Tepat pada 24 April 1955 terjadi deklarasi monumental untuk membangun persatuan antar bangsa, yang dilakukan oleh 29 Negara. Konferensi ini bertujuan agar dapat menjalin kerja sama antar negara untuk melawan dominasi Blok Timur dan Blok Barat. Selain itu konferensi ini juga bertujuan untuk bekerja sama dalam bidang, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Konferensi ini pula melahirkan prinsip-prinsip yang dinamakan Dasasila Bandung, memuat 10 poin penting[1] tentang “pernyataan mengenai dukungan bagi kerukunan dan kerjasama dunia”.
Tulisan yang berhubungan dengan sejarah Konferensi Asia-Afrika (KAA) sudah cukup banyak mengulas hal tersebut dari sudut pandang sejarah. Namun kali ini kita perlu melakukan ulasan yang punya pandangan lain terkait sejarah Konferensi Asia-Afrika dengan relevansinya hari ini, dari sudut pandang kaum sosialis. Hal ini berguna agar tidak meromantiskan nilai kesejarahan tersebut hanya sekedar fenomena yang tidak bermakna, tapi dengan ini kita perlu mendorong dan memajukannya untuk menemukan titik temu yang sejati, yakni pembebasan umat manusia dari segala ketertindasan dan keterasingan yang dialaminya hari ini.
Sejarah Konferensi Asia-Afrika
Konferensi Asia-Afrika merupakan pertemuan yang dilakukan antara negara-negara Asia dan Afrika, yang pada mulanya baru saja memperoleh kemerdekaan pasca perang dunia ke II. Perang ini pada dasarnya ingin menguasai sumber-sumber ekonomi negara jajahan di satu sisi dan pendominasian atas bangsa di sisi lain. Dampak dari perang tersebut negara-negara imperial mengalami kemunduran yang begitu dalam, kelas pekerja dan prajurit lah yang paling mengalami penderitaan perang ini. Kemunduran Negara imperial ini mendorong bangsa-bangsa koloni memproklamirkan kemerdekaan bangsanya. Indonesia (17 Agustus 1945), Republik Demokrasi Vietnam (2 September 1945), Filipina (4 Juli 1946), Pakistan (14 Agustus 1947), India (15 Agustus 1947), Birma (4 Januari 1948), Ceylon (4 Februari 1948), dan Republik Rakyat Tiongkok (1 Oktober 1949).
Pertemuan ini berlangsung antara 18 April-24 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.
Pertemuan selanjutnya untuk memperingati 50 tahun Konferensi Asia-Afrika tersebut diadakan konferensi kembali di Bandung dan Jakarta pada 19-24 April 2005 yang menghasilkan NAASP (New Asian-African Strategic Partnership, Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika), yang diharapkan akan membawa Asia dan Afrika menuju masa depan lebih baik berdasarkan ketergantungan sendiri yang kolektif dan untuk memastikan adanya lingkungan internasional untuk kepentingan para rakyat Asia dan Afrika.
Konferensi Asia-Afrika terakhir yang ke 60 yang dilaksanakan di kota yang sama yakni Bandung dan Jakarta pada 19-24 April 2015. Dengan agenda pertemuan meliputi “Asia-Africa Business Summit” dan “Asia-Africa Carnival”. Tema yang dibawa adalah peningkatan kerja sama negara-negara di kawasan Selatan, kesejahteraan, serta perdamaian. Konferensi pada tahun 2015 telah menghasilkan 3 dokumen yaitu Pesan Bandung (Bandung Message), Deklarasi Penguatan Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika (NAASP) dan Deklarasi kemerdekaan Palestina.
