Awal tahun 1993, Gubernur Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 kenaikan upah dari Rp.1.700 per hari menjadi Rp.2.250. Namun sebuah pabrik yang memproduksi jam tangan yaitu PT Catur Putra Surya di Desa Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur enggan menuruti imbuan kenaikan gaji 20% bagi karyawannya.
Pada tanggal 3 Mei, kenaikan upah yang sudah ditetapkan pemerintah tak kunjung dipenuhi oleh perusahaan. Unjuk rasa oleh para buruh PT CPS, tak terhindarkan. Ada sekitar 500 buruh melakukan aksi protes. Dengan sigap, Koramil setempat menghalangi aksi tersebut. Tetapi, semangat para buruh tetap tak surut. Hingga tanggal 4 Mei aksi mogok total terus dilakukan dengan 12 tuntutan antara lain kenaikan upah, tunjangan dan pembubaran Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Marsinah adalah salah seorang buruh yang aktif dalam perlawanan tersebut, setiap kali melakukan aksi marsinah selalu berada di garis depan dan menyampaikan orasinya.
Namun pada siang hari tanggal 5 Mei, 13 orang buruh, yang juga merupakan rekan marsinah dibawa ke kodim. Mereka diinterogasi dengan tuduhan melakukan rapat gelap dan penghasutan. Kemudian mereka dipaksa untuk menandatangani pernyataan mengundurkan diri dari perusahaan. Marsinah mendatangi markas Kodim untuk menanyakan penangkapan tersebut.
Setelah itu, keberadaan Marsinah tidak diketahui. Hingga akhirnya, ia ditemukan tidak bernyawa pada tanggal 8 mei 1993. Mayatnya ditemukan di hutan Dusun Jegong, Desa Wlangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Tubuh marsinah ditemukan dalam keadaan penuh luka, pergelangan tangan lecet bekas ikatan, tulang selangkangan dan vagina hancur. Ahli forensik menyatakan luka kemaluan Marsinah bukan karena benda tumpul melainkan peluru yang ditembakkan. Sampai sekarang kasus kematian Marsinah belum terungkap siapa dalang dan pelaku dibalik kematiaannya.
Kematian Marsinah menjadi salah satu kasus yang memperlihatkan secara jelas, bagaimana Negara pada masa orde baru menggunakan kekerasan seksual atas perempuaan, penyiksaan, hingga menghilangkan nyawanya atas nama stabilitas. Kejadian ini, membenarkan perkataan Fredrick Engels (seorang tokoh sosialis) tentang Negara. Engels lebih lanjut mendefinisikan Negara sebagai badan-badan khusus orang bersenjata yang memiliki penjara, pengadilan dan sebagainya di bawah komandonya. Kita menyaksikan bagaimana tentara dan polisi menjadi alat-alat utama kekuasaan Negara.
Pengabungan kekuatan pemilik modal, negara, dan militer bukan hal yang baru. Kita bisa lihat bukan dari kejadian Marsinah saja, bahkan pada zaman orba baru hingga sekarang pelanggaran HAM oleh rezim kerap terjadi dan tidak pernah diungkap. Bahkan Jokowi dengan Nawacita-nya mengumbar janji “kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelangaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial-politik bagi bangsa indonesia, seperti Kerusuhan Mei, Trisakti, Semangi I-II, penghilangan paksa, Talangsari Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965” tapi janji jokowi hanya tinggal janji. Melihat elit politik mengumbar janjinya kepada rakyat, seperti melihat mereka memerintahkan rakyat memakan kotoran yang keluar dari duburnya.
Nyatanya, intimidasi terhadap gerakan rakyat ini terus terjadi. Mulai dari diskusi dan pemutaran film yang dibubarkan oleh kelompok-kelompok reaksioner di kampus maupun ruang publik, diskriminasi pada kaum LGBT, kriminalisasi rakyat papua, represi terhadap gerakan buruh bahkan penangkapan aktivis masih terjadi.
