Pada hari kamis 15 Desember muncul poster undangan Kuliah Kebangsaan yang diselenggarakan oleh BEM KM UGM. Kuliah Kebangsaan tersebut rencananya akan diselenggarakan di Grha Sabha Pramana (GSP) UGM pada tanggal 23 Desember dengan mengundang Panglima TNI, Gatot Nurmantyo sebagai pembicaranya. Acara tersebut mendapatkan respon dari berbagai individu dan kelompok. Kemudian muncul inisiatif untuk menyelenggarakan diskusi dan konsolidasi.
Dalam diskusi dan konsolidasi tersebut terdapat berbagai pandangan mengenai acara Kuliah Kebangsaan. Pertama melihat bahwa persoalan Kuliah Kebangsaan merupakan persoalan dengan BEM KM UGM yang membuka jalan bagi masuknya militer ke dalam kampus. Kedua melihat bahwa Kuliah Kebangsaan ini menunjukan persoalan militerisme yang semakin kuat dan belum berhasil dipukul mundur seperti semangat Reformasi 1998. Ketiga melihat pada persoalan nasionalisme dan kebangsaan yang sedang sakit.
Upaya konfirmasi langsung ke Presiden BEM KM UGM juga dilakukan dengan mendatangi Kongres Mahasiswa UGM di Gelanggang UGM. BEM KM UGM pada akhirnya mengeluarkan pernyataan sikap. Namun pernyataan tersebut dinilai sebatas retorika birokrasi semata. BEM KM UGM tidak tegas mengutuk militerisme. BEM KM UGM menyerahkan kembali penyelenggaraan acara tersebut ke Panitia Dies Natalis dengan pertimbangan liburan dan ketiadaan mahasiswa untuk bisa menjadi panitia. Sambil mengatakan bahwa peminat Kuliah Kebangsaan tersebut hampir mencapai 2 ribu orang. Paska itu tidak pernah ada pernyataan tegas dari panitia Dies Natalis UGM mengenai pembatalan acara Kuliah Kebangsaan.
Dari pendiskusian dan konsolidasi tersebut terbentuklah Front Rakyat Anti Militerisme (FRAM). FRAM dimaksudkan sebagai aliansi untuk menguatkan perjuangan anti militerisme. Dengan tuntutan-tuntutan antara lain: tarik militer kembali ke barak; bubarkan komando teritorial dan adili jenderal-jenderal pelanggar HAM.
Dalam pernyataan sikapnya FRAM melihat bahwa “Reformasi 1998 bercita-cita mengahapuskan cengkraman militer diaspek kehidupan masyarakat. Semangat mengembalikan militer ke barak menjadi nyawa dari gerakan reformasi. Seperti terkait dengan pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan. Selain itu fungsi sosial politik militer juga eksklusi dari tupoksi. Militer tidak boleh terlibat politik praktis, dituntut lebih profesional, dan tidak berbisnis. Sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-undang tentang TNI.” Namun “Hampir dua dekade peristiwa 98 berlalu, demiliterisasi masih jauh panggang daripada api…Mereka menghalalkan pembantaian pada bangsa Papua. Karpet merah digelar untuk para pemilik modal dengan menodongkan moncong senjata pada petani Kulon progo, Suryokonto, Sukamulya, Rembang, Pati dll. Meskipun demikian, TNI kerap menutup-nutupi sisi hitamnya. Seolah-olah paling mengerti tentang toleransi, kemanusiaan, dan Kebhinnekaan. sehingga rakyat sipil (termasuk mahasiswa) perlu mendapat pencerahan darinya. Mereka berbicara tentang nasionalisme sempit dan omong kosong bela negara, sembari mengabaikan roh nasionalisme bangsa Indonesia yang sebenarnya yaitu terkait tentang politik pembebasan, emansipasi, dan egalitarian. Supremasi sipil semakin dikebiri. Militer ingin kembali mengatur hajat hidup rakyat. Mulai dari urusan sepak bola, tiket, sampai kampus-kampus menjadi arena penetrasi.”
FRAM juga melihat bahwa upaya militer untuk masuk ke kampus bukan di UGM ini saja. Dalam 3 bulan terakhir sedikitnya tercatat 3 kampus besar di Indonesia disambangi. Dimulai dari penerimaan mahasiswa baru Universitas Indonesia, Seminar Nasional Universitas Kristen Indonesia dan terakhir di Universitas Trisakti yang dihadiri oleh 80 Presiden Mahasiswa atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari seluruh Indonesia.
Momentum Kuliah Kebangsaan oleh Panglima TNI, digunakan oleh FRAM untuk memulai propaganda anti militerisme. FRAM kemudian membuat agenda tandingan di waktu dan tempat yang sama. Agenda tandingan tersebut direncanakan berisi antara lain: diskusi, pentas musik, orasi, pembacaan puisi, lapak merchandise dan panggung terbuka. Diharapkan agenda tandingan tersebut juga bisa memberikan wacana tandingan, yaitu anti militerisme, bagi para peserta Kuliah Kebangsaan.
Pada hari H, Kuliah Kebangsaan tidak diselenggarakan. Situasi GSP sepi demikian juga kampus UGM yang sudah memasuki masa liburan. Pun begitu, FRAM tetap melakukan mobilisasi ke GSP UGM. FRAM kemudian melakukan pendiskusian, evaluasi serta penentuan langkah-langkah kedepannya. Agenda tandingan ini sendiri sepertinya satu-satunya respon terhadap upaya militerisme masuk ke berbagai kampus selama beberapa bulan terakhir. Kedepannya FRAM merencanakan untuk terus melakukan propaganda, kampanye dan konsolidasi anti militerisme di kampus-kampus. (imk)
Comment here