Pandangan Kaum Sosialis Terhadap Konferensi Asia-Afrika
Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, konferensi ini bertujuan untuk menjalani kerja sama antar negara Asia-Afrika dan melawan dominasi imprialis Blok Barat dan Timur. Dengan ini menghasilkan gerakan Non-Blok. Namun ketika kita memperhatikan secara jeli pertemuan ini pada dasarnya merupakan pertemuan yang tidak mendasarkan pada persatuan kelas tertindas, yakni kelas pekerja. Perwakilan dari konferensi ini diwakili oleh elit-elit politik yang tidak mengedepankan konsepsi kelas, karena fokus utamanya adalah kerja sama antar negara, bukan kerja sama kelas tertindas untuk melawan dominasi imprialisme dengan cara menggulingkan tatanannya secara revolusioner dan membentuk negara kelas pekerja (buruh), yang berbentuk dewan-dewan pekerja. Dalam perjalanannya konferensi ini tidak menghadirkan alternatif bagi seluruh bangsa untuk menempuh jalan hidup (pembebasan) yang sejatinya, yakni masyarakat adil dan makmur.
Bagi kaum sosialis, adalah tidak tepat bila menyatakan bahwa konferensi ini akan melawan dominasi pihak negara imperialis yang telah menajajah negara/bangsa mereka. Kita perlu mencatat bahwa dalam negara imperial terjadi hal yang sama dialami oleh kelas pekerja di negara berkembang. Merekalah kelas yang terpinggirkan akibat penguasaan alat-alat produksi yang dipergunakannya untuk mendominasi negara-negara berkembang dan bahkan negaranya sendiri.
Laporan dari Badan Nasional Penelitian Ekonomi di Amerika Serikat menyebutkan bahwa dengan terciptanya tenaga kerja robot akan menyingkirkan secara besar-besaran jumlah pekerja di AS, mereka menemukan bahwa untuk setiap robot baru yang dipasang di pabrik, rata-rata pekerjaan bagi 6,2 orang tersingkirkan. Selain itu, ekonom tersebut menemukan bahwa untuk setiap robot yang ditambahkan pada 1.000 pekerja, semua upah berkurang antara 0,25 dan 0,5 persen di area sekitarnya. Yang artinya kelas buruh akan tersingkir dan menganggur. Laporan Departemen Tenaga Kerja menunjukkan 234.000 orang Amerika mengajukan klaim pengangguran pekan lalu, jauh di bawah angka minggu sebelumnya sebesar 258.000 dan perkiraan ekonom sebesar 250.000. Hal ini juga dampak dari kenaikan Pasar Saham di AS. Walaupun mengalami penurunan jumlah pengangguran, kita perlu mencatat bahwa, dalam siklus perekonomian kapitalisme, terdapat periode terjadinya krisis kapital, akibat dari dominasi monopoli kapital yang dikuasai oleh segelintir manusia. Ketika terjadinya krisis, maka kita akan menyaksikan terjadinya PHK besar-besaran untuk mengurangi jumlah biaya produksi kelas pekerja.
Sedangkan di Indonesia yang mewakili negara berkembang memperlihatkan pengangguran yang cukup besar dari pada negara imperial. Pada 2016 Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah pengangguran pada 2016 mencapai 5,5 persen atau sekitar 7,02 juta orang atau lebih rendah dibanding 2015 yakni sebesar 5,81 atau setara dengan 7,45 juta orang.
Lebih lanjut jika kita menyaksikan data kemiskinan yang dialami oleh negara imperial (AS) membuat kita terkejut, dengan berbagai anggapan bahwa negara yang dianggap maju dalam hal industri dan teknologi mengalami beban moral bagi negaranya. Biro Sensus, dalam laporan tahunannya mengenai kemiskinan dan pendapatan di Amerika Serikat, mengatakan median tingkat pendapatan dan kemiskinan tidak berubah pada tahun 2014 dari tahun sebelumnya. Sensus tersebut mengungkap sebanyak 46,7 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan, yang secara statistik tidak berbeda dari dari tahun-tahun sebelumnya, selama empat tahun berturut-turut. Tahun 2014, keluarga yang terdiri dari dua orang dewasa dan dua anak dikategorikan sebagai miskin bila berpenghasilan kurang dari $24.008 (Rp 347 juta) per tahun.[2]
Hal yang lebih mengejutkan lagi terjadi di Indonesia. Data yang dirilis lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Temuan lain yang menyebutkan bahwa harta 4 orang terkaya indonesia setara 100 juta orang miskin. 10 persen orang terkaya mengonsumsi lebih dari 25 persen total konsumsi nasional. Sementara 10 persen masyarakat termiskin hanya dapat mengonsumsi 4 persen (Oxfam), dalam skema dunia jumlah aset 8 orang terkaya setara dengan jumlah kekayaan 3,6 juta penduduk miskin dunia.
