Opini Pembaca

Mahasiswa dan May Day

May Day Student Workers‘Satu Mei tak kenal batas negri. Satu Mei tidak terpetjah belah oleh Tembok Besar Tiongkok atau oleh Samodera Atlantik. Ia satu! Satu, sebagai pernjataan Rakjat pekerdja sedunia jang memenuhi seruan Marx: Proletar sedunia, bersatulah’- Renungan Satu Mei, Njoto (harian rakjat 1952)

  1. Latar Belakang Sejarah Peristiwa May Day Dalam Konteks Internasional.

Sejarah May Day sejatinya lahir atau bermula dari berbagai rentetan perjuangan kaum buruh untuk meraih kendali ekonomi-politik atas hak-hak dasar dan hak industrial mereka dalam tatanan sistim Kapitalisme.Sistem Kapitalisme sendiri bermula dari cara produksi feodalistis yang telah berkembang dibelahan dunia dalam kurun sekitar tahun 1300 sampai 1800. Kapitalisme tidak berkembang secara merata dan dengan kecepatan yang sama. Kapitalisme pertama kali berkembang, dan dalam bentuk yang paling maju, di Eropa Barat. Permulaan abad ke-19, kapitalisme telah muncul sebagai kekuatan ekonomi di Eropa dan Amerika Utara. Kapitalis borjuis  telah mampu merebut kekusaan politis setaraf dengan supremasi ekonomi yang telah dimilikinya. Karakter revolusioner kapital direfleksikan dalam perkembangan massif kekutan produksi dan proses kerja yang ditempa oleh revolusi industri. Selain itu ia juga bertumpu pada proses institusionalisasi demokrasi borjuis dalam negara-negara kapitalis utama. Sedangkan karakter kelas yang menindas dan menghisap dari kapital diekspresikan dalam praktek pembantaiannya yang meluas, diiringi perbudakan,  perampasan dengan paksa dari hasil kerja petani dan pengrajin, dan eksploitasi anak-anak, selain pencurian nilai lebih dari buruh itu sendiri.

Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis tatanan ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis maju di Eropa Barat dan Amerika Serikat pada saat itu. Terjadi serangkaian pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, kondisi upah yang minim, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik-pabrik. Ini memicu perlawanan dari kalangan kelas pekerja Industri saat itu.

Tanggal 5 September 1882, parade Hari Buruh pertama diadakan di kota New York  dengan peserta 20.000 orang yang membawa spanduk bertulisan 8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi. Maguire dan McGuire memainkan peran penting dalam menyelenggarakan parade ini. Tahun-tahun berikutnya, gagasan ini menyebar dan semua negara bagian memperingatinya. Tahun 1887, Oregon menjadi negara bagian pertama yang menjadikannya hari libur umum. Tahun 1894, Presider Grover Cleveland menandatangani sebuah undang-undang yang menjadikan minggu pertama bulan September hari libur umum resmi nasional.

Kongres Internasionale Pertama diselenggarakan September 1866 di Jenewa, Swiss dihadiri berbagai elemen organisasi pekerja dunia. Kongres ini menetapkan tuntutan pengurangan jam kerja menjadi delapan jam kerja sehari, yang sebelumnya (masih pada tahun yang sama) telah ditetapkan oleh serikat buruh National Labour Union (NLU) atau Serikat Buruh Nasional di AS. Tuntutan umum kelas pekerja Amerika Serikat dijadikan Kongres menjadi landasan umum kelas pekerja seluruh dunia: tuntutan delapan kerja sehari.

