Pengantar Redaksi
Artikel berjudul “The Uprising of the Airports – Pemberontakan di Bandar Udara” ini diterbitkan dalam situs socialistworker.org. Artikel ini menggambarkan demonstrasi yang merebak di berbagai bandara udara di Amerika Serikat. Demonstrasi tersebut menentang perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh Trump tidak lama setelah menjabat. Perintah eksekutif tersebut berisi larangan bagi imigran dan pengungsi dari tujuh negara yang mayoritas penduduknya Islam, yaitu Irak, Suriah, Libya, Yaman, Iran, Sudan dan Somalia. Padahal banyak pengungsi berasal dari negara tersebut tidak terlepas dari perang, invasi dan intervensi yang dilancarkan oleh Imperialisme AS sendiri. Perintah eksekutif yang rasis tersebut juga dibarengi dengan perintah eksekutif rasis yang lain, yaitu pembangunan tembok disepanjang perbatasan Meksiko-AS.
Di tengah berkobarnya rasisme di Indonesia, penting bagi kelas buruh dan rakyat Indonesia untuk mengambil pelajaran dari perlawanan yang berkembang terhadap Trump.
Tidak berapa lama setelah Trump mengeluarkan Perintah Eksekutif-nya, seruan darurat untuk melakukan aksi dikeluarkan. Ribuan orang berkumpul dalam “pemberontakan di bandar udara” tersebut dan kita melihat solidaritas yang luar biasa dari kelas buruh dan rakyat. Salah satu foto ikonik dari aksi di bandar udara itu adalah foto seorang anak muslim dan yahudi yang sama-sama melakukan aksi. Dalam aksi tersebut ribuan orang bersolidaritas, mereka berasal dari berbagai latar belakang agama. Berbagai kelompok kiri, komunis, kelompok LGBT, serikat buruh, aktivis hingga mereka yang baru pertama kali melakukan aksi datang berbondong-bondong.
Memang masyarakat tidak pernah terbagi atas agama, jenis kelamin, etnis ataupun perbedaan biologis lainnya. Masyarakat terbagi menjadi kelas yang menindas dan kelas yang ditindas, saat ini yaitu kelas borjuis dan proletariat. Kebencian terhadap agama tertentu, jenis kelamin, orientasi seksual ataupun etnis tertentu diciptakan oleh kelas borjuis untuk keuntungan dan kekuasaannya. Trump sendiri dengan senang hati tetap menjalin kerjasama dengan raja-raja diktaktor Islam di Timur Tengah atau dengan Hary Tanoe, Setya Novanto dan Fadli Zon di Indonesia. Itu karena mereka berada di kelas yang sama yaitu kelas borjuis.
Disini kita dapat melihat pelajaran yang juga penting, yaitu mengenai solidaritas dan aksi massa. Betul bahwa kemudian muncul penentangan dari hakim federal ataupun beberapa senator AS terhadap perintah eksekutif Trump. Namun penentangan tersebut muncul karena gelombang perlawanan terhadap kebijakan Trump. Demonstrasi di bandar udara kemarin bukanlah yang pertama ataupun yang terakhir. Semakin lama semakin kuat perspektif bahwa untuk melawan Trupisme, untuk melawan rasisme dan bahkan untuk melawan fasisme maka yang dibutuhkan adalah solidaritas serta aksi massa secara langsung. Jauh berbeda dengan kaum liberal dan radikal bebas Indonesia yang mengharapkan rasisme bisa dihadapi dengan penegakan hukum ataupun menggantungkan nasib rakyat pada Jokowi.
Berkembangnya rasisme dan politik ultra kanan di Indonesia maupun secara internasional tidak bisa dilepaskan dari rejim-rejim yang berkuasa dan tatanan kapitalisme itu sendiri. Orang terperdaya dengan membenci Trump tapi mencintai Obama, misalnya. Atau menolak rasisme tapi berharap pada Jokowi untuk menghapuskan rasisme.
Pengungsi yang terus mengalir ke AS adalah hasil dari kebijakan bombardir Pemerintahan Obama di Timur Tengah. Tidak lama setelah Trump memenangkan pemilihan umum, Clinton serta Partai Demokrat mengucapkan selamat dan siap bekerjasama.
Demikian juga kelompok-kelompok reaksioner diciptakan oleh para jenderal, seperti Wiranto dan Hendropriyono, yang sekarang mendapatkan jabatan empuk dalam pemerintahan Jokowi. Ketimbang mengungkap sejarah dan memberikan keadilan bagi para korban kejahatan kemanusian Rejim Militer Soeharto di tahun 65, Jokowi membiarkan komunistofobia terus dikobarkan. Termasuk juga dengan rasisme serta homofobia yang terus dipelihara.
