTI sebagai fenomena impor dari Barat apalagi konspirasi untuk menghancurkan Indonesia adalah tudingan yang absurd, tidak ilmiah, bahkan terbantahkan dari kacamata sejarah dan antropologi.

Dalam sejarahnya, keberadaan LGBTI ini juga bisa ditemukan di semua benua, meskipun dalam istilah yang berlainan. Kaum pribumi Amerika (yang secara salah kaprah disebut “Indian”) mengenal bentuk umum hubungan sesama jenis dalam sosok individu yang mereka sebut Dua Roh, suatu konsep yang menyerupai Transgender. Orang yang disebut Dua Roh ini diakui sedari dini. Mereka bahkan diberi pilihan memilih jalan gender yang mana dan bila yang bersangkutan telah menerimanya, mereka akan dibesarkan sesuai pilihannya. Bukan hanya tidak mengalami diskriminasi, seorang Dua Roh biasanya bahkan umumnya merupakan dukun yang dianggap memiliki kekuatan lebih besar dibandingkan dukun biasa. Selain di Amerika Utara, orang-orang homoseksual dan transgender juga lazim berada di antara masyarakat-masyarakat di Amerika Latin seperti Aztek, Maya, Quechua, Moche, Zapotek, dan Tupinamba di Brasil[10][11]. Selain itu praktik-praktik hubungan sesama jenis juga dilakukan di Afrika. Misalnya kaum perempuan di Lesotho yang mempraktikkan Motsoalle. Dimana perempuan yang sudah menikah dengan laki-laki lain melakukan hubungan intim dengan perempuan lainnya[12]. Sedangkan di Asia, hubungan sesama jenis bahkan terekam sejak 600 tahun Sebelum Masehi di Tiongkok dimana terdapat literatur dinasti Ming seperti Bian Er Chai yang menggambarkan hubungan homoseksual serta tulisan-tulisan dari Dinasti Liu Song yang mencatat bahwa homoseksualitas sama umumnya dengan heteroseksualitas[13]. Sedangkan di Asia Selatan, terdapat Hukum Manu  yang termasuk bagian dari Hindu yang mencantumkan anggota “seks ketiga” yang bisa mempraktikkan ekspresi gender non-tradisional dan aktivitas-aktivitas homoseksual[14]. Sementara itu di Timur Tengah, khususnya masa pra-Islam, misalnya dalam peradaban Assyria kuno, terdapat keberadaan homoseksualitas secara umum yang tidak dilarang, tidak dikutuk, dan tidak dianggap amoral atau mengganggu. Bahkan beberapa naskah agama memuat doa-doa maupun pemberkatan-pemberkatan terhadap hubungan sesama jenis[15]. Iran juga bukan perkecualian. Zaman dinasti Safavid awal, antara tahun 1501-1723, terdapat keberadaan dan ekspresi homoseksual yang diterima secara meluas. Baik di biara-biara, kedai-kedai, warung-warung kopi, kedai-kedai, hingga pemandian-pemandian dan biara-biara. Bahkan Eropa juga bukan perkecualian. Aktivitas hubungan sesama jenis tercatat ada di masyarakat Yunani kuno, Romawi kuno, peradaban Celtik, Cretans, dan sebagainya.

Hubungan antara Bangkitnya Masyarakat Kelas dan Bangkitnya Dominasi Heteroseksual

Memang menyebar dan meningkatnya pengaruh agama Abrahamik (Yudaisme, Kristianitas, dan Islam) berkontribusi dalam menurunnya penerimaan serta toleransi terhadap hubungan sesama jenis. Namun bangkitnya dominasi heteroseksual dan merajalelanya pelarangan serta penindasan terhadap LGBTI sebenarnya lebih dikarenakan semakin tajamnya tuntutan masyarakat kelas yang berbasis penindasan untuk menjamin reproduksi kaum tertindas untuk dieksploitasi.

