Aksi

Polisi Bekerjasama Dengan Kelompok Reaksioner Membubarkan Aksi FRI WP-AMP Yogyakarta

FRI WP AMPYogyakarta Jumat 7 April 2017, bertepatan dengan 50 tahun PT Freeport di West Papua, Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI WP) Yogyakarta yang merupakan front dari beberapa organisasi (Pembebasan, PMD, LSS, SeBUMI, PPR dan KPO PRP) dan individu-individu rakyat Indonesia yang mendukung perjuangan hak menentukan nasib sendiri (HMNS) bagi rakyat West Papua bersama dengan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Kolektif Kota Jogja melakukan aksi massa bersama. Aksi  ini membawa dua tuntutan besar, yaitu Tutup Freeport dan berikan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat West Papua.

Dalam rencananya aksi dalam bentuk orasi-orasi politik dan pembagian selebaran propaganda ini akan dilakukan di bundaran kampus UGM. Pukul 09.30 WIB barisan massa aksi hendak berjalan keluar menuju bundaran kampus UGM, setelah sebelumnya mempersiapkan aksi dan mengatur barisan di halaman parkiri foodcourt Gelangang Mahasiswa UGM. Ketika tiba di gerbang UGM tanpa penjelasan apapun langsung dihadang, diserang, dibubarkan secara paksa, bahkan sampai dikejar-kejar ke dalam kampus UGM oleh aparat kepolisian yang bekerja sama dengan kelompok reaksioner Paksi Katon dan Pemuda Pancasila. Awalnya, massa aksi yang berjumlah 25 orang dipaksa untuk membubarkan diri, dengan alasan tidak ada pemberitahuan aksi. Namun faktanya dalam mempersiapkan aksi, kordinator aksi sudah melayangkan surat pemberitahuan ke Polsek Bulaksumur dan Polda DIY sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Kerja sama antara aparat kepolisian  dan kelompok reaksioner dalam memberangus ruang demokrasi sangat jelas terlihat. Pertama, ada sekitar 25 orang aparat kepolisian berbanding dengan 40 orang kelompok reaksioner. Mereka aktif melakukan koordinasi, berada dalam satu gerombolan yang sama ketika menghadang massa aksi. Kelompok reaksioner sebagian diantaranya membawa kayu dan pipa besi yang digunakan untuk menyerang massa aksi. Kedua, ketika menghadang massa aksi, Komandan kepolisan langsung membentak-bentak dan berteriak “bubarkan aksi ini, spanduk turunkan”, berbarengan dengan bentakan dan teriakan itu, aparat kepolisian dan kelompok reaksioner menyerang massa aksi dan merebut atribut aksi. Dengan semakin terdesaknya massa aksi maka kordinator aksi meminta massa untuk mundur dan berlindung ke dalam kampus. Massa aksi akhirnya mundur dan masuk ke dalam kampus, namun aparat kepolisian dan kelompok reaksioner tetap terus mengejar.

Disisi lain, tenyata aparat kepolisian dan kelompok reaksioner juga berkordinasi dengan satuan keamanan kampus (SKK) UGM. Mereka kemudian bersama-sama mengejar dan berupaya menangkap massa aksi. Kampus yang seharusnya menjadi tempat demokratis untuk kebebasan akademik (termasuk menyampaikan pendapat) kembali diberangus. SKK UGM yang seharusnya bertugas mengatur agar aparat kepolisian atau pun kelompok reaksioner yang isinya merupakan preman tidak senaknya saja masuk kampus, nampak jelas bekerjasama memberangus ruang demokrasi di dalam kampus. Di saat massa aksi mengamankan diri dari kejaran kelompok reaksioner yang membawa kayu dan pipa besi, SKK bukanya mengamankan atau mengusir kelompok reaksioner. Mereka justru ikut bersama-sama mengejar massa aksi. SKK berdalih massa aksi tidak boleh masuk kedalam kampus, karena bukan mahasiswa UGM.

