Aksi

Aliansi Mahasiswa UMM Tolak Kedatangan Sri Mulyani Menteri Neoliberal

aksi-anti-smRabu (28/12/2016) pemuda mahasiswa berdemonstrasi menolak kunjungan Sri Mulyani ke Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Demonstrasi yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa UMM itu beralasan Sri Mulyani adalah Menteri Neoliberal dalam Kabinet Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Mereka menyebut Sri Mulyani sebagai,
“…antek dari Imperialis yang selalu melancarkan kepentingan pemilik modal asing dalam menanamkan investasinya di Indonesia.”

Sepak terjang Sri Mulyani sebagai neoliberal dimulai semenjak tahun 2001 dimana ia bekerja di Atlanta, Georgia, sebagai konsultan untuk US Agency for International Development (USAID) atau Badan Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional. Suatu lembaga donor yang menggunakan cara-cara bantuan seperti hutang dan hibah kepada negara-negara lain dengan niatan mendapatkan imbalan dari negara klien tersebut mengadopsi kebijakan yang sesuai atau bahkan menguntungkan AS. Berikutnya dari tahun 2002 hingga 2004, mewakili 12 negara Asia Tenggara, Sri Mulyani kemudian bekerja sebagai direktur eksekutif di International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional. Lembaga hutang Imperialis. Setelah cukup lama bekerja secara langsung kepada Imperialis, Sri Mulyani kemudian kembali ke Indonesia untuk menjalankan misi neoliberalisasi pemerintahan. Meskipun para pendukung Sri Mulyani, mulai dari para demokrat liberal sampai feminis borjuis, membelanya sambil berdalih misi Sri Mulyani adalah reforma perpajakan dan memberantas korupsi, namun fakta yang perlu digarisbawahi adalah: ini tidak dilakukannya untuk kepentingan kerakyatan, melainkan wujud peran dari perseteruan faksional borjuasi antara kapitalis neoliberal—yang ingin kapitalisme berjalan lebih efektif, efisien, dan bersih dalam mengeksploitasi—melawan kapitalis kroni—yang didominasi kaum Orde Baru dan militeris. Sri Mulyani mewakili kepentingan kapitalis neoliberal yang ingin secara konsekuen melunasi hutang Indonesia kepada para Imperialis serta membuat kapitalis global semakin bebas dari pungutan liar (Pungli).

Sejak 21 Oktober 2004 Sri Mulyani diberi jabatan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sekaligus Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia. Dengan demikian secara langsung ia memegang kemudi pembangunan Indonesia. Berikutnya pada 7 Desember 2005 Sri Mulyani kemudian dilantik sebagai Menteri Keuangan di Kabinet Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005. Kebijakan Neoliberal Sri Mulyani dan pandangannya yang menginginkan kapitalisme bebas kroni, pungli, dan korupsi, membuatnya populer di mata kapitalis global.  Ia mendatangkan banyak kapital global untuk ditanamkan di Indonesia. Tahun 2004 Sri Mulyani menggalang US$ 4,6 miliar kapital global dan tahun 2005 meningkat menjadi US$ 8,9 miliar. Bahkan selama menjadi Menteri Keuangan ia berhasil mengarahkan negara Indonesia untuk patuh membayar hutang-hutangnya—yang selama ini lebih banyak dinikmati koruptor dan antek Orba—sampai berkurang dari 60% menjadi 30% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sri Mulyani juga yang membawa paradigma peningkatan gaji petugas perpajakan dengan dalih  mengurangi suap dan pungli di Departemen Keuangan. Suatu solusi yang benar-benar bersifat demokrat liberal borjuistis. Sementara upah buruh mengalami penurunan secara riil, Sri Mulyani mendorong peningkatan gaji para pejabat Keuangan. Tentu saja ini mendorong kesenjangan sosial.

Menangnya SBY dalam Pilpres dan berlanjutnya masa kepresidenannya untuk periode kedua kemudian juga berbuah penunjukan Sri Mulyani kembali sebagai Menteri Keuangan. Namun sebelum itu patut diperhatikan ada dua peristiwa. Pertama, pada  Juli 2008 ia ditunjuk menjabat Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, menduduki jabatan yang sebelumnya dipegang Boediono yang beralih menjabat di Bank Indonesia. Kedua, Sri Mulyani juga menduduki jabatan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), semacam komite eksekutif penyelamatan borjuasi yang terkena krisis. Melalui inilah, pada November 2008, Sri Mulyani yang berdalih mendapatkan rekomendasi dari Boediono—saat itu masih menjabat sebagai Gubernur BI—memutuskan untuk mengucurkan dana talangan untuk Bank Century, dimana dana talangan itu kemudian membengkak menjadi sebesar Rp 6,7 triliun. Meskipun para pendukung penalangan demikian berdalih manuver demikian diperlukan untuk mencegah kepanikan macam money rush atau penarikan dana nasabah secara besar-besaran dari tabungannya karena takut akan bangkrut dan uangnya hilang, namun penalangan ini bukan hanya kontroversial dari segi jumlah dan pelaksanaannya melainkan karena juga menunjukkan bias keberpihakan negara kepada para kapitalis. Satu sisi bilamana buruh yang diberangus serikatnya dan dipecat tidak mendapatkan pembantuan lapangan pekerjaan layak sementara bila para pemodal yang terancam bangkrut, pemerintah langsung cepat tanggap menolong kapitalis yang bersangkutan.