Sherry Wolf, dalam tulisannya berjudul “The Roots of Gay Oppression” dalam International Socialist Review mengungkap bahwa penindasan terhadap hubungan sesama jenis berkaitan erat dengan penindasan terhadap perempuan sekaligus konstruksi keluarga yang muncul seiring bangkitnya masyarakat kelas[16]. Sebagaimana dikemukakan Friedrich Engels, institusi keluarga, dalam bentuk yang kita kenal hari ini, bukanlah merupakan institusi atau fenomena yang selalu ada dalam seluruh sejarah peradaban dan perjalanan manusia[17]. Oleh karenanya, Wolf mengemukakan, akar penindasan terhadap LGBTI bisa dilacak dalam perubahan peran keluarga yang terjadi dari waktu ke waktu.

Sebelum masyarakat kelas berdiri, sebelum manusia mencapai dan mengembangkan kemampuan untuk menyimpan pangan dan benda-benda lain sebagai suatu surplus, praktis tidak ada kekayaan sama sekali untuk ditimbun. Dalam masyarakat komunal primitif demikian tidak ada basis material bagi kesenjangan sosial. Demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, kelompok-kelompok tersebut melakukan aktivitas berburu dan meramu. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan tinggal di gua-gua. Ini bisa dibuktikan melalui temuan-temuan arkeolog, sisa-sisa peninggalan sejarah dari kehidupan masa lampau. Dalam berburu dan meramu, masyarakat komunal primitif menggunakan alat dari batu seperti kapak batu. Perburuan umumnya mereka lakukan bersama-sama dan biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Hasil dari buruan kemudian dibawa pulang dibagi rata. Sedangkan kaum perempuan yang tidak ikut berburu, akan meramu hasil buruan tersebut agar bisa dinikmati bersama[18]. Demikianlah bagaimana hubungan produksi kolektif dijalankan oleh masyarakat komunal primitif. Pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dilakukan secara bersama dan hasilnya pun dinikmati secara bersama. Baik alat produksi, sasaran produksi, sampai hasilnya tidak menjadi hak segelintir orang saja. Kemudian karena tidak ada kekayaan untuk diwarisi oleh orang-orang secara individual maka tidak ada pembagian orang-orang ke dalam unit-unit keluarga secara individual. Sebaliknya organisasi sosial manusia pra masyarakat kelas berbasiskan klan-klan besar dan produksi, distribusi, bahkan pengasuhan anak secara kolektif.

