(Jumat, 3/2/2017) lebih dari 120 orang yang didominasi pemuda menghadiri Sarasehan Budaya Wiji Thukul di Kalimetro, Kota Malang. Sarasehan yang digelar sehari setelah pemutaran film Istirahatlah Kata-kata (IKK). Sarasehan ini diadakan terakota.id bekerjasama dengan Malang Corruption Watch (MCW), Aliansi Jurnalis Independen, InTrans Institute, Komunitas Kalimetro, Capungart, Omah Munir, Komunitas Pelangi, Malam Puisi Malang, dan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Malang. Mereka berdiskusi dengan Gunawan Maryanto pemeran Wiji Thukul, Melati Nur Fajri dari Anak Singa Films yang mengorganisir pemutaran Istirahatlah Kata-Kata di Malang, serta Permata Ariani dari pegiat Komunitas Kalimetro.
Antusiasme Kaum Muda
Hayyik dari MCW yang berperan sebagai moderator mengatakan, “Kemarin bisa kita lihat nonton bareng IKK didominasi kaum muda. Termasuk yang datang hari ini di Sarasehan Budaya. Mungkin mayoritas tidak mengenal secara langsung Wiji Thukul tapi mengenalnya dari puisi-puisinya yang abadi dan tetap relevan sampai sekarang.”
Ini dibuktikan dari fakta yang ditemukan penyelenggara. “Lebih dari 500 tiket terjual dan itu semuanya sudah membayar via transfer. Kami sampai menyewa tambahan studio di bioskop. Jadi total lima studio itu pun jam penayangannya sudah ditambah. Total penontonnya kemarin hari Kamis mencapai 786 orang. Itu dengan cara mem-booking bioskop untuk menonton film,” jelas Melati Nur Fajri. Capaian ini diraih padahal awalnya Malang bukan termasuk daerah yang menjadi sasaran untuk pemutaran Istirahatlah Kata-Kata. “Ketika Istirahatlah Kata-Kata tidak diputar di Malang, banyak yang tanya saya. Akhirnya kemudian ajakin polling. Sekarang di Twitter ada vote juga. Ini kemudian jadi viral dan menyebar di grup-grup medsos. Sebanyak 587 orang memvoting minta Istirahatlah Kata-Kata diputar di Malang. Waktu itu pihak filmnya menjawab kenapa tidak diputar di Malang, alasannya karena belum ada duit. Karena memang ini bukan produksi film komersil. Ini usaha patungan dari kawan-kawan sendiri. Jadi kemudian saat pihak film juga membuat jajak pendapat dimanakah film IKK ingin diputar, maka keluarlah kota Malang sebagai kota yang orangnya paling banyak meminta pemutarannya,” ungkap Melati dengan senang.
Beberapa orang dari pihak sineas atau kru film Istirahatlah Kata-Kata yang turut hadir disana menyatakan gembira menyaksikan respon dari Kota Malang. Eduward Manalu menyatakan, “Kami sangat senang menyaksikan apresiasi dan antusiasme yang sangat besar dari Malang terhadap film Istirahatlah Kata-Kata. Film ini sudah keliling dan premiere di luar negeri, di Belanda, Filipina, Jerman, dan sebagainya. Kami awalnya tidak menyangka bahwa di Malang penontonnya akan sebanyak ini dan sebesar ini antusiasmenya. Saya sendiri tidak mengalami masa-masa itu, Orde Baru dan transisi reformasi. Saat itu saya masih SMP. Baru saat saya kemudian besar dan kuliah kemudian mempelajari dan mengetahui itu. Saya akhirnya menyadari bahwa kebebasan yang saya nikmati sekarang, sangat bebas, bahkan orang-orang bisa menjelek-jelekkan pemerintah dengan meme dan berbagai macam cara, itu adalah hasil dari orang-orang yang berjuang di masa lalu seperti Wiji Thukul ini. Setidaknya saya berharap dengan film ini saya menghargai kebebasan yang sekarang sedang saya nikmati.”
Kritik dan Apresiasi
Permata Ariani dari komunitas Kalimetro kemudian menyampaikan kritiknya terkait film Istirahatlah Kata-Kata. “Saya sebenarnya senada sama kritiknya Saut Situmorang. Akses ke filmnya sangat sulit.” Ini film tentang buruh, penyair kerakyatan, dan aktivis kiri yang diputar di jaringan film 21, jaringan kapitalis yang memonopoli bioskop di Indonesia dan memungut harga tiket cukup mahal bagi rakyat jelata. “Jadi agak paradoks. Buruh dan rakyat miskin sulit mengakses film yang diputar di bioskop 21.”
