Perspektif

Pasca Pilkada DKI

Pasca PilkadaPenghitungan cepat menunjukkan kubu Anies Sandi mengalahkan kubu Basuki Djarot dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2017. Kita tidak bersorak dan juga tidak meratap. Kita tidak menghujat dan juga tidak mensyukurkan. Kita tidak membodohi massa dan tidak memperbodohkan massa. Kita menarik pelajaran: Kedua kubu adalah kubu kelas penindas. Siapapun yang menang, kelas buruh dan rakyat pekerja tetap akan digilas.

Tak ada satu pun dari kedua kubu borjuasi ini yang sungguh-sungguh memperjuangkan demokrasi. Sebaliknya justru kedua belah pihak sama-sama membujuk, merayu, dan berusaha menggandeng militerisme. Termasuk Basuki Tjahaya Purnama. Ia berkali-kali mengerahkan militer untuk melancarkan berbagai proses penggusuran terhadap kaum miskin kota Jakarta. Sepak terjang karir politiknya pun penuh oportunisme tanpa peduli soal HAM dan rasisme. Basuki masuk Partai Golkar, kemudian masuk Partai Gerindra, sebelum kemudian akhirnya keluar dari partai. Padahal dua partai ini bukan hanya memuat para tokoh militeris dan pelanggar HAM namun juga sisa-sisa antek rezim kediktatoran militer Orde Baru (Orba) pimpinan Harto yang juga bersalah terhadap rasisme anti-Tionghoa. Jadi bisa kita simpulkan, Basuki bukan hanya tidak peduli terhadap penindasan militerisme namun juga tidak peduli terhadap rasisme anti-Tionghoa—tentu saja sepanjang kepentingannya tidak terganggu. Bahkan jangan kita lupa fakta bahwa Basuki berkali-kali menggunakan sentimen komunistophobis dan sentimen anti-komunis. Basuki pernah menuduh warga waduk Pluit sebagai komunis dan (absurdnya) menuduh Bank Dunia memakai cara-cara komunis.

Sementara itu kita juga bisa melihat dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 betapa tipisnya perbedaan antara Islam Liberal dengan Islam Fundamentalis. Anies Baswedan, mantan rektor Universitas Paramadina yang digadang-gadang sebagai penerus Nurchollish Majid, ternyata demi kepentingan politik bisa dengan mudah bersekutu dengan para tokoh Fundamentalis seperti Rizieq Syihab. Dalam barisan Islam Liberal yang secara ideologis maupun akidah bermusuhan lalu lantas berteman tapi mesra dengan Islam Fundamentalis ini bisa kita masukkan Syamsi Ali—sang Imam Besar New York yang dipuji-puji sebagai tokoh pejuang toleransi, Ulil Abshar Abdalla—tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), dan Ahmad Dhani—pentolan band Dewa 19 yang memarodikan Laskar Jihad dengan lagu Laskar Cinta, doyan memakai kaos Coexist yang memadukan bulan sabit, bintang daud, dan salib, dan berkali-kali didemo FPI karena dianggap menistakan Islam—serta tokoh Islam Liberal lainnya. Mengapa demikian? Sebab tidak lain dan tidak bukan karena keduanya sama-sama membela kapitalisme. Hanya butuh kesamaan kepentingan politik (borjuis) untuk menyatukan dua ideologi dan akidah yang seolah-olah bertentangan namun kenyataannya sama-sama menyembah uang.

Dalam Kisah Dua Pilkada yang diterbitkan sebelumnya di Arah Juang, kami menulis:

“Maka jelas kaum sosialis terlarang untuk menyerukan massa rakyat mendukung pasangan calon manapun di Pilgub DKI Jakarta, termasuk Basuki Tjahaya Purnama. Sebab dukungan tersebut, termasuk yang berdalih lesser-evilism, hanya akan menguntungkan salah satu kubu borjuasi dan merugikan massa rakyat pekerja. Kenyataannya sebagian juru propaganda dan penganjur lesser-evilism ini, termasuk Bonnie Setiawan, memang bekerja dan dibayar oleh faksi borjuasi yang jadi klien sekaligus tuannya. Namun janji-janji dan ilusi-ilusi semu yang mereka tabur soal demokrasi dan HAM yang akan lebih terjamin di bawah lesser-evil tersebut tidak akan terpenuhi. Karena rezim manapun saat kapitalisme mengalami krisis akan semakin merampas hak-hak rakyat pekerja, termasuk di bidang demokrasi dan HAM. Lesser-evilism inilah yang justru malah memberi jalan pada kebangkitan Greater Evil atau Penjahat yang Lebih Jahat (daripada lesser evil). Sebab massa rakyat yang memilih lesser evil dan menyadari janji-janji HAM dan demokrasi serta reforma tidak terbukti bukan hanya bisa terdemoralisasi namun juga malah bisa bergeser ke kutub kanan reaksioner. Mereka yang sadar dibohongi janji-janji palsu ini bisa berpikir, “Oh, para kiri pendukung Jokowi (atau Ahok) ini memang membohongi kita karena mereka dibayar,” atau “Oh, katanya rezim Jokowi (atau Basuki) ini lebih demokratis dan manusiawi dibanding kubu lain, ternyata malah mereka yang menindas.” Sehingga sebagian di antara massa rakyat malah berpikir dan menyimpulkan “(Harusnya) saya tidak mendengarkan mereka,” “(Harusnya) saya memilih kubu lainnya”, demikianlah maka justru lesser-evilism yang mengantarkan pada greater evil (penjahat yang lebih jahat) atau bahkan (pandangan dan penganut) necessary-evilism (penjahat yang dibutuhkan).

