Pada Senin 2 Februari lalu, ribuan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi. Salah satu tuntutan yang dibawa oleh aksi KSPI tersebut adalah menolak tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok illegal dan unskilled. Sebelumnya Said Iqbal dalam konferensi pers juga menuntut pengusiran terhadap TKA Tiongkok.
Ini bukanlah kali pertama dibawa elit birokrasi serikat buruh di KSPI mengarahkan gerakan buruh untuk membawa isu-isu rasis terhadap buruh asal Tiongkok[1]. Pada 1 September 2015 lalu KSPI bersama dengan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia kubu Andi Gani Nenawea (KSPSI AGN), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), dan Komite Persiapan Konfederasi Pergerakan Buruh Indonesia (KP KPBI) yang tergabung dalam Gerakan Buruh Indonesia (GBI) juga malakukan aksi yang mengusung tuntutan “tolak pekerja asing atau tenaga kerja asing harus wajib berbahasa Indonesia”. Elit birokrasi serikat buruh juga mengarahkan gerakan buruh untuk mendukung kelompok reaksioner yang menyebarkan rasisme. Pada aksi Bela Islam Jilid 1, Said Iqbal beserta para elit birokrasi serikat buruh memberikan dukungan namun tidak dengan menggunakan nama KSPI ataupun GBI. Mereka menggunakan nama Gerakan Pekerja Indonesia (GPI). Baru pada aksi Bela Islam Jilid 2, Said Iqbal menyatakan KSPI akan mengadakan mogok nasional bertepatan dengan aksi Bela Islam Jilid 2.[2]
Rasisme ini juga disebarluaskan oleh organisasi mahasiswa. Pada tanggal 3 Mei 2016, Lingkar Studi Aksi dan Demokrasi Indonesia (LS-ADI) mendatangi kantor wali kota dan DPRD Sulawesi Tengah, menuntut kepada pemerintah untuk menolak masuknya buruh asing khususnya di wilayah Sulawesi Tengah.[3] Sementara itu pada aksi mereka, BEM SI Kaltimsel, tanggal 5 Januari 2017 juga mempersoalkan maraknya pekerja asing di Indonesia. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia sudah sejak dua tahun lalu menebarkan sentimen pribumi versus Tionghoa (aseng).
Rasisme dengan menggunakan sentimen terhadap buruh Tiongkok ini akal busuk kelas borjuis. Kelas borjuis Indonesia, termasuk para jenderal-jenderal, gemar menggunakan rasisme untuk kepentingan ekonomi politik mereka. Untuk mengaburkan antagonisme kelas yang semakin tajam antara kelas borjuis melawan kelas buruh. Mereka-mereka inilah yang sampai sekarang ini masih mendominasi perpolitikan di Indonesia.
Jangan kita lupakan Kerusuhan Mei 1998 dan kerusuhan rasialis lainnya yang merebak ketika Rejim Militer Soeharto serta sisa-sisanya terus dihantam oleh gerakan rakyat sekitar tahun 98. Termasuk juga berbagai kelompok reaksioner yang dibangun oleh para elit politik borjuis dan jenderal-jenderal untuk memukul gerakan rakyat.
Hari ini pun kita dapat melihat misalnya bagaimana kelas borjuis memainkan politik rasisme dengan sentimen anti buruh Tiongkok lewat media yang mereka miliki. Misalnya saja RCTI, media milik Hary Tanoesoedibjo, dalam program “Seputar Indonesia”, redaksi RCTI memasang judul “Para Penyusup Negara”.[4] Acara tersebut membingkai horison pengetahuan penonton bahwa “banjir tenaga kerja Cina” melemahkan identitas bangsa Indonesia. Tanpa alasan jelas acara tersebut juga berupaya menghubungkan datangnya buruh dari Tiongkok dengan penyelundupan narkoba dari Tiongkok. Sementara itu Panglima TNI, Gatot Nurmantyo mengatakan bahwa ada kemungkinan pengungsi Tiongkok akan datang ke Indonesia melalui laut. Jika itu terjadi maka dia akan menyembelih 10 sapi di tengah lautan agar ikan hiu berkumpul. Kemudian dia akan menembaki kapal pengungsi Tiongkok tersebut agar tenggelam dan para pengungsi dimakan oleh ikan hiu.[5]
Rasisme ini masuk ke dalam gerakan buruh melalui dukungan elit birokrasi serikat buruh. Pada dasarnya elit-elit birokrasi serikat buruh ini terikat seribu benang dengan kelas borjuis. Itulah mengapa kepentingan elit-elit birokrasi serikat bertentangan dengan massa buruh.