Pada perkembangannya selain mengurusi anak, kaum perempuan menemukan bahwa sisa makanan dari hasil meramu yang tidak bisa dikonsumsi, seperti biji-bijian, kemudian juga mulai bercocok tanam untuk cadangan kebutuhan sehari-hari. Inilah yang kemudian melahirkan sistem bercocok tanam pertama kali dalam sejarah manusia dan kaum perempuan adalah pelopornya. Ini pula yang menandai garis keturunan matrilineal atau yang menempatkan kaum perempuan dalam kedudukan penting dalam masyarakat, karena keberhasilannya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam masyarakat. Peristiwa ini dikenal di catatan-catatan sejarah sebagai Revolusi Neolitik. Disebut demikian karena terjadi pada bagian era zaman batu, dimana alat produksi utama masih berupa batu yang diasah. Revolusi Neolitik ini terjadi pada sekitar 15.000 SM dengan kemungkinan besar pada beberapa tempat di dunia seperti di Asia Kecil, Mesopotamia, Persia, Turkestan, dan lambat laun menyebar ke Mesir, India, Tiongkok, Afrika Utara, serta Eropa Mediterania[19]. Keberhasilan dalam bercocok tanam atau bertani ini, pada perkembangannya membuat kehidupan berburu dan meramu mulai ditinggalkan sedikit demi sedikit. Sebab di satu sisi kehidupan berburu menyimpan resiko besar berupa kematian anggota komune saat berburu dan belum tentu mampu mendapatkan buruan. Selain itu populasi hewan buruan bisa habis bila terus diburu. Maka kalangan pemburu mulai menangkapi binatang-binatang untuk kemudian dikembangbiakkan sebagai persediaan makanan. Praktek ini disebut domestifikasi atau penjinakan binatang liar menjadi binatang ternak. Hal ini berhubungan juga dengan perkembangan agrikultur dan penemuan mata bajak. Dengan perkembangan agrikultur maka muncul basis material bagi kemunculan kelas-kelas. Terbaginya masyarakat ke dalam Kelas disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, sebagai contoh yang terjadi di Mesir Kuno atau Yunani Kuno, dimana tidak terjadi adanya penaklukan-penaklukan, yang menjadi penyebabnya pembagian kerja dalam masyarakat. Pembagian kerja ini mengasumsikan adanya pemisahan para produsen yang terlibat di dalam berbagai bentuk aktivitas produksi dan adanya pertukaran antar produksi yang dihasilkan oleh kerja mereka. Pertama-tama, terjadinya pemisahan antara kerja bertani dan kerja beternak, kedua, pekerjaan kerajinan tangan terpisah dari kerja pertanian, dan ketiga, muncul usaha jasa (seperti manajemen, pencatatan, administrasi publik dalam bentuknya yang masih sangat awal atau primitif) dipisahkan dari kerja manual. Pembagian kerja secara sosial dan pertukaran antar surplus hasil produksi inilah yang menyebabkan terjadinya pemilikan pribadi terhadap alat-alat produksi. Dengan demikian sistem komunal dan egaliter ini makin rusak karena pemusatan kekuasaan terhadap kontrol produksi oleh segelintir orang. Mulai muncul dua pihak yang berbeda dalam pembagian kerja. Pertama, pihak yang mengerjakan/menggarap sawah, mengurusi ternak, peralatan, dan mengatur peralatan dimana bila mereka tidak bekerja maka masyarakat itu akan goyah. Kedua, pihak yang menguasai surplus atau nilai lebih yang dihasilkan dari pihak pekerja. Untuk pertama kalinya, eksploitasi dikenal dalam sejarah manusia, yaitu kehendak, kemampuan, dan praktek segelintir manusia mengambil keuntungan dari sekolompok manusia lainnya. Ini kemudian memunculkan kelas-kelas dalam masyarakat yang mengandung sifat-sifat antagonis satu sama lain dikarenakan pemilikan alat-alat produksi secara komunal dihilangkan. Kemunculan kelas ini tertampakkan sebagai pengelompokan-pengelompokan sosial yang tidak setara dalam proses produksi sosial. Masyarakat kemudian terbagi menjadi golongan kaya dan miskin, penindas dan tertindas serta kesenjangan pun merajalela[20]. Pembentukan masyarakat kelas ini kemudian disempurnakan dengan proses pembudakan anggota-anggota kelompok lain yang ditaklukan melalui pertempuran atau pembudakan terhadap anggota-anggota kelompok sendiri yang selama ini terjerat hutang. Sejak adanya surplus produksi tawanan yang tertangkap dalam perang dapat diberi makan, maka mulai diterapkan sistem kerja paksa berdasarkan perbudakan. Inilah pola umum munculnya masyarakat kepemilikan budak.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa dengan pengambil alihan teknik bercocok tanam serta domestifikasi binatang (termasuk ternak untuk menarik bajak mengolah lahan) yang bukan hanya memungkinkan surplus untuk diakumulasi namun juga membawa pada seksisme terhadap kaum perempuan sekaligus munculnya kelas-kelas sosial, bangkitnya masyarakat kelas, serta kemungkinan transfer kekayaan dalam bentuk warisan. Bangkitnya keluarga dalam konsep “nuclear family” sebagaimana kita kenal sampai sekarang adalah salah satu konsekuensinya. Malah secara etimologis, kata “family” berkaitan dengan istilah “famulus” untuk menyebut budak-budak rumah tangga sedangkan “familia” sendiri berarti “jumlah total budak yang dimiliki seorang laki-laki.”[21]. Pernikahan kemudian secara hakiki lebih bersifat ekonomis. Bukan sesuatu yang absolut dengan asmara dan romantika. Sebab pernikahan menjadi sarana transfer kekayaan sekaligus pemeliharaan hubungan-hubungan antar kelas penguasa secara damai sekaligus mempertahankan reproduksi kelas bawah atau kelas tertindas. Oleh karena itu seks dan reproduksi dalam masyarakat kelas bukan sekadar soal biologis melainkan juga ekonomi-politik. Saat masyarakat kelas pertama, yaitu masyarakat perbudakan, runtuh dan digantikan masyarakat feodalisme mulailah muncul pengaturan (ruling) dan pengendalian (controlling) terhadap reproduksi serta seksualitas manusia secara lebih ketat. Dalam masyarakat perbudakan, reproduksi kelas tertindas dilakukan secara utama dengan memperbanyak keturunan budak namun dengan memperbanyak orang yang diperbudak. Sedangkan dalam masyarakat feodal, reproduksi kelas tertindas mulai harus semakin berbasiskan reproduksi seksual.