Satu Mei lalu ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada Kongres 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions (FOTLU) atau Federasi Serikat Pekerja dan Buruh Terorganisir, selain untuk memberikan momentum bagi tuntutan delapan jam kerhja sehari, juga memberikan semangat baru perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di era tersebut. Tanggal 1 Mei dipilih karena pada 1884 FOTLU, yang terinspirasi oleh kesuksesan aksi buruh di Kanada 1872,  memicu lebih dari 500.000 buruh (satu dari setiap 120 orang di AS) mgok kerja dan memenangkan tuntutan delapan jam kerja kerja di Amerika Serikat, Maka mulai tanggal 1 Mei 1886 diberlakukan sebagai Peringatan Hari Buruh Internasional. Juli 1889, Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris menetapkan peristiwa di AS tanggal 1 Mei itu sebagai hari buruh sedunia dan mengeluarkan resolusi berisi:

“Sebuah aksi internasional besar harus diorganisir pada satu hari tertentu dimana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Prancis”

Resolusi ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai negara dan sejak tahun 1890, tanggal 1 Mei, yang di-istilahkan dengan May Day, diperingati oleh kaum buruh di berbagai negara, meskipun mendapat tekanan keras dari pemerintah mereka. Setelah itu, 1 Mei disepakati sebagai hari solidaritas internasional untuk menuntut pengurangan jam kerja tanpa pengurangan upah, membatasi usia kerja, dan bekerja malam hanya untuk orang dewasa.

May Day adalah salah satu peristiwa besar dalam sejarah perjuangan gerakan buruh di dunia, May Day juga telah menjadi sebuah memori kolektif perjuangan kaum buruh di berbagai belahan dunia. May Day kemudian diperingati untuk mengenang kemenangan perjuangan delapan jam kerja melalui aksi-aksi buruh di berbagai belahan dunia, terutama peristiwa Hymarket di Chicago pada tahun 1886. May Day, dengan demikian, bukanlah peringatan biasa. May Day adalah hari kemenangan kelas buruh, yang dalam pemaknaan selanjutnya menjadi hari untuk mengingat bahwa kelas buruh adalah kelas yang mampu mengubah sistem kapitalisme.

Sejarah Peringatan Hari Buruh Satu Mei (Mayday) Di Indonesia.

Sedangkan di Indonesia, Peringatan hari buruh satu Mei atau May Day pertama kali mulai diperingati pada tahun 1920, Indonesia tercatat sebagai negara Asia pertama yang merayakan 1 Mei sebagai hari buruh. Kemudian melalui UU Kerja No. 12 Tahun 1948, pada pasal 15 ayat 2, dinyatakan bahwa “Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban kerja.” Berdasarkan peraturan tersebut, kaum buruh di Indonesia, selalu memperingati May Day setiap tahunnya. Ini berarti sudah sejak 67 tahun yang lalu Mayday secara resmi di Indonesia diakui oleh negara, dan sejak 95 tahun yang lalu May Day di Indonesia telah diperingati oleh kaum Buruh.

Orde Baru kemudian melarang buruh untuk memperingati May Day, karena dianggap sebagai kegiatan politik subversif. Hal ini karena Orde Baru memiliki ketakutan tersendiri terhadap kebangkitan kaum buruh di Indonesia, terutama perayaan May Day yang dikhawatirkan akan mengganggu keamanan dan stabilitas modal dalam kerangka kebijakan Ekonomi-politik negara yang bersandar pada idiom pembangunanan-isme (“Developmentalism”), selain itu rezim Orba sangat khawatir perayaan Mayday justru bisa mengkonsolidasikan kekuatan ribuan buruh.

Meskipun menyebut diri “Orde Baru”, rezim Soeharto sejatinya mengembalikan politik penindasan kolonial ala Belanda dan Jepang. Persis seperti dilakukan Belanda dan Jepang, rezim Soeharto melarang peringatan 1 Mei. Maka muncul pernyataan dimasa Orba bahwa : “1 Mei itu Hari Buruh zaman Orde Lama. Dan sudah diganti dengan Hari Pekerja Nasional, 20 Februari, sejak tahun 1973” (Hari jadi SPSI).

Hari Buruh dimasa kekuasaan orde baru, Mayday pertama kali diperingati pada tahun 1995 oleh Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), SMID, PRD dan beberapa organisasi kerakyatan lainnya didua kota, yaitu kota Semarang dan kota  Jakarta (Gatra, 13 Mei 1995). Namun peringatan Mayday ini dibubarkan paksa dengan cara-cara represif oleh aparat keamanan. Puluhan orang peserta aksi Mayday mengalami luka-luka dan puluhan orang lainnya ditangkap. Serikat Buruh PPBI sendiri hanya berumur pendek, setelah dideklarasikan pada tahun 1994 hanya tampil sampai 1996, karena pemimpinnya dipenjara dan organisasinya dinyatakan terlarang oleh orde baru.