Munculnya lapisan buruh yang kemudian menjadi elit birokrasi serikat buruh pada dasarnya tumbuh dari posisinya yang berfungsi untuk menegosiasikan kepentingan anggota serikat buruh dengan kepentingan pemilik modal. Dari posisi itu kemudian dimungkinkan adanya sogokan material ataupun perlakukan istimewa dari kelas borjuis. Itu yang menjadi landasan material bagi para negosiator tersebut menjadi elit birokrasi serikat buruh.
Karena sering mendapat sogokan material dan perlakuan istimewa dari elit politik borjuis, Akibatnya lambat laun, para negosiator tersebut menganggap seolah-olah ternyata kapitalis itu bukanlah penindas, konglomerat itu bukan orang jahat, karena semua perlakuan baik yang disaksikannya. Inilah mengapa elit birokrasi serikat malah bisa menjadi pihak yang justru menghalangi radikalisasi buruh. Bahkan bisa menjadi pihak yang mengkhianati perjuangan buruh. Mereka kemudian mendorong kepentingan-kepentingan kelas borjuis.
Semakin buruh anggota serikat terbebani dengan pekerjaannya di dalam pabrik-pabrik, semakin mereka menyerahkan semua urusan serikat kepada para negosiator. Semakin lemah gerakan buruh, semakin lepasnya kontrol demokratis anggota terhadap pengurus serikat. Semakin para negosiator serikat buruh menghindari proses untuk memperkuat serikat buruh, menjalankan kaderisasi serta membangun kesadaran kelas para anggotanya. Pada akhirnya semakin kuat cekikan kelas borjuis melalui elit birokrasi serikat buruh terhadap gerakan buruh.
Saat ini, krisis kapitalisme yang semakin dalam, juga akan berakibat pada penghisapan yang semakin dalam bagi kelas pekerja. Kelas buruh akan dipaksa untuk menanggung kekacauan ekonomi yang disebabkan oleh kelas borjuis. Upah akan semakin di turunkan, akan banyak buruh yang di-PHK sementara itu kebutuhan pokok semakin tinggi, subsidi pendidikan di potong, tidak banyak pilihan bagi kelas buruh selain melawan, menuntut hak untuk hidap lebih layak. Ketika perlawanan kelas buruh semakin menguat, elit birokrasi serikat ini akan memainkan perannya, menjalankan perintah kelas borjuis, membangun konflik antar sesama kelas buruh, memutasikan kontradiksi pokok yang sebenarnya, meredam kemarahan masa buruh terhadap pemilik modal.
Dalam kasus KSPI kita bisa melihat kolaborasi antara elit birokrasi serikat buruh dengan kelas borjuis. Bertepatan dengan Hari Buruh Internasional, 1 Mei, Presiden KSPI, Said Iqbal mendeklarasikan dukungan KSPI kepada Prabowo Subianto untuk maju dalam Pilpres 2014. Selain itu, elit birokrasi KSPI juga pernah melarang anggotanya mengikuti pendidikan ekonomi politik di Rumah Buruh dan Saung Buruh. Selanjutnya saat premanisme menyerang gerakan serikat buruh, kaum birokrat ini justru menghadapinya dengan menjalin kompromi dengan para preman serta menyingkirkan orang-orang yang dianggap mengganggu kompromi itu.