Oleh karena itu kita bisa menemukan dalam catatan sejarah ternyata homoseksualitas di benua Amerika, misalnya, justru baru dihancurkan oleh para penjajah Spanyol. Kaum kolonialis ini tidak hanya melarang namun juga secara brutal menerapkan eksekusi publik, pembakaran hidup-hidup, atau hukuman mati dengan dikoyak-koyak oleh anjing-anjing[22]. Sedangkan homoseksualitas di Tiongkok baru mulai dilarang secara sistematis di masa akhir Dinasti Qing serta secara massif ditindas dalam periode Westernisasi dan industrialisasi di awal abad 20[23]. Kemudian bagi masyarakat Melanesia, penolakan, pelarangan, atau permusuhan terhadap aktivitas serta hubungan di luar heteroseksual malah baru tumbuh akibat misionaris-misionaris Eropa yang beriringan dengan masuknya kolonialisme di Pasifik Selatan[24].

Ini tentu saja terlebih dahulu diawali dengan pelarangan terhadap homoseksualitas di Eropa. Wolf mengungkap, bahwa di tahun 1533, Raja Henry VIII di Inggris mengeluarkan Buggery Act, undang-undang yang menghukum mati laki-laki atas tindakan “buggery”—istilah pada masa itu untuk menyebut hubungan seks non-reproduktif[25]. Ini sebenarnya memiliki basis material dimana meluasnya koloni atau jajahan Inggris juga menuntut kebutuhan atas jumlah tenaga kerja yang tinggi. Tuntutan atas tenaga kerja inilah dan bukan moralitas yang sebenarnya menjadi latar belakang sesungguhnya dari upaya-upaya “relijius” oleh gereja-gereja Inggris untuk mengambil sikap mengharamkan sekaligus mengharamkan tindakan zina, sodomi, inses, dan pemerkosaan. Inilah mengapa kebijakan demikian berbarengan dengan hukuman terhadap “Vagabond” atau pengembara berlatarbelakang bekas tani hamba yang tersingkir dari tanah dan tak punya tujuan. Bahkan masih terkait itu, ungkapan “banyak anak-banyak rejeki” yang mengagungkan kesuburan sekaligus produktifitas reproduksi seksual (serta secara tersirat dan tidak langsung merupakan penolakan terhadap hubungan seksual non-reproduktif) sebenarnya mengandung konteks tuntutan reproduksi tenaga kerja berupa anak-anak dari keluarga feodal untuk menggarap lahan.