Sulitnya rakyat miskin mengakses bioskop yang semakin mahal juga diakui Melati. Ia menceritakan pengalamannya mengorganisir bioskop alternatif, layar tancap, dan pemutaran film untuk rakyat. “Dulu saya pernah adakan pemutaran film di alun-alun. Ada bapak yang berkata: “…lha ngene a onok layar tancep. Omahku ndek cedek e Mandala, ndek cedek e Sarinah. Tapi lek aku nontok saiki, mene anakku gak iso sangu sekolah” (Begini, dong, ada layar tancap. Rumahku di dekat (bioskop) Mandala dan Sarinah tapi kalau aku nonton sekarang besok anakku tidak dapat uang saku sekolah.penj).
Maka sebaliknya, menurut Permata yang akrab dipanggil Puput, mayoritas penonton film Istirahatlah Kata-Kata yang diputar Kamis 2 Februari kemarin justru adalah pemuda dengan latar belakang kelas menengah. Ini menunjukkan, menurutnya, bahwasanya, “Sajak-sajak Wiji Thukul menembus batas kelas, tidak hanya menyentuh buruh, tani, dan rakyat miskin. Namun juga menyentuh banyak kalangan kelas menengah. Kelas menengah yang juga peduli pada apa yang dilakukan Wiji Thukul, yang selama ini tidak bersentuhan langsung dengan kemiskinan.”
Merespon itu Aji Prasetyo, seorang komikus dan aktivis sosial, turut berkomentar menyampaikan aspirasinya terhadap film Istirahatlah Kata-Kata. Banyaknya penonton Istirahatlah Kata-Kata sampai ratusan orang dan berjibunnya para pemuda memenuhi Sarasehan Budaya Wiji Thukul ini menurutnya membuktikan bahwa: “Malang memiliki antusiasme yang sangat tinggi. Bahkan lebih tinggi daripada kota sebelah. Mengapa bisa ada fenomena seperti itu? Karena atmosfer aktivisme di Malang sangat gede. Bahwasanya aparatnya demikian anti kritik, banyak represi, itu soal lain. Jangankan aparat, rektorat dan dekanat kampus saja sering tidak membolehkan diskusi,” ungkapnya.
Aji Prasetyo melanjutkan bahwasanya memang di sisi lain film ini dianggap mengerdilkan peran Wiji Thukul. Hanya menampilkan episode hidupnya berupa pelarian dan persembunyian tanpa menampilkan ia sebagai pengorganisir mogok buruh. “Namun terlepas dari segala kekurangannya, film ini menunjukkan bahwa pernah terjadi peristiwa dimana negara melenyapkan rakyatnya sendiri. Pertanyaannya adalah what next?” lontarnya.
Pendiri Warung Tjangkir 13 yang menjadi ruang publik berhimpun bagi para aktivis dan melahirkan beberapa gerakan seperti reresik sampah visual, penolakan terhadap deklarasi ISIS di Malang, aliansi selamatkan hutan kota Malabar, dan sebagainya ini menyatakan: “Dengan film ini kita ada pancingan. Di kota kita ada Bimo Petrus. Kita perlu mengetahui bagaimana lingkungan dan keluarganya bisa membentuknya menjadi sosok perjuangan. Sulit membentuknya tapi menghilangkannya gampang. Kalau kita tahu bagaimana pembentukannya maka kita bisa mempelajari bagaimana mencetak para pejuang di masa depan.
Gunawan Maryanto berkomentar, “Usia film ini akan sangat panjang. Bagaimana mengedarkan film ini seluas mungkin. Kalau tidak kerja bareng tidak mungkin terwujud. Wiji Thukul bukan hanya terpinggirkan di dunia nyata tapi juga di dunia sastra. Teman-teman mendesak buku-buku Wiji Thukul juga dijual di Gramedia. Film ini bagian dari gerakan menolak lupa, melawan lupa. Namun tidak mungkin film biopic apapun bisa meringkas seluruh bagian hidup seorang tokoh. Mungkin butuh banyak film lagi untuk Wiji Thukul. Fase yang diambil Istirahatlah kata-kata adalah fase terakhir yang jarang diketahui banyak orang.”
“Budiman Sudjatmiko ditangkap karena dituduh mendalangi penyerbuan ke kantor PDI. Film ini pengingat awal bahwa ada yang belum selesai. 98 belum lama berlalu apalagi bila dibandingkan dengan 65. Tapi banyak dilupakan. Ini upaya merawat ingatan. Kebebasan berkumpul dan berpendapat diperjuangkan Wiji Thukul.”