Kaum Sosialis seharusnya memanfaatkan Pilgub DKI ini untuk memblejeti semua kontradiksi dan watak borjuasi sekaligus sepak terjang pendinasan dari Paslon dan para pendukungnya. Kemudian menggunakannya sebagai pijakan untuk menekankan pentingnya sekaligus mendorong membangun kemandirian kelas dan kubu alternatif di luar semua kubu borjuasi berupa persatuan perjuangan rakyat secara independen. Bukannya malah menyebarkan ilusi lesser-evilism yang merusak perjuangan kelas.”

Apa yang sebenarnya patut ditakutkan kaum Sosialis adalah bukan bagaimana kalau penindasan semakin parah di bawah rezim Anies Sandi yang merupakan kubu KMP pimpinan Prabowo. Apa yang sebenarnya patut ditakutkan kaum Sosialis justru bagaimana kalau kondisi semakin ‘membaik’ dan penindasan semakin ‘ringan’ di bawah rezim Anies Sandi. Semua retorika yang dilontarkan para kolaborator kelas seperti Partai Rakyat Pekerja (PRP) serta Indoprogress (IP) dan lainnya mengenai bahaya fasisme dan militerisme bisa sirna. Tinggal menampakkan kepentingan sejati mereka: jatah jabatan yang diberikan rezim pada mereka. Hilmar Farid sebagai Ketua Dirjen Kebudayaan, Fadjroel Rahman sebagai Komisaris BUMN, Bonnie Setiawan yang bekerja untuk Jokowi dan dibayar oleh yayasan imperialis Ford Foundation, serta lain sebagainya. Sedangkan di sisi lain semua propaganda yang memblejeti penindasan kapitalisme, menyerukan kemandirian kelas, dan menyimpulkan perlunya perjuangan buruh dan rakyat pekerja untuk mendirikan sosialisme—akan semakin sulit diterima karena terlena oleh kondisi yang semakin ‘membaik’ dan penindasan yang semakin ‘ringan’.

Namun tolong diperhatikan, kita menyematkan tanda kutip pada kondisi yang membaik dan penindasan semakin ringan. Mengapa? Sebab kaum Sosialis berbeda dengan kaum moralis. Kita tidak melihat penindasan dan penghisapan kapitalisme hanya pada bagaimana serikat buruh diberangus, petani ditembaki, mahasiswa diancam DO, kaum miskin kota digusur, dan demokrasi diinjak-injak namun juga melihat dari seberapa banyak nilai lebih yang dicuri kapitalis dengan menghisap kelas buruh. Nilai lebih paling banyak dicuri kapitalis dari kerja keras yang dilakukan kelas buruh bukan pada saat krisis ekonomi melainkan pada saat booming ekonomi. Sebagaimana politik etis mencuri lebih banyak nilai lebih daripada periode tanam paksa.

Benar apa yang dikatakan Bung Max Lane, “’Intoleransi’, rasisme, dan kambinghitamisme lain akan semakin kuat selama tak ada gerakan politik melawan struktur politik ekonomi yang anti-rakyat.” Perjuangan melawan penindasan, rasisme, dan pemberangusan demokrasi tidak akan bisa dikobarkan dengan menitipkan kepada salah satu kubu borjuasi. Kubu borjuasi tersebut akan menyalakan dan memadamkannya serta mempermainkannya untuk kepentingan penindasannya. Bukan karena benar-benar berkepentingan terhadap demokrasi, kesetaraan ras, dan pembebasan. Selama perjuangan terus dititipkan ke salah satu faksi borjuasi dan salah satu kubu penindasan maka selama itu pula massa rakyat pekerja tak akan menyadari pentingnya membangun perlawanan dengan menjunjung tinggi kemandirian kelasnya.

Max Lane juga menyatakan: “Yang akan membawa pemburukan mengalahkan yang tak akan membawa perbaikan. Butuh kubu pelaku baru.” Benar. Namun perlu kita tegaskan lebih terperinci, kubu baru tersebut adalah kelas buruh, rakyat pekerja, dan semua kelas tertindas yang perlu bersatu lintas suku, agama, dan ras, di atas garis anti kapitalisme, anti militerisme, anti rasisme, dan anti seksisme.