Kapitalisme, Heteroseksisme, dan Homophobia

Berdirinya masyarakat kapitalisme dengan menghancurkan masyarakat feodalisme juga menghancurkan produksi berbasis keluarga feodal. Rakyat kemudian dihimpun dalam produksi sosial berbasiskan pabrik-pabrik. Maka ruang publik dan ruang pribadi kemudian dipisahkan. Ruang pribadi, ranah domestik kemudian mengemban tugas dalam masyarakat kapitalisme untuk merawat dan menjaga anggota keluarga yang merupakan pekerja/buruh/proletar agar mampu bekerja sekaligus mereproduksi tenaga kerja. Ini semua bukan tanpa latar belakang. Bangkitnya corak produksi kapitalis di satu sisi memang membawa kebangkitan kelas pengusaha dimana pada saat yang bersamaan kemakmuran kelas menengah baru dan akumulasi kekayaan personal serta warisan yang bisa diteruskan kemudian menjadi basis tuntutan moralitas seksual yang lebih ketat, khususnya terhadap kaum perempuan. Namun berbanding terbalik dengan mereka, kehidupan industri kapitalis justru sangatlah brutal terhadap kelas buruh di pertengahan abad-19. Buruh bekerja dari 12 hingga 18 jam sehari, bekerja turun-temurun sejak belia hingga mati keracunan polusi pabrik, buruh-buruh anak bekerja dan tidur di dekat cerobong-cerobong asap adalah pemandangan umum di era kebangkitan kapitalisme yang banyak didokumentasikan karya sastra seperti Oliver Twist karya Charles Dickens. Engels dalam karyanya Kondisi Kelas Pekerja di Inggris menulis: “Di Leeds, kakak adik, dan orang-orang yang menumpang tinggal, baik laki-laki maupun perempuan, mendiami kamar tidur yang sama dengan orang tua…”[26]  Perbandingan usia harapan hidup di masa itu sangatlah senjang dimana kelas menengah di daerah pinggiran Rutland meninggal rata-rata di usia 52 sedangkan kelas buruh di pusat-pusat industri seperti Manchester dan Liverpool rata-rata meninggal di usia 15 – 17 tahun[27]. Kelas kapitalis saat itu memandang bila kondisi ini terus-menerus dibiarkan terjadi maka kelas buruh (untuk dieksploitasi kapitalis) bisa habis. Oleh karena itu konsep “nuclear family” secara sistematis dan struktural ditanamkan kapitalis untuk menjaga keberadaan pasokan proletar yang stabil untuk dieksploitasi.

Maka kampanye keluarga sehat kemudian digalakkan. Reforma berupa konsep “family wage” atau “upah keluarga” yaitu upah yang cukup untuk menunjang keluarga dan memungkinkan istri tetap di rumah membersihkan rumah dan merawat keluarganya, kemudian diberikan. Anak-anak buruh kemudian diberi kesempatan dan bahkan diwajibkan ke sekolah, bukan hanya untuk mendidik mereka tentang pekerjaan mereka di masa depan namun juga untuk menanamkan disiplin sekolah yang sebenarnya sebagai pengantar terhadap disiplin kerja. Terlepas dari retorika kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraannya, kapitalisme merupakan sistem yang justru menanamkan domestifikasi, seksisme, dan penindasan terhadap perempuan. Beriringan dengan itu penindasan terhadap homoseksualitas juga disistematiskan di dalam kapitalisme. Hukuman mati atas tindak “buggery” di Inggris dihapuskan tahun 1861 diganti menjadi hukuman penjara sepuluh tahun yang kemudian diamandemen menjadi kerja paksa dua tahun. Dalam periode kapitalisme baru lahir di abad 19 inilah terjadi pergeseran dari pandangan homoseksualitas sebagai dosa menjadi homoseksualitas sebagai penyakit jiwa dimulai sekitar tahun 1869[28]. Suatu pandangan yang masih dianut banyak ilmuwan konservatif di Indonesia padahal perkembangan sains di abad 21 sudah menunjukkan normal dan  alaminya fenomena homoseksualitas, biseksualitas, dan transseksualitas.