Konsentrasi kepemilikan yang diambang batas kewajaran merupakan keniscayaan dalam sistem kapitalisme. Karena wataknya eksploitasi, akumulasi, dan ekspansi dalam aktivitas produksinya yang memuat ketidakteraturan dalam berproduksi. Keterasingan manusia dalam mempergunakan alat produksinya tidak bisa dilakukan hanya dengan melakukan reforma politik yang memuat agenda persekutuan antara kelas pemilik dan kelas pekerja. Kepentingan dari dua kelas tersebut berbeda. Kelas pemilik (baca:borjuasi) menginginkan seluruh aset yang berupa sumber daya alam dan manusia menjadi milik yang menguntungkannya. Sedang kelas pekerja (baca:buruh) menginginkan seluruh aset yang berupa sumber daya alam dan manusia menjadi milik bersama, secara kolektif. Titik persinggungan ini tidak dapat didamaikan, karena watak “produksi” yang melatarbelakanginya.
Internasionalisme Proletar Sebagai Sintesis Perjuangan Sebuah Bangsa
Hari ini kita tidak dapat mengatakan bahwa Indonesia merupakan entitas (wujud) bangsa yang tunggal. Ini adalah ilusi ilmuan dan politisi borjuis untuk membohongi rakyatnya dengan retorika semu. Sebagai sebuah bangsa, kita telah terbelah dua: kelas penindas dengan kelas tertindas, kaum penunggang dengan kaum tertunggang. Kita tidak dapat mengatakan bahwa kepentingan Hary Tanoe, ARB, Surya Paloh, dan lainnya punya kepentingan yang sama dengan dengan kaum buruh, petani, jurnalis, kaum miskin kota dan kaum tertindas lainnya. Pembelahan entitas dalam satu bangsa ini memang sarat dan niscaya dalam sistem kapitalisme, tetapi bukan tanpa makna. Pembelahan ini terjadi karena penghisapan dan penindasan atas satu entitas dengan entitas lainnya, penundukan dan perbudakan. Kita telah menyaksikan betapa rapuh dan jahatnya sistem ini, kerusakan lingkungan, polusi udara, banjir, penyakit, pengangguran, dan perang adalah hal yang tidak terlewatkan olehnya. Kapitalisme yang awalnya radikal dan progresif di hadapan feodalisme kini mulai menua serta semakin reaksioner. Karena kontradiksi internalnya sistem ini menghambat kemajuan masyarakat bahkan memunculkan kerusakan di sana-sini. Kontradiksi utama kapitalisme ditunjukkan dengan kenyataan dimana sistem sosial ekonominya mengandung kerja produksi yang semakin bersifat sosial, dilakukan secara kolektif oleh kaum pekerja khususnya proletar atau kelas buruh, namun hasil produksinya dimonopoli oleh segelintir pihak yaitu kapitalis. Kapitalisme menggembar-gemborkan demokrasi dan persaingan bebas. Namun pasar bebas itu pun penuh kontradiksi. Dalam persaingan akan ada pemenang dan pecundang. Dimana terdapat yang tersingkirkan akibat persaingan. Pada masa kurang lebih delapan abad feodalisme bertahan di bawah muslihat namun dapat digulingkan oleh kapitalisme karena sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan perkembangan ilmu pengetahuan dan “produksi”. Saat ini kapitalisme yang baru berumur tiga abad lebih, sudah mengalami guncangan besar terhadapat kemajuan peradaban umat manusia.