Setelah Peringatan Mayday pertama di masa pemerintahan Orde baru, selanjutnya Mayday terus diperingati dan dirayakan oleh kaum buruh ditengah situasi yang begitu represif dan menekam, dalam bentuk demonstrasi dijalan-jalan, pemogokan pabrik-pabrik dengan tuntutan-tuntutan perjuangan kaum buruh seperti tuntutan naikan upah 100%, Menolak sistim Buruh Kontrak, Menolak UU Ketenaga kerjaan yang tidak berpihak kepada kaum burh dan lain-lain.

 

  1. Peringatan Mayday dimasa Reformasi dan Ekonomi Politik dalam Perburuhan

Pasca jatuhnya Jenderal Soeharto pada tahun 1998, aksi-aksi dalam memperingati May Day semakin marak dilakukan. Sepanjang tahun 1998-2012, aksi-aksi peringatan May Day banyak di lakukan di pusat-pusat kekuasaan, seperti Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kantor Gubernur, Istana Negara, Depnaker, Disnaker, Gedung DPR/MPR, dan lain-lain.

Namun menariknya, di rentang waktu tersebut terjadi perubahan tujuan aksi dari pusat kekuasaan ke kawasan industri, yakni pada rentang tahun 1997-2000. Pada rentang waktu tersebut, aksi-aksi May Day banyak dilakukan di kawasan-kawasan industri, seperti kawasan industri Tandes Surabaya, kawasan Industri di Sidoarjo, Gresik, Ungaran Jawa Tengah, dan Sukoharjo. Perubahan pola aksi ke kawasan industri ini dilakukan karena kawasan industri merupakan jantung kapitalisme. Dengan dilakukannya aksi di kawasan industri, maka produksi di pabrik akan berhenti dan pemilik modal akan mengalami kerugian besar. Isu Mayday pada tahun-tahun ini pun bukan hanya mengangkat isu normatif saja, namun didominasi dengan isu Mayday sebagai hari libur nasional dan kenaikan upah 100%.

Perubahan pola aksi ke pusat kekuasaan kembali marak terjadi pada kurun waktu 2001-2007. Namun isu Mayday yang diangkat pada rentang waktu ini mulai menjadi sangat politis karena mengusung tuntuttan perlawanan terhadap neoliberalisme dan kapitalisme, menolak revisi UUK No. 13. Sementara walaupun di rentang waktu 2008-2012 masih di warnai aksi-aksi ke pusat kekuasaan, namun yang berbeda di kurun waktu ini ialah serikat buruh kuning mulai ikut aksi memperingati Mayday. Pada tahun-tahun ini, isu yang mendominasi adalah isu upah, tolak PHK, hapus sistem kerja kontrak dan outsourcing.

Perubahan pola aksi ke pusat kekuasaan ini, pada awalnya ditanggapi sangat keras oleh rejim penguasa. Upaya untuk melarang kaum buruh untuk aksi ke pusat kekuasaan sangat gencar dilakukan oleh rejim penguasa melalui aparat keamanan. Bahkan sempat muncul pelarangan dan intimidasi terhadap pengemudi truk agar tidak mengangkut buruh aksi ke pusat-pusat kekuasaan. Namun seiring dengan waktu, respons dari rejim penguasa semakin melunak terhadap aksi-aksi buruh ke pusat kekuasaan. Dalam akhir-akhir tahun ini, pihak penguasa hanya menghimbau agar aksi buruh tidak rusuh serta mengawal secara ketat aksi-aksi yang dilakukan oleh buruh ke pusat kekuasaan.