Pada saat yang bersamaan di bundaran UGM juga berkumpul peserta aksi lainnya. Polisi dengan bersenjatakan pentungan kemudian mengepung peserta aksi tersebut dan meminta peserta aksi membubarkan diri. Peserta aksi kemudian membubarkan diri dan mencari peserta aksi lainnya yang pertama kali diserang.

17842380_10203005091764653_200523086_nMassa aksi yang pertama kali dibubarkan, berdebat dengan SKK yang berikeras tidak memperbolehkan massa aksi masuk ke dalam kampus, namun salah seorang dari massa aksi meminta untuk dapat bertemu dengan perwakilan organisasi mahasiswa UGM yaitu Dema Justicia FH UGM. Setelah dapat bertemu dengan Dema Justicia FH UGM, massa aksi melakukan diskusi untuk menjelaskan apa yang terjadi. Ditengah-tengah tanya jawab antara massa aksi dan Dema Justicia FH UGM, aparat kepolisian menyerbu Fakultas Hukum UGM kemudian berusaha menarik dan menangkap massa aksi yang sedang berdiskusi dengan Dema Justicia FH UGM.

Namun upaya aparat kepolisian tersebut berhasil dihalangi oleh mahasiswa FH UGM. Para mahasiswa mengatakan bahwa polisi tidak boleh masuk ke dalam kampus. Massa aksi kemudian diarahkan untuk masuk ke sekretariat Dema Justicia FH UGM, sementara aparat kepolisian di bawah pimpinan Kapolsek Bulaksumur berdiri di luar.

LBH Yogyakarta sebagai pendamping hukum FRI WP dan AMP kemudian bertemu Kapolsek Bulaksumur di lingkungan kampus FH UGM, Kapolsek mengatakan: “FRI dan AMP tidak mengirimkan surat pemberitahuan”. Tuduhan Kapolsek Bulaksumur dibantah oleh LBH Yogyakarta: “Setahu LBH Yogyakarta FRI dan AMP sudah berikan surat pemberitahuan dengan nomor 05/Pemb/FRI-WP/IV/17 ke Polda DIY pada 5 April 2017 dan telah mengantongi Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) dari Polda DIY”. Masing-masing surat dimaksud arsipnya ada di LBH Yogykarta. Selain itu, berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 1998 sewajibnya surat pemberitahuan diantarkan ke kepolisian setempat dalam hal ini Polsek Bulaksumur, namun FRI WP dan AMP mengantarkan ke Polda DIY atas saran Kapolsek Bulaksumur saat aksi sebelumnya.

Mendengar bantahan LBH Yogyakarta, Kapolsek hanya terdiam dan tidak menjawab apapun. Beberapa saat kemudian, Kapolsek Bulaksumur menarik pasukannya dari lingkungan FH UGM.

17842386_10203005091724652_720755249_nSementara itu, FRI WP dan AMP berdiskusi dengan DEMA FH UGM dan Kepala SKK UGM. Dalam diskusi itu, masa aksi jelaskan tujuan aksi dan perihal pemberitahuan sudah diantarkan pada 5 April 2017 serta menceritakan kondisi ruang demokrasi FRI WP dan AMP terus dibungkam oleh polisi bekerjasama dengan ormas. Hal serupa juga pernah dialami oleh mahasiswa UGM saat menggelar diskusi sering digeruduk oleh ormas seperti saat diskusi dan pemutaran film Senyap pada 2016 silam dan lain-lain. Yang menjadi sorotan adalah apa landasan hukum ormas yang bertindak melebihi polisi padahal ormas bukan polisi. Semua pembahasan itu didengar juga oleh Prof. Eddy O.S. Hiariej yang ada di dalam sekretariat DEMA FH UGM.

Mengingat solat jumat sehingga diskusi dihentikan sebagai wujud penghargaan terhadap umat beragama. Sembari mengakhiri diskusi, masa aksi FRI WP dan AMP, mengucapkan terima kasih kepada DEMA FH UGM yang telah mengadvokasi mereka dan mengajak DEMA FH UGM untuk bersama-sama merawat demokrasi di lingkungan UGM secara khusus dan DIY secara umum. (da)

Loading

Comment here