Kita membutuhkan mobilisasi solidaritas yang lebih banyak dan besar untuk melawan penyerangan tempat-tempat ibadah, untuk melawan pembubaran diskusi, untuk melawan serangan-serangan dari kelompok reaksioner, untuk melawan homofobia dan komunistofobia. Kita membutuhkan lebih banyak solidaritas, kita membutuhkan aksi massa yang lebih banyak dan lebih besar untuk melawan rasisme dan mempertahankan demokrasi. Seperti mobilisasi besar yang dilakukan oleh rakyat Amerika untuk melawan Trump. Kita membutuhkan tatanan masyarakat baru, sosialisme, untuk mengalahkan kapitalisme dan benar-benar menghapuskan rasisme.
– – – – – – – – – – – – – – – –
Ketika berita tersebar bahwa Trump telah menandatangani larangan terhadap imigran dan pengungsi, massa rakyat bergerak ke bandar udara untuk melancarkan protes, tulis
.
30 Januari 2017
Tidak perlu waktu yang lama bagi Donald Trump untuk memulai perang terhadap imigran, pengungsi dan Muslim yang Ia janjikan selama kampanye presiden.
Pada tanggal 27 Januari, ia menandatangani sebuah perintah eksekutif yang melarang orang dari tujuh negara mayoritas Muslim memasuki AS selama setidaknya 90 hari dan menangguhkan pengakuan bagi semua pengungsi dari negara manapun untuk setidaknya empat bulan. Itu beberapa diantara kebijakan lainnya.
Akan tetapi, tidak butuh waktu lama juga bagi ribuan orang untuk mengirim pesan keras sebagai respon kepada Trump: “Tolak Larangan, Tolak Tembok, biarkan mereka masuk!”.
Para aktivis melakukan seruan darurat untuk solidaritas dan protes di bandara dari New York City sampai San Francisco dan banyak kota di antaranya. Ribuan orang turun di bandara tidak berselang lama setelah Trump mengeluarkan perintah eksekutifnya, dan mereka meneruskan protes sampai larut malam dan juga hari berikutnya, dengan seruan-seruan seperti “Tidak ada kebencian, tidak ada rasa takut, imigran diterima di sini!” tanpa henti-henti.
Perintah Trump, yang disebut “Protection of the Nation from Foreign Terrorist Entry into the United States” (“Melindungi Bangsa dari Teroris Asing yang Masuk ke Amerika Serikat”) melarang orang dari Iran, Irak, Suriah, Sudan, Yaman, Libya dan Somalia memasuki AS, terlepas dari mereka memiliki visa legal atau tidak. Daftar negara-negara tersebut, diklaim oleh pemerintahan Trump sebagai pengadopsian dari pemerintahan Obama dalam tindakan “perang melawan teror” yang lalu.
Bagi Sahar Algonaimi, seorang warga Suriah yang bepergian ke Chicago untuk mengunjungi ibunya yang sakit kanker, perintah Trump itu berarti ditahan selama lima jam di Bandara Internasional O’Hare – dan harus kembali ke rumahnya di Arab Saudi tanpa bisa mengunjungi ibunya.
Algonaimi yang berusia 60 tahun ini memiliki visa dan surat yang ditandatangani dari ahli bedah untuk petugas imigrasi yang menjelaskan bahwa kehadirannya “diperlukan untuk membantu” dalam perawatan ibunya yang berusia 76 tahun yang sakit kanker. Teapi itu tidak cukup bagi para pejabat Bea Cukai AS. Perintah yang ditandatangani oleh Trump pada hari Jumat melarang pengungsi Suriah untuk datang ke AS dalam batas waktu yang tidak ditentukan.
Salah satu orang pertama yang ditahan, Hameed Khalid Darweesh, adalah seorang penerjemah dari Irak yang bekerja untuk militer AS selama lebih dari satu dekade selama pendudukan – tapi tetap saja ia masih terperangkap dalam jaring Trump. Korban lainnya adalah Samira Asgari, seorang ilmuwan Iran yang datang ke Harvard Medical School – Sekolah Kedokteran Harvard untuk melakukan penelitian tentang obat untuk TBC. Dia mengatakan dalam tweet: “Saya sangat bersemangat untuk bergabung dengan lab @ soumya_boston tetapi tidak diizinkan untuk boarding karena saya berkebangsaan Iran. Merasa lebih aman?”