Selama tahun 2012, selain peringatan Mayday, buruh kembali banyak melakukan aksi di kawasan industri. Pada periode Oktober-November saja, aksi yang dilakukan di berbagai kawasan industri ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi pengusaha. Dalam wawancaranya dengan Tempo Interaktif,    Haryadi B. Sukamdani, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Bidang Pengupahan mengatakan, kerugian yang dialami pengusaha akibat gejolak demonstrasi buruh di Bekasi, Jawa Barat, mencapai miliaran rupiah. Angka kerugian ini bisa lebih tinggi karena demonstrasi yang dilakukan buruh menghambat pengiriman barang. Selain itu, kerugian disebabkan oleh waktu produksi yang hilang akibat pekerja yang berdemonstrasi. Ketua Hubungan Industrial dan Advokasi Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hasanuddin Rachman juga berpendapat, kerugian akibat demo buruh selama tahun 2012 sejumlah Rp190 triliun atau 20 miliar dolar AS.

Bukan hanya itu, akibat aksi 3 Oktober 2012, Kawasan Industri Pulogadung diperkirakan menderita kerugian hingga Rp400 Miliar.  Industri makanan dan minuman mengalami kerugian hingga mencapai Rp2 triliun. Bahkan, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kepri Johannes Kennedy Aritonang mengatakan, demo ribuan buruh yang digelar, Rabu (3/10) lalu telah menimbulkan kerugian bagi pengusaha di Batam sekitar US$40 juta atau setara dengan Rp383 miliar (US$1=Rp9.586). Angka tersebut merupakan akumulasi kerugian secara langsung sekitar US$10 juta dan kerugian tidak langsung sekitar US$30 juta.

Artinya, para pemilik modal telah mengalami kerugian yang sangat besar ketika aksi-aksi buruh ditujukan ke kawasan-kawasan industri. Hal ini jugalah yang menyebabkan tuntutan buruh mulai mendapatkan perhatian yang sangat besar, baik dari media massa, pemilik modal maupun rejim penguasa. Selama beberapa minggu, media massa selalu mengangkat aksi-aksi buruh yang melakukan penutupan kawasan Industri hingga sweeping buruh. Selain itu, rejim penguasa pun mulai banyak mengeluarkan pernyataan bahwa aksi-aksi buruh tersebut akan menggangu pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai oleh pemerintah saat ini. Sedangkan pihak pemilik modal bahkan sempat mengancam akan melakukan lock-out (pemogokan) jika pemerintah tidak mampu menangani aksi-aksi buruh yang melakukan penutupan kawasan industri, karena pemilik modal telah mengalami kerugian yang sangat besar. Dari aksi-aksi buruh yang menutup kawasan industri ini juga mulai membuahkan hasil dengan dipenuhinya kenaikan upah minimum provinsi yang cukup tinggi bagi buruh, walaupun belum sesuai dengan tuntutan para buruh.

Berdasarkan perjalanan aksi-aksi buruh dalam memperingati May Day dari tahun-tahun hingga aksi-aksi buruh di tahun 2012 ini tentunya akan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kaum buruh dalam memperjuangkan hak-haknya. Hal yang harus diperhatikan adalah aksi yang mengganggu arus modal dan investasi menjadi sangat efektif untuk menyita perhatian rejim penguasa dan pemilik modal, bahkan hingga dipenuhinya tuntutan-tuntutan para buruh. Sehingga tujuan, metode dan pola aksi yang dilakukan oleh buruh harus dipikirkan secara matang sehingga tuntutan-tuntutan yang disampaikan dapat dipenuhi atau minimal mendapatkan perhatian luas dari masyarakat.

Sepanjang tahun 2013 dan 2014, tekanan aksi-aksi buruh dalam bentuk Mogok Nasional (Monas) di Kota-kota kawasan Indsutri besar di Indonesia juga cukup populer dalam memperingati Mayday, dengan men-“sweeping” pabrik-pabrik disekitarnya untuk terlibat Mogok, seara aktif turun ke jalan melakukan relly-relly kawasan, Konfoi kendaraan dan menyelenggarakan Rapat-rapat Akbar dikawasan Industri. Bahkan beberapa Kota, peringatan Mayday yang dibarengi Mogok Nasional ini juga  mampu menutup Jalan Tol, memblokade pelabuhan, bandara dan fasilitas publik lainnya, untuk menekan pemerintah dan Pengusaha memenangkan tuntutan kaum buruh.

