Kamis (12/1/2017), sebanyak 23 pemuda di Malang berdemonstrasi menolak kenaikan harga barang-barang kebutuhan rakyat. Sebagaimana keterangan rilis persnya, “…publik kembali disuguhkan kebijakan pemerintah Jokowi-JK yang menyakitkan hati publik, pasalnya di tengah himpitan ekonomi yang mencekik masyarakat, pemerintah tanpa merasa berdosa mengeluarkan kebijakan dengan sesuka hatinya.” Massa aksi menerangkan harga Pertalite Rp 7.750 menjadi Rp 8.050,- per liter, ini juga berlaku pada harga Pertamax Series dan Dexlite. Kemudian tarif pengurusan kendaraan semisal STNK roda dua dan empat yang semula Rp 50.000,- menjadi Rp 100.000,-. Selain itu pemerintah juga akan mencabut subsidi listrik untuk pelanggan 990 VA yang akan mengakibatkan efek domino berupa naiknya harga sembilan bahan pokok (Sembako).
Massa yang tergabung dalam aliansi bernama Gerakan Independen Perlawanan Sipil Indonesia (GIPSI) ini mengecam kebiasaan pemerintah dalam meningkatkan pendapatan dengan cara menaikkan harga BBM karena ini sama saja melemparkan bebas ekonomi ke punggung rakyat miskin. “Sementara di luar sana banyak mafia minyak dan pengusaha-pengusaha gelap yang justru diberikan pengampunan oleh pemerintah,” kecam Rian, salah satu orator aksi. “Kementerian Pertanian yang gagal dalam mengawasi sektor pasar harus ditindak tegas,” tuntutnya.
Melanjutkan hal itu, Leon Kastayudha, berorasi, “Permasalahan kenaikan harga BBM, TDL, Cabe, dan lainnya bukan sekadar permasalahan naiknya harga barang-barang kebutuhan belaka. Melainkan di baliknya ada kepentingan neoliberal, pasar bebas, dan kapitalisme dalam mengatasi krisis dengan cara membebani rakyat. Bias diskriminasi rezim Jokowi-JK yang anti rakyat miskin tapi pro pejabat dan konglomerat tampak dari kebijakan-kebijakannya yang sama sekali tidak bijak. Rezim berdalih kekurangan uang untuk anggaran dan pembangunan. Padahal kalau memang ini rezim populis seharusnya ia mengambil alih aset-aset nasional dan kekayaan alam yang saat ini dikuasai Imperialis. Abraham Samad dari KPK beberapa tahun lalu menyatakan kalau kekayaan alam Indonesia tidak dikuasai penguasa dan pengusaha hitam maka pendapatan rakyat per orangnya bisa sebesar Rp 30 juta per bulan. Namun rezim Jokowi-JK tidak hanya tidak melakukan ini melainkan memilih memperbesar penindasan dan penghisapan terhadap rakyat. Nyatalah rezim ini bukan rezim populis tapi rezim kapitalistis. Pembangunan infrastruktur yang digembar-gemborkannya juga sebenarnya hanya melayani kepentingan kapital bukan kepentingan rakyat. Buruh tidak mendapatkan lapangan pekerjaan penuh dengan kondisi kerja dan upah layak namun malah semakin ditindas politik upah murah. Tani tidak mendapatkan reforma agraria sejati namun malah ditembaki dan dirampas tanahnya. Rezim mengaku tidak punya cukup uang dalam anggaran tapi sebanyak 180 Triliun dihabiskan rezim pada tahun 2016 untuk membayar hutang. Hutang kepada badan-badan imperialis seperti IMF, Bank Dunia, dan sebagainya, yang sebenarnya hutang itu banyak yang dikorup kapitalis birokrat namun rakyat yang dipaksa menanggungnya.”
Selain itu massa aksi juga mengecam Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian yang merespon kenaikan harga cabe dengan menyatakan agar rakyat menanam cabe sendiri dan ibu-ibu berhenti bergosip selama lima menit untuk menanam cabe. Ini bukan hanya pernyataan tidak ilmiah namun juga reaksioner seksis. Bukan hanya kebutuhan pangan rumah tangga tidak bisa dipenuhi secara isolasionis domestik namun pernyataan ini juga memfitnah kaum ibu sebagai tukang gosip. (lk)
Comment here