Semua ini terjadi hanya beberapa hari setelah Trump menandatangani perintah eksekutif lain yang memerintahkan Departemen of Homeland Security – Departemen Keamanan Dalam Negeri untuk mulai membangun tembok di perbatasan dengan Meksiko serta menghidupkan kembali program-program lama untuk mengejar imigran gelap yang tidak melakukan kejahatan namun pergi ke AS dengan alasan untuk mencari keselamatan dan keamanan ekonomi.
– – – – – – – – – – – – – – – –
Ketika pemegang VIsa di pesawat mendengar tentang perintah Trump, banyak yang kemudian tidak berkutik dalam ketakutan, ketakutan tentang apa yang bisa terjadi selanjutnya. Ketika mereka tiba di bandara di AS, mereka menghadapi kekacauan dan kebingungan. Tetapi mereka juga bertemu dengan ratusan orang yang tergerak untuk menunjukkan solidaritas bukan kebencian.
Di Bandara JFK New York City, di mana para Petugas Keamanan Dalam Negeri menahan 109 orang, sekitar 3.000 orang memadati area depan terminal kedatangan internasional.
Rita yang berkebangsaan Palestina dan seorang guru sekolah di New York City, menceritakan sebuah kisah khas begitu banyak:
“Seorang teman dari kerabat saya akan menikah. Pengantinnya adalah dari Suriah, dan dia ditahan di dalam bandara. Dia memiliki semua dokumen dan datang untuk pernikahan, tapi mereka menghentikannya. Saya rasa ini adalah hal yang menjijikkan. Orang-orang datang ke AS untuk harapan – untuk memulai hidup – dan itu memalukan karena tampaknya hal seperti itu semuanya berubah.”
“Saya suka ketika saya melihat orang-orang bersama-sama. Saya orang Palestina jadi saya dibesarkan dengan (tradisi) protes seperti ini. Saya tahu pentingnya protes semacam ini dan perubahan yang bisa dibuat (dari protes ini). Kadang-kadang protes adalah satu-satunya cara bagi orang untuk bisa didengarkan.”
Taxi Workers Alliance – Aliansi Pekerja Taksi menyerukan satu jam boikot jemputan di bandara JFK, menjelaskan dalam sebuah pernyataan mengapa mereka bergabung dalam protes[1]:
“19.000 anggota serikat kami berdiri tegas menentang larangan Donald Trump bagi orang-orang Muslim. Sebagai sebuah organisasi yang keanggotaannya sebagian besar orang Muslim, tenaga kerja yang hampir semuanya adalah imigran, dan gerakan buruh yang mengakar dalam membela yang tertindas, kita mengatakan tidak untuk larangan yang tidak manusiawi dan tidak konstitusional ini …”
“Kami berdiri dalam solidaritas dengan semua tetangga kami yang cinta damai melawan tindakan yang tidak manusiawi, kejam, dan tidak konstitusional, tindakan yang murni (sebagai sebuah) kefanatikan.”
Guru ESL Jessica Garcia telah membatalkan rencana malam itu karena dia merasa dia harus bergabung dengan protes di JFK. “Saya suka murid-murid saya,” kata Garcia. “Mereka takut mereka akan diambil, dan yang bisa saya lakukan adalah terus mengatakan kepada mereka bahwa itu tidak akan terjadi.”
Di New York dan Seattle, polisi ternyata mampu mendapatkan layanan rapid transit ke bandara yang ditutup selama protes – tidak ada alasan lain selain bahwa polisi mengatakan hal itu.
– – – – – – – – – – – – – – – –
JFK airport diliput oleh media nasional, namun cerita yang ditampilkan serupa di beberapa kota lainnya.
Di Chicago, ribuan membanjiri kereta CTA yang menuju ke Bandara Internasional O’Hare dan parkir Terminal Internasional terisi penuh, setelah Arab Amerika Action Network – Jaringan Aksi Arab Amerika menyerukan solidaritas untuk bergabung dalam protes darurat pada Sabtu sore. Para pendemo memenuhi bagian dalam terminal, dan beberapa ribu orang tumpah ruah di luar, sehingga akhirnya memblokir semua lalu lintas.