Namun berbeda dengan itu, kaum Marxis, yang menganut sosialisme ilmiah, bukan saja memandang bahwasanya hubungan sesama jenis bukanlah merupakan penyakit jiwa tapi ragam orientasi seksual yang normal, melainkan juga berjuang untuk menghapuskan penindasan terhadap kaum LGBTI sebagaimana penindasan lainnya yang diakibatkan kapitalisme. Ini salah satunya dibuktikan bahwasanya setelah Revolusi Oktober meraih kemenangan di Rusia, Vladimir Lenin menghapus kriminalisasi terhadap homoseksualitas di tahun 1917. Partai Komunis Jerman (KPD) dalam periode Republik Weimar bahkan bersama Partai Sosial Demokrat (SPD) memperjuangkan legalisasi hubungan homoseksual. Begitu juga Mark Ashton, aktivis Lesbian Gay Supports the Miners (LGSM) di Inggris dan Angela Davis, aktivis hak-hak kaum kulit hitam/afro-amerika di Amerika Serikat, juga merupakan anggota Partai Komunis. Bahkan di Jerman pada tahun 1919 hingga 1933 terdapat Institut Seksologi yang didirikan Magnus Hirschfeld seorang ilmuwan sekaligus anggota Komunis Internasional (Komintern). Institut ini bukan hanya meneliti seksualitas secara ilmiah, memberikan penyuluhan dan perawatan, namun juga membangun kesadaran mengenai normalnya ragam orientasi seksual manusia. Institut ini dikunjungi 20.000 orang per tahun dimana para pengunjung miskin dilayani secara gratis. Pendidikan seks, pembagian kontrasepsi, penanganan penyakit menular seks, bahkan emansipasi perempuan juga diajarkan dan dipraktikkan disini. Sayangnya institut ini dihancurkan NAZI saat Hitler berkuasa. Rekriminalisasi terhadap homoseksual oleh Joseph Stalin serta rezim-rezim Stalinis lainnya bukanlah mencerminkan sikap kaum Marxis melainkan menunjukkan bahwasanya kepentingan kaum birokrat yang berkuasa malah berbanding terbalik dengan cita-cita pembebasan manusia yang diusung panji-panji perjuangan kelas revolusioner.

Kini kelas penindas yang berkuasa di negara-negara kapitalis maju, memang memberikan sejumlah reforma, kompromi, atau konsesi terhadap kaum LGBTI, baik berupa pengakuan dan penerimaan terhadap hubungan sesama jenis, pencabutan pelarangan terhadap literatur LGBTI, perumusan aturan-aturan yang melarang diskriminasi terhadap LGBTI di tempat kerja dan di fasilitas publik, hingga legalisasi pernikahan sesama jenis di beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS), Britania, Prancis, Norwegia, Belanda, Selandia Baru, dan sebagainya. Ini bukan semata kebaikan kelas penguasa namun akibat perjuangan LGBTI dengan sekian aksi massa, kerusuhan, bahkan pengorbanan nyawa pula. Itu pun homophobia dan heteroseksisme belum menghilang sepenuhnya. Apalagi untuk di Indonesia, kesetaraan hak bagi LGBTI ini merupakan medan perjuangan yang tidak bisa dilepaskan dari perjuangan kelas.

Dewan Redaksi Arah Juang mengucapkan selamat memperingati Hari Internasional Melawan Homofobia dan Transfobia, 17 Mei.

Ditulis oleh Leon Kastayudha, Kader KPO PRP

Tulisan ini pernah dimuat di Bumi Rakyat Edisi 86-Minggu IV-II-2016

[1] Bagemihl, Bruce (1999). Biological Exuberance: Animal Homosexuality and Natural Diversity. St. Martin’s Press. ISBN 978-0312253776. Harrold, Max (1999-02-16).

[2] “Biological Exuberance: Animal Homosexuality and Natural Diversity”. The Advocate, reprinted in Highbeam Encyclopedia. Retrieved 2007-09-10.

[3] “Against Nature? An exhibition on animal homosexuality”. University of Oslo.