Contoh lain kolaborasi kelas adalah kolaborasi yang dilakukan oleh Obon Tabroni dari KSPI dan FSPMI yang dimajukan untuk mencalonkan diri di Pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) Kabupaten Bekasi. Menurut Sarinah dari Solidaritas.net, Obon pernah berpidato di Rumah Buruh, meminta situasi kondusif menjelang Pilkada. Artinya demi melancarkan kepentingan politik mencalonkan diri di Pilkada, Obon memberikan kompromi pada kaum kapitalis di Bekasi. Ini kemudian berimplikasi pada pelemahan pemogokan buruh di Kabupaten Bekasi. Bahkan pada hari H Monas 2015, alih-alih memimpin pemogokan atau aksi massa buruh di Kabupaten Bekasi, Obon dan para pendukungnya malah pergi ke Bogor dan Bekasi Kota. Lebih parahnya lagi, kaum elit birokrat KSPI di Kabupaten Bekasi ini juga bahkan berkolaborasi dengan kaum lumpen proletar penindas buruh. Ini ditunjukkan dengan lobi-lobi yang dilakukan Obon ke Anwar Musyadad dari Masyarakat Peduli Investor (MPI) dengan didampingi Darwoto dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Padahal MPI ini berkali-kali melakukan tindak kejahatan premanisme terhadap buruh. Mulai dari penghadangan terhadap demonstrasi buruh di kawasan MM2100, pelucutan terhadap baju dan atribut buruh, bahkan mereka juga mendirikan pos-pos di berbagai titik dalam kawasan industri berupa tenda-tenda shelter. Padahal Indra Munaswar, Presidum Komite Aksi Jaminan Sosial dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR dan KAJS serta Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) pada Kamis 29 Februari 2013 dulu sudah mengadukan bahwa “LSM ini baru dibentuk dan langsung dibenturkan dengan buruh. Contohnya di setiap kita demo, mereka yang menghadang. Walaupun buruh sudah berdemo sesuai dengan undang-undang, mereka menghadang,” kata Indra.[6]
Dengan begitu kaum revolusioner tidak dapat berdiam diri terhadap elit-elit birokrasi serikat buruh yang menghancurkan gerakan buruh. Membiarkan jutaan buruh berada dibawah kepemimpinan elit-elit birokrasi serikat buruh. Semangat dan militansi buruh tidaklah seperti menabung di bank yang dapat bertambah terus ataupun dapat kita gunakan sewaktu-waktu. Kebijakan-kebijakan elit-elit birokrasi serikat buruh dapat melemahkan gerakan buruh. Melemahkan peran serta buruh dalam perjuangan, menyingkirkan mereka yang berbeda pandangan untuk kemudian meletakan buruh dibawah kontrol borjuis.
Rasisme melalui sentimen anti TKA asal Tiongkok menggunakan argumentasi bahwa terdapat banjir buruh Tiongkok ke Indonesia.
Ini cukup ironis karena lebih banyak buruh Indonesia yang berada di Tiongkok ketimbang buruh Tiongkok yang berada di Indonesia. Terdapat sekitar 25 ribu TKA asal Tiongkok yang bekerja di Indonesia. Sementara di daratan Tiongkok saja, terdapat sekitar 81 ribu buruh migran Indonesia (BMI). Angka ini belum termasuk jumlah BMI pada daerah yurisdiksi Tiongkok lainnya. Buruh, Tiongkok atau Indonesia, yang kemudian mencari penghidupan lebih baik di negara lain menjadi buruh migran bukanlah hal yang salah.
Rasisme tersebut semakin menguat karena juga terdapat kesenjangan upah dan kerja serta tingginya angka pengangguran yang diderita oleh rakyat pekerja Indonesia. Namun pengangguran yang terjadi bukanlah karena lapangan pekerjaan direbut oleh buruh asal Tiongkok. Kapitalisme selalu membutuhkan pengangguran. Dengan adanya pengangguran maka upah buruh tetap dapat dijaga rendah.