Kondisi Buruh Perempuan
Tepat 24 tahun kematian Marsinah. Seperti halnya Marsinah, kaum buruh sampai saat ini masih belum mendapatkan upah yang layak, jaminan kesehatan, jaminan sosial dan kebutuhan lainnya. Pada tanggal 9 april 2017 lalu, Sekretaris Jendral Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Amelia Yanti bersama buruh Panarub lainnya melakukan aksi untuk memperjuangkan haknya akibat pesangon yang tidak dibayar oleh PT Panarub Dwi Karya. Namun, Emilia Yanti malah ditampar oleh Kanit Intel Polres Tangerang, AKBP Danu S. Subroto karena tidak mampu menjawab pertanyaan Emilia.
Tidak jarang perempuan mendapatkan upah yang lebih murah. Umumnya buruh tani perempuan mendapatkan 75% dari upah laki-laki. Jika melihat Banten dan Kalimantan Timur, buruh perempuan mendapat 62% dari upah laki-laki, di Sulawesi 89% dari upah laki laki. Data dari kompasiana yang diperbarui (26/6/2015)
Lembaga Trade Union Congress menyatakan pada tahun 2016, perempuan mengaku mendapatkan pelecehan seksual sebanyak 79% di tempat kerja. Sebanyak 17 persen pelecehan seksual dilakukan oleh atasan. Sementara 28% perempuan mengaku takut jika mereka melaporkan pelecehan seksual maka akan mempengaruhi hubungan kerja. Sedangkan 15% lainnya khawatir akan masa depan karier mereka. Kadang mereka tak kuasa melawan karena takut dipecat.
Masih juga berkembang streotipe pekerjaan bagi perempuan seperti sekretaris, pramugari, suster dan sebagainya. Lowongan kerja yang diksriminatif, mulai dari perempuan yang belum menikah, berumur maksimal 30 tahun ataupun bernampilan menarik. Walaupun suatu perusahaan memberikan cuti hamil 3 bulan yang sudah diatur berdasarkan UU No. 13 th. 2003 juga tidak dapat menjamin keamanan bayi dan ibu karena nyatanya sering kelelahan dan stress akibat kerja. Bahkan menurut pengakuan dari seorang buruh di Purbalingga, buruh sebuah pabrik bulu mata tidak mendapatkan cuti hamil.
Demikian pula setelah melahirkan perempuan juga tidak diberikan ruang menyusui. LSM pemerhati hak perempuan dan Perempuan Mahardhika mencatat di kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, terdapat kurang lebih 80 perusahaan dari sektor garmen yang mempekerjakan 80.000 orang dengan jumlah buruh perempuan mencapai 90%. Tetapi sebagian besar pabrik tidak menyediakan ruang menyusui. Ketidakadaan ruang ini memaksa para ibu membuang air susu (ASI) ke toilet, atau bahkan ditahan berjam-jam ketika bekerja sehingga merembes kepakaian mereka. Situasi ini juga berdampak pada bayi, yaitu tidak memperoleh ASI Eksklusif setidaknya dalam masa 0-6 bulan.
Tidak sampai disitu saja perempuan juga mendapatkan ketertindasannya dalam keluarga. Menurut laporan why Do Some Men Use Violence Against Women and How can we Prevent it yang diterbitkan pada tahun 2013, menunjukkan setidaknya 40% responden menganggap perempuan mesti rela mengalami kekerasan untuk bisa bertahan dalam keluarga. Rata-rata 97% meyakini harus tunduk pada suami dalam keluarga. Selain itu Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2016, menyatakan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 11.207 kasus di ranah KDRT, 60% atau 6.725 kasus berupa kekerasan terhadap istri, 24% atau 2.734 kasus kekerasan dalam pacaran, dan 8% atau 930 kasus kekerasan terhadap anak peremuan. Kekerasan yang menempati peringkat pertama berupa kekerasan fisik dengan persentase 38% atau 4.304 kasus. Bentuk kekerasan seksual tertinggi adalah perkosaan 72% kasus, pencabulan 18% atau 601 kasus, dan pelecehan seksual 5% atau 166 kasus. Selain itu Tidak jarang perempuan juga harus bertanggung jawab untuk membersihkan rumah, mencuci, memasak, menjaga anak, merawat orang sakit, dan lainnya.