“Wiji Thukul sosok fenomenal dan dikagumi banyak pihak. Terus terang saya takut bermain, di satu sisi menambah beban duka. Ini sebenarnya tragedi. Bukan success story. Kalau ini gak bener bagaimana. Dokumentasi Wiji Thukul sangat sedikit. Fotonya sedikit. Videonya sedikit. Itu pun cuma sebatas manggung. 94 saya masuk UGM. Kampus itu sudah rame-ramenya. Saya juga ikut demonstrasi. Sosok Wiji Thukul legendaris, banyak kata-katanya muncul di tiap mimbar.“
Ia mengapresiasi apa yang disebutnya “antusiasme dari anak-anak muda untuk menonton film ini…” yang sangat besar. Gunawan berkeinginan: “Bagaimana keadaan peristiwa dan tragedi itu dibicarakan lagi untuk menuntut jawaban. Sampai saat ini Jokowi diundang untuk ikut nonton Istirahatlah Kata-Kata tidak merespon. Film ini adalah pertanyaan sekaligus tagihan terhadap janji Nawacita.”
Utomo Rahardjo, bapak dari Bimo Petrus, yang hadir di Sarasehan Budaya itu kemudian turut berbicara. “saya memberikan testimoni juga pada pemutaran Istirahatlah Kata-Kata tanggal 19 januari di Tunjungan Plaza Surabaya. Bukan jumlahnya yang penting tapi maknanya. Sajaknya ditakuti oleh rezim Orba di masa itu…” ujarnya. Ia melanjutkan, “Apa makna dari film WT, membuka pintu masuk bagi pemerintah. Janji Nawacita untuk menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu. Namun sampai sekarang belum pernah direspon sama sekali. Tahun lalu bersama anggota PRD lainnya saya diundang ke Timor Leste diberi penghargaan oleh pemerintah Timor Leste karena berkontribusi berjasa atas kemerdekaan Timor Leste. Xanana Gusmao sendiri memberi penghargaan. Inilah, negara lain menghargai jasa-jasa mereka sedangkan di negeri sendiri belum. Perjuangan ini perjuangan politik yang belum bisa tuntas. Apa harapan bagi keluarga korban? Jangan banyak berharap. Sebab banyak dari mereka bercokol di pemerintahan. Wiranto, Sutiyoso, Hendropriyono, semuanya masih di lingkaran kekuasaan,” ungkapnya memperingatkan.
Menanggapi itu, Hayyik selaku moderator menginformasikan, “Belakangan ini Komnas HAM dan Kemenkumham mewacanakan jalur rekonsiliasi Sementara keluarga korban seperti anak dan istri Wiji Thukul, istri Munir, dan orang tua Bimo Petrus tidak dipenuhi haknya…” ungkapnya. Jadi ini sebenarnya bukan rekonsiliasi melainkan upaya untuk memaksa para korban menerima kejahatan para pelaku pelanggaran HAM serta tidak lagi menggugat dan memprotes sama sekali.
Penindasan yang Dihadapi Wiji Thukul Dulu dan Kini
Muhammad Ali Arrochid dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) kemudian mengajukan pertanyaan, “Jadi apakah kita akan tinggal diam dengan rezim ini. Saya kira rezim sangat welcome dengan kata-kata. Saya pikir bagaimana caranya rezim mau mengubah pola sistemnya?”
Merespon itu Puput puput menegaskan hal penting yang harus dilakukan. “Jangan sampai euforia atas film ini cuma berhenti pada nonton. Tidak turun langsung, bersentuhan dengan apa yang diangkat Wiji dalam karyanya. Terkait relevansi dengan konteks hari ini ada satu scene yang menarik. Wiji Thukul mengatakan rezim ini bangsat tapi takut pada kata-kata. Sekarang rezim kita tidak takut pada kata-kata. Tapi kata-kata diorganisir, dilempar, dan ditarik media massa sehingga pemerintah bisa mengondisikan,” peringatnya.
“Setiap orang bisa mengkritik pemerintah…” bahkan sampai kritikan yang tidak bermutu berupa berita bohong, hoax, dan sebagainya, dimana kemudian pemerintah bisa memanfaatkan kekacauan yang diakibatkannya untuk menerapkan pengekangan arus informasi sesuai kepentingannya. “Pemerintah sekarang bahkan sudah mewacanakan mewajibkan barcode bagi situs-situs berita di internet dengan alasan untuk mencegah hoax,” ungkap Puput. Jadi “Rezim hari ini tidak takut kata-kata. Kurang dari sepertiga penduduk Indonesia yang bisa mengakses internet. Separah apapun kita meledek rezim lewat meme itu tidak membahayakan rezim,” tekannya.