Mayra, seorang imigran dari Belize, memegang tanda-tanda bertuliskan “Penghormatan dan Martabat untuk Semua” dan “Tidak ada Pelarangan bagi Muslim,” dia datang ke karena ingin “mendukung sesama saudara Muslim dan imigran, karena saya seorang imigran juga. Kami benar-benar percaya bahwa menjadi seorang imigran adalah kombinasi dari budaya dan manusianya, dan hal inilah yang membuat Amerika menjadi besar. ”
Di Bandara Internasional San Francisco, lebih dari 1.000 orang datang ke demonstrasi yang diselenggarakan oleh sebuah koalisi lokal yang termasuk the Arab Resource and Organizing Center and Alliance of South Asian Taking Action, bekerja sama dalam Bay Resistance.
Pengacara dari American Civil Liberties Union dan Arab American Legal Services – Pelayanan Hukum Arab Amerika hadir untuk mendukung mereka yang telah ditahan, sebagaimana demonstran meneriakkan, “bebaskan keluarga-keluarga tersebut! Biarkan pengacara masuk!” Demonstran juga mengangkat tanda-tanda yang bertuliskan, “Tolak Larangan! Tolak Tembok!” dan “Never Again” – menarik perhatian pada fakta buruk dari keputusan Trump untuk mengadakan larangan pengungsi bertepatan dengan Hari Peringatan Holocaust.
Terdapat sekitar 1.000 orang di Bandara Internasional Logan di Boston, mengisi ruang di depan Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS. Para pengunjuk rasa mengelilingi panggung rakyat sebagai pembicara dan menyampaikan orasi terkait hubungan antara perang AS di luar negeri, Islamofobia dan xenophobia di rumah; dan berbagai perjuangan lainnya seperti perjuangan Adat terhadap Dakota Access Pipeline.
Pasangan muda dari Vermont yang melewati bandara memutuskan untuk bergabung dalam protes tersebut, mengatakan, “Kami semua aktivis sekarang.” politisi Partai Demokrat seperti Boston Walikota Marty Walsh dan AS Senator Elizabeth Warren berpartisipasi – kontras dengan pernyataan Warren bahwa dia akan bekerja dengan administrasi Trump pada isu-isu di mana mereka setuju.
Di bandara internasional Los Angeles, sekitar 500 orang berkumpul di Sabtu malam dan berjalan disepanjang terminal internasional, dalam sebuah protes yang diserukan di Facebook oleh Service Employees International Union – Serikat Buruh Buruh Pelayanan Internasional.
Di bandara Dulles dekat Washington DC kerumunan ratusan massa multi-ras, banyak diantara mereka belum pernah terlibat dalam demonstrasi sebelumnya, meneriakan slogan hingga dini hari, bersumpah untuk kembali jika memang harus. Sekitar 300 orang melancarkan protes selama tiga jam di terminal internasional San Diego.
– – – – – – – – – – – – – – – –
Setelah beberapa jam protes yang menyebar dari bandara udara ke bandara udara di Sabtu malam, muncul berita baik — seorang hakim federal di New York mengumumkan penangguhan bagi pemegang visa yang terdampar di tahanan bandara udara.
Penangguhan itu sangat terbatas hanya pada mereka yang ditahan pada malam itu, dan apa yang akan terjadi bagi pengungsi di masa depan masih tidak jelas. Namun alasan hakim tersebut mengambil tindakan menentang perintah eksekutif presiden adalah jelas: ribuan orang yang memilih solidaritas ketimbang kebencian dan menjalankan ide-ide mereka dalam tindakan.
Ketika berita tersebut tersebut, para demonstran yang masih berada di bandara udara berteriak gembira. DI Chicago seruannya adalah: “Ketika kita berjuang, kita bisa menang!”
Lebih banyak protes di bandara diserukan di hari Minggu seriring artikel ini ditulis. Di New York City, puluhan ribu orang bergerak ke pusat kota untuk mengikuti protes yang diorganisir secara darurat untuk memprotes kejahatan kebencian eksekutif Trump.
Protes ini mirip dengan banjirnya massa aksi saat demonstrasi perempuan – banyak orang yang datang ke pusat kota belum pernah terlibat dalam protes sebelumnya, namun sekarang berkomitmen untuk menunjukan oposisi terhadap Trump. Hampir semua poster yang menyatakan solidaritas dengan para pengungsi dan imigran dibuat sendiri.
Demonstrasi hari Minggu di Copley Square di Boston juga seperti itu, berhasil memobilisasi ribuan orang.
– – – – – – – – – – – – – – – –
Dan ini bahkan bukan satu-satu protes di minggu ini. Beberapa hari sebelumnya, setelah Trump menandatangani aksi kebenciannya dengan membangun tembok di perbatasan AS-Meksiko, terdapat gelombang manusia berdemonstrasi untuk menunjukan penentangan mereka.