Meskipun demikian Jusuf Kalla (JK) yang saat itu menjadi presiden ad interim sesuai UUD dan Keputusan Presiden (Keppres) yang diterbitkan SBY waktu itu malah menyatakan tidak pernah ada laporan langsung soal dana talangan sebesar Rp 6,7 Triliun antara 13 November 2008 sampai 24 November 2008. Ini bukan berarti JK menentang bantuan pemerintah terhadap kaum borjuasi pada umumnya melainkan ini menandai konflik semakin tajam antara kapitalis kroni dengan kapitalis neoliberal. Sri Mulyani saat ini memang sedang berkonflik melawan JK dan para kroninya. Ia misalnya tidak setuju dengan manuver politis mereka yang menyatakan bahwa kasus lumpur Lapindo adalah bencana alam. Sri Mulyani lebih tidak setuju lagi dengan pengambil alihan ganti rugi dalam kasus lumpur Lapindo menjadi tanggung jawab pemerintah. Bahkan ia sempat protes saat JK secara sepihak menutup Bursa Efek Jakarta saat saham Minarak Lapindo, salah satu perusahaan milik Bakrie, tengah jatuh. Lebih jauh penyelidikan Departemen Keuangan atas penggelapan pajak perusahaan Bakrie bahkan sampai menemukan (walaupun tidak sampai mengusut apalagi menggugat) upaya Bakrie menggunakan dana pemerintah untuk mendorong bisnis batu baranya. Oleh karena itu sekali lagi upaya JK dan para sekutunya untuk menyudutkan Sri Mulyani melalui kasus Skandal Bank Century merupakan bentuk kontradiksi bahkan pertempuran antara kapitalis kroni sekaligus pejabat parpol borjuis melawan kapitalis neoliberal sekaligus profesional pasar bebas. Sri Mulyani yang kalah melarikan diri ke pelukan Bank Dunia, menjabat sebagai salah satu dari tiga Direktur Pelaksana Bank Dunia. Sementara meskipun JK bersama para sekutunya memenangkan pertempuran ini, namun ongkosnya tidak kecil yaitu perpecahan semakin mendalam di antara kubu borjuasi. JK pecah kongsi dengan SBY dan Golkar juga mengalami perpecahan lagi. Siapapun di antara kubu borjuasi yang menang, rakyat tetap kalah dan menderita.

Tindakan Jokowi memulangkan Sri Mulyani pada 27 Juli 2016 untuk menjadi Menteri Keuangan secara otomatis namun implisit juga berarti penguburan kasus skandal Bank Century. Bukan hanya Sri Mulyani namun juga Boediono, Darmin Nasution, Mulyaman Hadad, dan Raden Pardede terjamin keamanan dan perlindungannya dari soal skandal Bank Century. Dari kacamata Jokowi sebagai kepala rezim borjuis—langkah ini merupakan manuver untuk menandingi rongrongan dari kaum kapitalis kroni dan pejabat parpol borjuis. Dari kacamata kaum kapitalis neoliberal, Jokowi dipandang memberikan sinyal bersedia menjadi patron pelindung mereka, setidaknya untuk saat ini. Ini dibuktikan dengan dipertahankan menteri Neoliberal lainnya, yaitu Rini Soemarno, serta pelantikan orang-orang Neoliberal lainnya. Mulai dari Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (yang digeser dari pos sebelumnya sebagai Menteri Perdagangan Republik Indonesia) hingga Bambang Brodjonegoro—tokoh malang melintang dalam desentralisasi Indonesia demi kepentingan pasar bebas—yang digeser dari posisi Menteri Keuangan sebelumnya menjadi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Secara bersama-sama, mereka menjaga kepentingan Imperialis Barat di pemerintahan Indonesia, khususnya dalam hal kebijakan keuangan. Terutama setelah berhasil menyingkirkan Rizal Ramli yang merepresentasikan kepentingan kapitalis nasional.

Program deregulasi dan debirokratisasi semakin dimasifkan untuk memenuhi kepentingan Neoliberal. Bahkan Jokowi mencabut begitu banyak Peraturan Daerah (Perda) yang dipandang menyulitkan dan menghalangi kepentingan penanaman kapital global di daerah-daerah di Indonesia. Liberalisasi ekonomi semakin merangsek ke berbagai lini. Dalam konteks inilah program Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak dijalankan rezim Jokowi. Ini upaya untuk mendapatkan pendanaan untuk pembangunan infrastruktur kapitalistis di Indonesia sekaligus upaya menggalang semakin banyak borjuasi agar berpihak ke pemerintah di satu sisi dan di sisi lain semakin mengisolasi kaum kapitalis kroni.

Semua perseteruan faksional ini, apapun kubu borjuasi yang maju dan mundur atau menang dan kalah, tetap kelas buruh dan rakyat pekerja yang paling dirugikan, ditindas, serta disengsarakan. Borjuasi mendapatkan pengampunan pajak tapi buruh ditimpakan PP Pengupahan yang menguatkan politik upah murah serta kaum miskin kota dikenai penggusuran tanpa ampun.

Dalam konteks inilah kemudian Aliansi Mahasiswa UMM melakukan demonstrasi saat kedatangan Sri Mulyani ke UMM. Kunjungan Sri Mulyani ke UMM untuk memberikan kuliah tamu sekaligus meresmikan Tax Centre atau Pusat Perpajakan ini ditentang Aliansi Mahasiswa UMM, “Kedekatan Sri Mulyani dengan IMF dan World Bank menjadikannya sebagai perpanjangan tangan dari kepentingan pemodal asing untuk menggarong potensi keuangan dan ekonomi Indonesia, kebijakan yang dibuat Sri Mulyani pun hanya terpusat pada penyelamatan indikator-indikator ekonomi makro yang condong berpihak pada kepentingan investor asing secara tidak adil. Maka dengan itu kami mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UMM menolak dengan keras kedatangan Mentri Sri Mulyani sebagai simbol ekonomi neolib Indonesia.” (lk)

Loading

Comment here