Semua merupakan konsekwensi dari Labor Market Flexibility atau Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja yang dimandatkan oleh Neoliberalisme dan dilindungi pelaksanaannya oleh institusi-institusi neoliberal seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi Perdagangan Bebas (WTO) maupun berbagai pakta dan perjanjian pasar bebas seperti MEA dan TPPA.
Penetrasi kapital yang menembus batas-batas negara tidak bisa dipungkiri di satu sisi mendorong terintegrasinya Negara-negara dalam pasar global. Penetrasi kapital juga menciptakan kelas buruh yang terhisap secara internasional. Dengan begitu kita akan menyaksikan bagaimana berbagai komoditas mengalir bebas dan begitu juga yang terjadi kepada buruh. Kelas borjuis kemudian berupaya mendorong buruh dari satu negeri untuk dipertentangkan dan dibenturkan dengan buruh dari negeri lain, berlomba-lomba siapa yang bisa menjual tenaga kerjanya untuk upah yang paling rendah. Demikianlah makna perdagangan bebas bagi buruh.
Apa yang dilakukan beberapa serikat buruh dan organisasi mahasiswa, berkaitan dengan penolakannya terhadap TKA asal Tiongkok, adalah sikap nasionalisme yang sempit. Kita haruslah meletakkan persoalan pengangguran dan PHK pada analisis kelas. Dengan begitu kita akan memahami bahwa penindasan terhadap kelas buruh tidak dilakukan atas dasar ras, suku, agama bahkan bangsa tertentu. Penindasan terhadap kelas buruh dilakukan dengan memisahkannya dari kontrol terhadap alat produksi. Kelas buruh dihisap karena tidak memiliki alat produksi, kelas borjuislah yang memilikinya. Sehingga, musuh utama kelas buruh indonesia bukanlah buruh Tiongkok, melainkan pemilik modal, elit politik bojuis, dan militerisme yang bersatu menjadi geng penindas buruh.
Oleh karena itu, elit serikat buruh yang menggunakan sentiman rasis serta menolak buruh Tiongkok bahkan meniru retorika anti asing-aseng sebenarnya bukan mewakili kepentingan kelas buruh. Melainkan mewakili kepentingan kapitalis nasional, kapitalis lokal, atau bahkan juga termasuk kubu kapitalis internasional yang ingin berebut laba, penetrasi kapital dan dominasi pasar sekaligus kontrol politik.
Sentimen rasisme dan pandangan nasionalistis yang diserukan oleh elit birokrasi serikat-serikat buruh pada dasarnya adalah pengkhianatan terhadap internasionalisme proletar dan perjuangan kelas buruh. Yang akan membuat kelas buruh terjebak dalam jurang ideologi kanan reaksioner elit politik borjuis. Kelas buruh tidak seharusnya melakukan pekerjaan kotor kelas borjuis. Sebaliknya kaum buruh justru berkewajiban menentang politik rasisme tersebut. kepentingan utama kelas buruh, adalah membangun persatuan kelas buruh sedunia untuk menghancurkan sistem ekonomi-politik yang mengasingkannya dari kehidupan sehari-hari, dan merenggut hak-hak kelas buruh. Hanya dengan cara demikianlah kelas buruh bisa menang melawan rasisme.
ditulis oleh Dipta Abimana, kader KPO PRP
[1] https://bumirakyat.wordpress.com/2015/09/08/bukan-buruh-tiongkok-tapi-neoliberalisme-biang-kerok-hajat-hidup-buruh-terperosok/
[2] http://www.arahjuang.com/2016/12/04/menolak-persatuan-gerakan-buruh-dengan-kaum-reaksioner/
[3] http://www.metrosulawesi.com/article/puluhan-massa-tolak-buruh-asing-masuk-sulteng
[4] http://www.metube.id/m/v/9706916
[5] http://www.abc.net.au/news/2017-01-06/indonesias-military-chief-threatens-chinese-refugees/8165338
[6] http://www.arahjuang.com/2016/12/04/menolak-persatuan-gerakan-buruh-dengan-kaum-reaksioner/
Comment here