[4] Calvin Reid Gay Lib for the Animals: A New Look At Homosexuality in Nature. Volume 245 Issue 5 02/01/1999, Feb 01, 1999

[5] “Serat Centhini, Sexualitas Maskulin dalam Budaya Jawa” (in Indonesian). LGBT Indonesia. Retrieved 17 April 2014.

[6] Petkovic, Josko.1992. “Dede Oetomo Talks on Reog Ponorogo”.  Intersections: Gender and Sexuality in Asia and the Pacific. Australian National University. http://intersections.anu.edu.au/issue2/Oetomo.html

[7] Herdt, Gilbert H. 1984. Ritualized Homosexuality in Melanesia. University of California

[8] Graham, Sharyn. 2001. “Sulawesi’s fifth gender” Inside Indonesia. http://www.insideindonesia.org/sulawesis-fifth-gender

[9] Rusdianto, Eko. “Toleransi Gender di Masyarakat Sulawesi Selatan”. Majalah Historia. http://historia.id/budaya/toleransi-gender-di-masyarakat-sulawesi-selatan

[10] Pablo, Ben. 2004, “Latin America: Colonial”, glbtq.com.

[11] Murray, Stephen. 2004. “Mexico”. In Claude J. Summers. glbtq: An Encyclopedia of Gay, Lesbian, Bisexual, Transgender, and Queer Culture. glbtq, Inc.

[12] Fortunato, Melissa. “Motsualle” Transnational Sexualities. Intro to Queer Studies. https://introtoqueerstudies.wordpress.com/2015/02/11/motsoalle/

[13] Kang, Wenqing. Obsession: male same-sex relations in China, 1900–1950, Hong Kong University Press.

[14] Penrose, Walter. 2001. “Hidden in History: Female Homoeroticism and Women of a ‘Third Nature’ in the South Asian Past”, Journal of the History of Sexuality 10.

[15] Mazzalonga, Mike. 1996. “Gay Rights Or Wrongs: A Christian’s Guide to Homosexual Issues and Ministry”.

[16] Wolf, Sherry. 2004. “The Roots of Gay Oppression”. International Socialist Review Issue 37, September-October 2004.

[17] Engels, Friedrich. 1884. “Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara”. Vidi (Penj.) 2004. Kalyanamitra: Jakarta.

[18] Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Malang. 2010. “Dinamika Tatanan Masyarakat”. Materi Transfer Wacana Sosial.

[19] Suharsih&Kusumawardhana, Ignatius Mahendra. 2007. “Bergerak Bersama Rakyat”. Resist Book: Yogyakarta.

[20] Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN).  2010. “Asal-Usul Penindasan Perempuan.” Materi Pendidikan Dasar dan Seri Bacaan Perempuan.

[21] Smith, Sharon. 1997. “Engels and the Origin of Women’s Oppression”. International Socialist Review 2, Fall 1997. http://isreview.org/_issues/02/engles_family.shtml.

[22] Mártir de Anglería, Pedro. 1530. “Décadas del Mundo Nuevo”. Dikutip oleh Coello de la Rosa, Alexandre. “Good Indians”, “Bad Indians”, “What Christians?”: The Dark Side of the New World in Gonzalo Fernández de Oviedo y Valdés (1478–1557), Delaware Review of Latin American Studies, Vol. 3, No. 2, 2002.

[23] Kang, Wenqing. Obsession: male same-sex relations in China, 1900–1950, Hong Kong University Press.

[24] Herdt, Gilbert H. 1984. “Ritualized Homosexuality in Melanesia”. University of California Press.

[25] Ibid 16

[26] Engels, Friedrich. 1887. “The Condition of the Working Class in England.” New York. Marxist Internet Archives. http://_www.marxists.org/archive/marx/works/1845/_condition-working-class/.

[27] Wilson, Colsin. “Socialists and Gay Liberation” Socialist Workers Party: London.

[28] Weeks, Jeffrey. 1989. “Sex, Politics and Society: The Regulation of Sexuality Since 1800”. 2nd ed. London: Longman Limited.

Loading

Comment here