Kaum liberal, kolaborator kelas, dan orang-orang lainnya yang mendukung Basuki Djarot dengan dalih pluralisme serta mengklaim menangnya Anies Sandi dari kubu KMP pimpinan Prabowo yang bersekutu dengan Rizieq Syihab sebagai kemenangan fundamentalisme, intoleransi, bahkan kemenangan orang-orang bodoh berjumlah banyak, benar-benar melupakan fakta mendasar mengenai kesenjangan sosial, pemiskinan, dan marjinalisasi atau penyingkiran yang semakin keras terjadi di Jakarta. Sementara itu di sisi lain kekayaan semakin terkonsentrasi di tangan segelintir elit penguasa. Kampung-kampung digusuri dengan dalih penyebab banjir sementara apartemen-apartemen mewah dan mall-mall yang merusak Ruang Terbuka Hijau (RTH) aman tak tersentuh. Sementara para ‘kiri’ kolaborator kelas mendukung Jokowi (dan juga Basuki) dan mendapatkan jatah uang dan jabatan dari rezim, rakyat miskin kota tidak punya apa-apa lagi selain agama. Ini yang kemudian membuat mereka rentan dimangsa politik rasis kubu fundamentalis dan para pendukung Anies Sandi dari kubu KMP pimpinan Prabowo. Politik rasis harus kita lawan, tapi tidak bisa dengan sembarang politik. Kita butuh partai alternatif tapi tidak bisa sembarang partai dan sembarang alternatif. Politik liberal mengaku anti rasis namun kita sudah menyaksikan bagaimana Islam Liberal bersekutu dengan fundamentalis dan memeluk rasisme. Banyak partai alternatif baru bermunculan namun di satu sisi banyak yang pecahan partai lama (yang juga merupakan sisa Orba) dan di sisi lain juga mendukung kolaborasi kelas dan elit birokrasi serikat buruh. Apa ini politik-alternatif yang harus kita terima? Tidak.

Saat Donald Trump seorang kapitalis, bigot, Islamophobis, rasis, dan seksis terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) banyak yang kemudian berpikir (bahkan mencoba) pindah ke Kanada (atau negara lainnya). Mari kita ingatkan perkataan Karl Marx, “Kelas Buruh tidak punya negara.” Semua negara yang berdiri di atas sistem kapitalisme adalah negaranya kelas penindas. Kemanapun kita pergi, ke negara (borjuis) manapun kita hijrah, kita akan selalu berhadapan dengan kapitalis dan juga bigot. Ada Alt-Right di AS, ada United Kingdom Independence Party (UKIP) dan English Defense League (EDL) di Britania, ada PEGIDA di Jerman, ada Front Nacional di Prancis, ada United Patriot Front (UPF) di Australia—yang rasis, Islamophobis, dan anti imigran. Argumen yang sama juga bisa kita terapkan di Indonesia (termasuk kepada mereka yang ingin pindah dari DKI Jakarta). Kita juga bisa menemukan kaum kapitalis, militeris, bigot, seksis, dan rasis, di daerah-daerah lainnya. Jangan frustasi, mari berorganisasi. Jangan lari, mari kita bangun resistensi.

Kini Anies Sandi telah menang. Kini mereka saling bertukar puja-puji basa-basi pasca Pilgub DKI. Namun kemenangan ini dibangun di atas fondasi yang rawan. Belum dilantik, Anies Sandi sudah memelintir program rumah DP nol persennya dengan menambahkan syarat calon pembeli harus memiliki tabungan dua juta selama enam bulan berturut-turut. Provinsi DKI Jakarta adalah daerah yang padat dengan kontradiksi. Kontradiksi kepentingan antara buruh dan rakyat pekerja melawan kepentingan borjuasi jelas lebih besar daripada kontradiksi antara faksi-faksi borjuasi. Kita harus bersiap diri untuk hal ini nanti. Kita harus menjalin lingkar-lingkar perlawanan yang mandiri, merangkai persatuan perjuangan rakyat melawan penindasan, dan tentu saja—ini tidak bosan-bosannya kami ulangi—membangun kepeloporan revolusioner untuk memimpin perjuangan kelas buruh dan rakyat pekerja demi menggulingkan kapitalisme, menghapuskan segala bentuk penindasan, serta mendirikan sosialisme.

Oleh karena itu pilihan kita bukan satu jari, bukan dua jari, dan bukan tiga jari. Pilihan kita adalah nol jari. Nol. Kosong. Semua jari dilipat. Jari telunjuk, jari tengah, jari manis, jari kelingking, semua dilipat ke dalam dan ditutup dengan ibu jari. Pilihan kita adalah kepalan kiri. Buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota, bersatu padu rebut demokrasi. Persatukanlah dengan ibu jari: bangun persatuan revolusioner. Tujuan kita satu ibu: pembebasan.

Kita tidak melawan rasisme (anti Tionghoa) dengan rasisme (anti-Arab)

Kita tidak melawan kubu penindas (faksi KMP) dengan bersekutu dengan kubu penindas (faksi KIH).

Kita tidak melawan kapitalisme dengan kapitalisme.

Kita lawan rasisme dengan solidaritas

Kita lawan kelas penindas dengan kelas tertindas.

Kita lawan kapitalisme dengan sosialisme.

ditulis oleh Leon Kastayudha, kader KPO PRP

Loading

Comment here