Di New York City, sekitar 4.000 orang memenuhi Washington Square Park pada tanggal 26 Januari dalam protes yang diserukan malam sebelumnya oleh cabang lokal dari American-Islamic Relations.
Ada perasaan yang jelas akan kondisi darurat. Banyak diantara massa belum pernah terlibat protes sebelumnya, namun mereka merasa terdorong untuk melawan akibat bencana dari minggu pertama Trump menjabat.
Seorang mahasiswa Touro Medical College bernama Faisal menjelaskan bahwa ia dan teman-temannya tidak pernah punya waktu untuk bergabung dalam aksi sebelumnya, tapi malam ini, mereka memutuskan untuk “melewatkan kelas bersama-sama, karena kita tidak bisa menjalani kehidupan normal kita sementara banyak kawan-kawan kita berada di bawah ancaman. ”
Maryam Shoubir, seorang mahasiswa di Fordham University, menjelaskan bagaimana marahnya ia ketika mengetahui bahwa imigran yang berasal dari Irak dan Yaman akan mengalami kesulitan berlipat ganda untuk masuk ke AS dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. “Trump bilang kirim para pengungsi kembali ke negara mereka,” kata Maryam. “Tapi negara apa? Negara yang sudah kita hancurkan dan bom? Itu memalukan!”
Linda Sarsour, direktur Arab American Association of New York menyampaikan orasinya mengenai inspirasi yang bisa diambil dari peristiwa sejarah dalam Women’s March di Washington pada 21 Januari silam, sebagai berikut:
“Kita harus benar-benar waspada, karena oposisi sudah bersiap. Tetapi yang tidak mereka ketahui adalah bahwa kita juga sudah bersiap-siap. Ketika mereka bersatu atas dasar kebencian dan memecahbelah dan rasisme dan xenophobia, kita bersatu atas dasar solidaritas dan cinta. Iya! Persatuan!”
Walter Cooper, seorang aktivis Service Employees International Union 32BJ, menyampaikan orasi sebagai berikut: “Kita adalah serikat buruh yang terdiri dari perempuan, imigran, dan juga Muslim. Kita akan menggunakan kekuatan kolektif kita selama hari-hari dan bulan-bulan ke depan untuk berjuang demi masa depan yang lebih baik untuk keluarga kita, mencegah deportasi, dan melindungi imigran, Muslim dan pengungsi.”
Bersama dengan para pembicara tersebut, sejumlah politisi Partai Demokrat juga turut serta berorasi, termasuk anggota City Council, Comptroller Scott Stringer dan anggota Congress, Nydia Velázquez.
Pada malam yang sama, Walikota De Blasio menyelenggarakan konferensi pers untuk mengumumkan bahwa dia akan mengambil langkah hukum melawan pemerintah federal jika terdapat langkah pemangkasan anggaran federal ke New York City karena statusnya sebagai tempat suaka. “Kami tidak akan menerapkan deportasi bagi warga New York yang taat hukum dan kami tidak akan mencerai berai (sebuah) keluarga,” kata De Blasio.
Meskipun demikian, massa aksi yang berada di Washington Square Park memahami bahwa Muslim dan imigran telah mengalami pengejaran dan kekerasan rasis di bawah rezim liberal de Blasio – dan oleh sebab itu, pengorganisiran di level tempat kerja dan komunitas akan sangat dibutuhkan untuk melindungi semua warga New York.
Semakin banyak orang semakin sadar bahwa seharusnya tidak seorangpun mempercayai kepemimpinan Partai Demokrat dalam memperjuangkan nasib kita semua (warga AS). Kita (warga AS) akan membutuhkan lebih banyak aksi yang mengguncangkan Washington Square dan bandara-bandara di berbagai kota di seluruh penjuru negeri untuk melakukan perlawanan kepada Trump – dan menuntut keadilan sebagai tanggungjawab dari para politis.
Sofia Arias, Monique Dols, Danny Katch, Evelyn Kilgallen, Dylan Monahan, Stephanie Navarro, Sheri Pegram, Karla Tobar dan Jeremy Tully juga memberikan sumbangan untuk artikel ini.
Diterjemahkan dari artikel berjudul “The Uprising of the Airports” dapat dapat diakses melalui https://socialistworker.org/print/2017/01/30/the-uprising-of-the-airports
Diterjemahkan oleh Surtikanti, Kader KPO PRP
[1] https://twitter.com/EricRMurphy/status/825538075149336576
Comment here