  1. Peran Mahasiswa dalam dinamika perjuangan buruh

Apa arti Mayday (Hari Buruh) bagi mahasiswa? Di saat aktivisme buruh semakin menunjukkan kekuatannya, dan di saat moda produksi kapitalisme semakin merambah ranah-ranah kehidupan kita, persinggungan antara mahasiswa dan buruh semakin kentara.

Hari Buruh Internasional diperingati setiap tanggal 1 Mei. Namun, sehari setelahnya, Indonesia juga memperingati Hari Pendidikan Nasional yang, seperti hari buruh, menjadi ajang konsolidasi gerakan mahasiswa untuk berdemonstrasi. Dua hari yang bersebelahan ini seperti menjadi ‘hari raya;’ Buruh merayakan Mayday dengan demonstrasi pada tanggal 1, sementara keesokan harinya, mahasiswa juga menggelar aksi-aksi demonstrasi.

Persoalannya, pada dua ‘hari raya’ di atas, kita melihat sebuah fenomena yang cukup mencenangkan. Dimana tuntutan yang diajukan di dua perayaan tersebut seringkali tak jauh berbeda. Buruh menuntut isu-isu yang berbasis pada kesejahteraan hidup mereka, sementara mahasiswa juga memiliki tuntutan yang hampir sama. Sayang bila kedua sektor ini tidak berjuang bersama sebab kondisi demikian membuat gerakan rakyat menjadi terfragmentasi bahkan terkesan terlihat seperti sektarianisme. Tidak pernah ada titik singgung dan titik temu untuk kepentingan bersama dan tujuan bersama. Padahal buruh berkepentingan terhadap pendidikan dan mahasiswa juga berkepentingan terhadap kesejahteraan.

Faktanya tren kapitalisme global yang semakin menunjukkan adanya konvergensi antara ‘kerja’ dan ‘pengetahuan,’  jangan sampai logika gerakan buruh dan mahasiswa justru bergerak ke arah yang berlawanan. Sehingga, model-model perlawanan kedua jenis gerakan ini seringkali terlokalisasi. Konsekuensinya, kapitalisme dengan begitu hegemonik berhasil melemahkan perlawanan-perlawanan yang dibangun baik oleh mahasiswa maupun buruh.

Mahasiswa sebagai Para Buruh Masa-Depan.

Dengan semakin konvergennya ‘kerja’ dan ‘pengetahuan’, maka mahasiswa dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan industri. Kampus menjadi sarana penting untuk menciptakan tenaga kerja yang terdidik, yang dapat mempertahankan corak produksi kapitalisme di masa yang akan datang.

Hal ini, disadari atau tidak, sebetulnya memberikan dampak penting bagi gerakan mahasiswa dan gerakan buruh saat ini. Dengan posisinya sebagai ‘buruh masa-depan’, maka mahasiswa sebetulnya harus sadar bahwa kepentingan buruh saat ini adalah kepentingannya di masa yang akan datang. Ketika mahasiswa lulus, dalam profesi apapun ia bekerja, ia harus sadar bahwa ia adalah ‘buruh’. Kesadaran atas subjektivitasnya inilah yang, menurut Zizek (2009) akan menjadi salah satu fondasi dari perlawanan yang ia bangun terhadap konstruksi bangunan yang bernama kapitalisme.

Jika mahasiswa adalah ‘buruh masa-depan,’ maka sudah selayaknya gerakan mahasiswa saat ini mengambil posisi bersatu dengan gerakan buruh. ‘Subjek’ mahasiswa saat ini, dalam hubungan produksi kapitalisme kontemporer, adalah buruh-di-masa-depan dan mempersatukan gerakannya dengan ‘gerakan buruh’ saat ini bukan hanya untuk menuntut hak-haknya namun juga dalam melawan serta menggulingkan kapitalisme.

 

ditulis oleh Cengki, anggota Serikat Gerakan Mahasiswa Indonesia (SGMI)

Loading

Comment here