Kebutuhan akan Gerakan
Maka Puput menyimpulkan, “Jangan sampai kita cuma jadi masyarakat penonton atau spectacle society. Jangan sampai ngomong puisinya dan filmnya Wiji Thukul lebih bising daripada ngomong spiritnya Wiji Thukul. Jangan sampai ngomongin spiritnya Wiji Thukul lebih bising daripada ngomong yang diperjuangkan Wiji Thukul.”
“Kita bisa lihat penindasan di sekitar kita. Wiji Thukul menulis, ‘Apa yang berharga dari puisiku kalau adikku tak bisa berangkat sekolah.’ Ini adalah penindasan. Bagaimana kita caranya mengubah sistem? Satu-satunya jalan ya lewat gerakan massa. Jangan sampai kita jadi wiji-wijian yang gak thukul. Jangan sampai kita jadi biji-bijian yang tidak tumbuh,” serunya.
Gunawan juga berkomentar. “Aksi kamisan di Jakarta sendiri sudah berjalan sepuluh tahun. Tidak ada respon sama sekali dari pemerintahan. Film Istirahatlah Kata-Kata ini peredarannya juga masih terbatas. Tidak ada apa-apanya dibandingkan video security ugal-ugalan di Youtube misalnya. Belum ada gerakan masif yang mengangkat isu tertentu. Film ini cuma satu cara atau medium untuk mengangkat itu.” Hayyik lalu menambahkan, “Kita memang tidak bisa berharap terlalu banyak kepada satu film. Butuh gerakan untuk mengubah ketertindasan.”
Yani dari Lensa Mata turut menanggapi. “…yang perlu kita cermati saya mengharapkan ini bukan sekadar euforia saja. Bergeraklah menurut kemampuan…” meskipun kemampuan rakyat menurutnya selalu dibatasi. “…film Istirahatlah Kata-Kata ini berbeda dengan film Udin. Kami di Yogyakarta memutar dengan para wartawan AJI, yang datang cuma 46 orang.” Apakah karena berbeda ruang, tokoh, dan isu, ia menyatakan tidak tahu. Namun ia mengungkapkan, “Pemutaran film didatangi intel Korem, BIN, dan sebagainya…Aparat kita sampai saat ini anti kritik dan represif. Saya tidak memungkiri. Karena mereka dibayar untuk mencurigai.”
Leon Kastayudha kemudian menanggapi. “Benar kita harus mengapresiasi perjuangan Wiji Thukul, Bimo Petrus, dan kawan-kawan PRD serta para aktivis demokrasi lainnya seperti Munir yang saat itu berjuang menentang rezim kediktatoran militer Orde Baru pimpinan Harto. Sehingga berkat mereka hari ini kita bisa menikmati kebebasan, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia yang relatif sedikit lebih besar daripada saat itu. Namun saya bertanya-tanya, apakah benar rezim hari ini tidak takut kata-kata sama sekali? Oktober dulu, buruh yang berdemonstrasi menentang PP Pengupahan di depan Istana Negara direpresi oleh para polisi Turn Back Crime disingkat TBC. Mereka dipukuli, ditendangi, dipentungi, mobil komandonya dirusak dan dipecahkan kaca-kacanya, para demonstran ditangkap dan dikriminalisasi, hanya dengan alasan demonstrasinya melewati jam yang diperbolehkan. Banyak petani juga menderita perampasan tanah, penggusuran, bahkan ditembaki. Belum lama lalu Salim Kancil juga dibunuh dan kawannya Tosan meskipun selamat tapi sempat dianiaya, karena berjuang melawan para perusak lingkungan akibat tambang pasir. Kampus-kampus juga banyak pembubaran diskusi dan pembreidelan. Bahkan kondisi di Papua juga hampir sama seperti di masa Orde Baru. Tidak ada demokrasi, banyak pelanggaran HAM, dan pembunuhan, seperti penembakan Paniai serta kasus Dogiai. Beberapa waktu lalu juga terjadi kasus penyerbuan asrama mahasiswa Papua dimana aparat bekerjasama dengan ormas preman yang menyerang dengan sentimen-sentimen rasis. Saya tidak tahu apakah ini Orde Lebih Baru atau Orlaba. Apakah ini Orde Paling Baru atau Orpaba. Tapi yang pasti menunjukkan betapa semu, rapuh, dan terbatasnya kebebasan dan demokrasi saat ini. Kita tidak benar-benar bebas sejati. Kita bagaikan pindah ke penjara yang lebih luas dengan jeruji yang lebih tinggi dan rantai belenggu yang lebih panjang.”