Kita telah menyaksikan, bagaimana penindasan terjadi pada kaum buruh khususnya buruh perempuan hampir di semua sektor kehidupan. kondisi ini menuntut kita, untuk mempelajari lebih dalam, dari mana akar penindasan perempuan itu terjadi dan bagaimana gerakan pembebasan perempuan yang harus dibangun.
Gerakan perempuan adalah kaum perempuan yang melawan ketertindasan terhadap mereka. Pada saat kebanyakan kelompok perempuan berkembang dan terpisah dari organisasi buruh dan gerakan sosial lainnya, semakin banyak perempuan yang mengorganisir diri mereka sendiri untuk masuk dalam organisasi-organisasi. Hal ini telah meningkatkan aktivitas perempuan dalam serikat buruh, komite-komite untuk perdamaian, lingkungan, komite-komite untuk solidaritas internasional, dll, bahkan mengorganisir diri secara indipenden seputar tuntutan mereka sendiri.
Tetapi yang kita butuhkan dari gerakan perempuan yang independen, adalah gerakan yang mampu mengorganisir dan memimpin perempuan, yang meletakkan prioritas untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan perempuan, yang menolak untuk mensubordinatkan perjuangannya untuk kepentingan lain, yang tidak melakukan kolaborasi kelas dengan partai-partai borjuis, yang juga berjuang bersama kelompok tertindas lainnya.
Bagi mereka yang menyebut dirinya sebagai kelompok perempuan, berarti mereka telah membagi kelas pekerja menurut jenis kelamin. Sedangkan kita harus paham bahwa sistem yang mengedepankan akumulasi modal ini, yakni kapitalisme juga menindas ras, jenis kelamin, umur dan lainnya tanpa terkecuali.
Demikianlah semangat perjuangan Marsinah yang mesti kita lanjutkan. Persoalan Marsinah, tidak bisa dilihat sebatas pelanggaran HAM atau mengenangnya dengan cara-cara moralis seperti bakar lilin, bakar obor, memajang foto, dan berbagai macam cara lainnya yang hanya membangkitkan rasa kasihan. Itu “saja” tidaklah cukup untuk menghargai perjuangan Marsinah. Cara paling baik untuk menghargai perjuangan Marsinah, adalah dengan melanjutkan perjuangannya untuk membebaskan kelas pekerja dan dengannya juga kaum perempuan, menuju kesejahteraan yang sejati. Merebut demokrasi seutuh-utuhnya dan mengambil alih kekuasaan. Dengan begitu, Marsinah tidak akan pernah mati, ia akan selalu ada dalam jiwa-jiwa yang berlawan.
ditulis oleh Alma dan Hema, kader Lingkar Studi Kerakyatan.
Referensi :
http://www.arahjuang.com/2016/05/10/marsinah-dan-tugas-tugas-gerakan-perempuan/diakses 22 april
http://www.arahjuang.com/2014/05/08/marsinah-dan-perjuangan-buruh-sepanjang-massa/diakses pada 2 mei
http://www.arahjuang.com/2016/05/15/panggung-demokrasi-marsinah-menggugat-2/diakses pada 3 mei
https://www.arahjuang.com/2017/03/08/sambut-hari-perempuan-internasional-2017-bangkitkan-pergerakan-pembebasan-perempuan/diakses pada 3 mei
http://www.kompasiana.com/edy_priyono/diskriminasi-upah-buruh-perempuan_54ffb38ea33311576350f9d1diakses 1 mei
http://jogja.tribunnews.com/2016/07/03/tepukan-ke-punggung-karyawan-dari-bos-masuk-pelecehan-seksual diakses 30 april
http://m.suara.com/news/2016/04/26/161510/perusahaan-minim-berikan-hak-maternitas-buruh-perempuan diakses pada 3 mei
Partai Sosialis Demokratik (2015), Feminism and Socialism: Putting The Pieces Together (Feminisme dan Sosialisme: Menjelaskan Penindasan Perempuan dari Perspektif Marxis), Yogyakarta: Bintang Nusantara
Comment here