Sosialisme sebagai Jalan Keluar dan Alternatif dari Sistem Kapitalisme serta Bagaimana Mewujudkannya?
Impian tentang masyarakat adil dan makmur, dimana tidak ada penindasan manusia atas manusia ataupun bangsa atas bangsa hanya bisa diwujudkan dalam sistem sosialisme, karena aktivitas produksi yang terencana dan secara berkebutuhan. Mengharapkan sistem kapitalisme mewujudkan itu semua hanyalah mimpi di siang bolong. Karena watak akumulatif membuat kontradiktif untuk mewujudkannya. Bagaimana mungkin distribusi ekonomi dapat merata jika terdapat monopoli atas distribusi ekonomi tersebut.
Ketika kita sudah memahami bahwa dalam sistem kapitalisme telah membelah masyarakat menjadi dua kelas yang bertentangan, yakni kelas kapitalis yang menguasai alat produksi dan kelas buruh yang memperkerjakan waktunya bagi pemilik alat produksi. Maka kita dapat memahami bahwa, kelas yang paling berkepentingan untuk merobohkan tatanan yang sudah rapuh ini adalah kelas buruh. Buruhlah yang punya akses untuk menjebol dinding-dinding yang sudah kian hari kian rapuh dan membangunnya atas dasar fondasi yang tahan dalam segala terpaan dan guncangan. Tapi dengan ini kelas buruh harus bersatu sebagai kelas yang terkonsentarasi secara internasional.
Benar apa yang dikatakan oleh Karl Marx bahwa buruh tidak punya negara dan dengan itupula dia harus bersatu dengan seluruh kelas buruh yang ada didunia dengan sebuah langgam bersama untuk mepersatukan seluruh kekuatan melawan (merobohkan) kapitalisme yang sudah mendunia. Tapi kelas buruh juga harus dapat merangkul seluruh elemen tertindas yang terdiri dari kaum tani, kaum miskin kota, mahasiswa dan seluruh elemen tertindas lainnya, bersolidaritas atas dasar perjuangan yang sama. Dasar perjuangan penggulingan tatanan kapitalisme secara revolusioner dan membangun negara buruh yang di wujudkan dengan terbentuknya dewan-dewan pekerja agar dapat mengontrol seluruh aktivitas produski secara berkala. Selain itu kelas buruh harus (berkepentingan) membangun sebuah partai yang dapat menjadi alat pemersatu perlawanan terhadap kapitalisme. Partai pelopor revolusioner yang menghimpun lapisan kelas buruh yang paling maju, punya dedikasi, militansi, dan semangat kepeloporan yang tinggi dalam mengenyam tugas revolusionernya bersama kaum muda dan elemen tertindas lainnya. Perwujudan sistem sosialisme tidak dapat dilakukan dengan sekali pukul, dia harus dikerjakan dengan penuh konsisten, keoptimisan dan perlakuan yang tepat. Dan sosialisme harus pula dibangun dibawah naungan demokrasi, karena dengan itu buruh dapat sepenuhnya meperlakukan dan mewujudkan demokrasi yang seutuh-utuhnya. Seperti yang dikatakan oleh Leon Trotsky, jika manusia membutuhkan oksigen untuk bernafas, sama halnya dengan kelas buruh membutuhkan demokrasinya.
Bangun Partai Pelopor Revolusioner!
Bangkitkan Internasionalisme Proletar!
Bersatulah kelas tertindas Asia-Afrika!
Bersatulah Kelas Buruh Sedunia!
Demi Pembebasan Nasional Sejati!
Tak Ada Kemerdekaan 100% Tanpa Sosialisme!
ditulis oleh Teduh Panji Prasetya, Anggota Lingkar Studi Kerakyatan
[1] http://asianafricanmuseum.org/sejarah-konferensi-asia-afrika/
[2]http://www.voaindonesia.com/a/sensus-amerika-mengungkap-pendapatan-dan-tingkat-kemiskinan-tidak-berubah/2966288.html
Comment here