Anggota Kongres Politik Organisasi Perjuangan Rakyat Pekerja ini menyimpulkan, “Oleh karena itu apa yang diperjuangkan dan dilakukan Wiji Thukul masih relevan dan harus kita teruskan. Kita tidak bisa berharap pada negara, karena negara, lah, pelaku pelanggaran HAM itu. Bagaimana negara mungkin mengadili dirinya sendiri? Kita juga tidak bisa kembali ke diri sendiri atau masing-masing. Akhirnya lemah dengan kesendirian dan kegalauan. (Tertawa) Seperti lidi, kalau satu satu gampang dipatahkan tapi kalau semuanya bersatu tak mudah dipatahkan. Wiji Thukul telah menunjukkan bahwa berjuang itu tidak bisa sendirian, melawan penindasan harus bersama-sama. Bahkan melawan penindasan itu harus terorganisir. Wiji Thukul menunjukkannya dengan mendirikan serikat buruh, mengorganisir seniman, menerbitkan koran, dan membangun partai. Nah, mumpung disini kita bisa sekalian menindaklanjutinya dengan berkonsolidasi, mengawalinya dengan saling sharing kondisi penindasan yang kita ketahui, dan bagaimana saling bersolidaritas. Kita harus meneruskan warisan Thukul demi memperjuangkan demokrasi, HAM, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Gunawan yang juga merupakan pegiat Teater Garasi sekaligus penulis puisi di Yogyakarta mengakui itu. “Benar. Saya yang di Yogya juga mengalami itu. Yogya sekarang jadi tidak toleran pada diskusi, pada pemutaran film. Diskusi-diskusi dibubarkan,” ungkapnya. Maka menurutnya, “Forum-forum mesti dibuka lagi, mari berdialog, di banyak bidang, dibuat jejaring. Ini jadi isu bersama. Begitu banyak masih berlangsung pelanggaran HAM. Semoga melalui film dan diskusi ini bisa jadi awalan untuk bergerak,” harapnya.
Menanggapi Aji Prasetyo, Gunawan mengatakan, “Lingkungan memang bisa jadi membentuk seseorang. Lingkungan memang signifikan tapi bukan satu-satunya. Bagaimana keputusan dan peran individu juga menentukan sebenarnya. Kita lihat Wiji Thukul misalnya. Kenapa tetangga Wiji Thukul bisa begitu tapi tetangga-tetangganya tidak bisa. Jadi kita mesti mengakui bahwa Wiji Thukul tidak akan menjadi pejuang seperti sekarang kalau ia tidak bertemu kawan-kawan aktivis, kalau tidak bikin serikat buruh, kalau tidak menulis puisi-puisi. Jadi tetap inisiatif individu juga memainkan peran besar.”
Melengkapi itu Melati menambahkan pelajaran dari pengalamannya bersentuhan dengan petani yang menolak pengambilan tanahnya oleh perusahaan pertambangan batu bara. Ia menceritakan bahwa petani ini tidak mau diintimidasi maupun dibayar berapapun. Baginya ukuran kesuksesan bukanlah uang apalagi kucuran dari korporat pertambangan. Namun bagaimana ia bisa makan dari hasil keringatnya sendiri dan hidup serasi dengan bumi. Buat apa uang kalau lingkungan hidup rusak, menurutnya. “Melihat dari perspektifnya petani itu,” ungkap Melati, inisiatif individu perlu ditambah dengan, “Harus punya kesadaran kolektif. Jadi ayo kesadaran kolektifnya ditambah,” serunya.
Puput kemudian menanggapi Leon. “Sebenarnya rezim hari ini penyair juga. Kata-kata dibolak-balik sedemikian rupa sampai rakyat tidak bisa mengidentifikasi. Cuma untuk menyikapinya kita tidak bisa cuma berdebat. Apalagi cuma berdebat di medsos.” Karena menurut Puput ternyata hari ini rezim pakai kata-kata dengan lebih lihai. Mereka menguasai jaringan media telekomunikasi, termasuk pertelevisian yang jangkauannya harus diakui lebih luas dari medsos. “Saya sepakat tadi dengan tawaran Bung Leon yang sangat konkret.” Kita harus berkonsolidasi, berjejaring, dan bersolidaritas membangun gerakan. Kepada Yani, Puput menegaskan, “Perubahan tidak akan datang dengan menyampaikan kata-kata kepada rezim. Rezim tidak akan mengubah sistem dengan sendirinya. Perubahan hanya bisa diraih lewat gerakan massa,” tekannya. (lk)
Comment here