Pada Natal 2016 ini, Paus Fransiskus menyampaikan pesan natal yaitu harapan bagi perdamaian dunia yang tengah dikecamuk oleh perang dan terorisme, mendesak umat untuk mengingat para imigran, pengungsi dan mereka yang terkena ketidakstabilan ekonomi karena “penyembahan berhala terhadap uang”. (http://www.abc.net.au/news/2016-12-25/pope-francis-christmas-hope-for-peace-in-world-of-war/8147898)
Ratusan tahun umat manusia mendambakan perdamaian tersebut. Tanpa perang, tanpa kemiskinan, tanpa penderitaan, tanpa kesengsaraan. Pun demikian apa yang kita harapkan bukanlah kenyataan yang ada. Perdamaian tidaklah mungkin dapat dicapai ketika masyarakat terbagi menjadi kelas yang bertentangan. Dalam masa kapitalisme sekarang, kelas borjuasi hidup dengan menindas kelas buruh dan menciptakan kesengsaraan bagi jutaan rakyat lainnya.
Perang dan terorisme adalah hasil dari kekuasaan kelas borjuis para “penyembah berhala uang” tersebut. Perang adalah cara bagi mereka untuk bisa merebut dan mengeksploitasi pasar baru dari saingannya. Perang pun menjadi bisnis yang menguntungkan mereka. Demikian juga dengan terorisme, para penyembah uang tersebut tidak berkeberatan untuk menciptakan dan memelihara kelompok teroris bagi kepentingannya. Perang, pembantaian, kesengsaraan dan penderitaan juga mendorong ratusan ribu rakyat untuk mengambil jalan terorisme untuk membebaskan dirinya.
Kelas borjuis “penyembah berhala uang” merubah segalanya untuk bisa mendapatkan keuntungan, mendapatkan akumulasi modal. Termasuk agama dan keyakinan.
“Kekristenan awalnya berasal dari gerakan rakyat tertindas: awalnya muncul sebagai agama dari para budak dan budak yang dibebaskan, dari rakyat miskin yang dirampas semua haknya, dari rakyat yang ditundukan atau diusir oleh Roma.” (https://www.marxists.org/archive/marx/works/1894/early-christianity/). Namun, kapitalisme berhasil mendorong perubahan religius dan tradisi menjadi sebuah subjek yang mengikuti aturan pasar. Semangat memberi, cinta kasih pada sesama berhasil dikomodifikasi oleh kapitalisme dengan saling memberikan bingkisan atau hadiah pada orang lain. Setiap menjelang hari raya keagamaan salah satunya natal, hampir seluruh bahan kebutuhan pokok ikut melambung mengikuti logika pasar kapitalisme yakni permintaan dan penawaran. Besarnya permintaan atas barang-barang kebutuhan pokok serta atribut perayaan natal mendorong naiknya angka penjualan retail, termasuk harga kebutuhan pokok. Namun terdapat pula berbagai komoditi yang ‘sengaja diobral’ demi mendapatkan keuntungan berlipat ganda menjelang perayaan tahunan ini. Sementara itu, buruh-buruh sektor retail mendapati dirinya bekerja dengan sangat keras serta dipaksa bekerja lembur Beberapa ekonom Indonesia mencatat kecenderungan perputaran uang menjelang Natal berkisar di angka rata-rata 40-60 triliun rupiah pertahunnya.
Di Indonesia yang belum menuntaskan revolusi demokratiknya, agama digunakan oleh kelas borjuis untuk mempertahankan kekuasaannya. Pada tahun 1965, militer menggunakan sentimen agama untuk membantu melancarkan pembantaian terhadap jutaan orang yang dituduh komunis. Ketika kekuasaan Rejim Militer Soeharto diguncang, para jenderal, elit politik dan pengusaha memobilisasi kelompok-kelompok reaksioner untuk menyerang aksi-aksi mahasiswa dan rakyat. Mereka jugalah yang membuat kerusuhan-kerusuhan SARA di berbagai daerah pada masa Gus Dur. Bukan tidak mungkin para jenderal, elit politik dan pengusaha itu sendiri yang berada di balik terorisme, seperti yang diindikasikan oleh Gus Dur saat wawancara dengan SBS Australia. (https://www.youtube.com/watch?v=FGIuUn6u1b0). Para penyembah berhala uang itu juga yang membuat berbagai peraturan daerah yang berdasarkan atas agama tertentu. Demi mendapatkan dukungan suara untuk tetap bisa menjabat sebagai Gubernur, Walikota atau yang lainnya. Sementara aparat keamanan bekerjasama dengan kelompok reaksioner menyerang atau membubarkan tempat-tempat ibadah. Pembubaran dan penyerangan yang dilegalkan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri. Secara umum pada tahun 2016 ini terdapat sekitar 182 kasus pelanggaran kebebasan beragama menurut Setara Institut.
Pada tahun ini kita melihat politik rasis semakin berkembang. Para bigot dan kelompok reaksioner seperti Front Pembela Islam (FPI) semakin membesar setelah berhasil memobilisasi ratusan ribu orang dengan isu peninstaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaya Purnama. Kontroversi menggunakan atribut Natal atau memberikan ucapan selama Natal kembali berkembang. Disisi yang lain isu terorisme atau secara khusus terhadap gereja juga berkembang. Setelah sebelumnya terjadi penyerangan terhadap Gereja di Samarinda dan Medan.
Anehnya, kelas borjuis dan aparat keamanan merasa terheran-heran dengan semakin menguatnya intoleransi. Padahal semua itu adalah hasil dari politik yang mereka praktekan selama berpuluh-puluh tahun.
Kelas buruh dan rakyat tertindas harus menghentikan penggunaan agama sebagai alat legitimasi kekuasaan politik. Hal itu dengan cara mengembalikan agama menjadi urusan internal masing-masing pemeluk agama. Kita mendukung kebebasan bagi setiap orang untuk “menentukan agama apa yang dianutnya, atau bahkan tanpa agama sekalipun…” termasuk juga mendukung kebebasan berkeyakinan bagi setiap orang. Kebebasan beragama dan menjalankan agamanya bagi setiap orang, entah itu Islam, Kristen, Yahudi, Buddha, Hindu, Baha’i, Sikh, Syiah, Sunni, Ahmadiyah, serta agama-agama lainnya termasuk kepercayaan dan agama-agama tradisional yang ada. “Diskriminasi diantara para warga negara sehubungan dengan keyakinan agamanya sama sekali tidak dapat ditolerir.” Semua hubungan antara negara dengan institusi keagamaan harus diputus, termasuk menghentikan pendanaan ke MUI atau lembaga-lembaga keagamaan lainnya. Demikian juga semua produk hukum yang berdasarkan atas agama, yang menghukum orang karena keyakinan ataupun ketidakyakinannya, termasuk pasal penistaan agama harus dihapuskan. (https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1905/SosialismeDanAgama.htm)
Iya, kita semua mendambakan dan mencintai perdamaian. Namun tidak akan ada perdamaian tanpa keadilan. Tidak akan ada perdamaian tanpa kasih terhadap kaum miskin dan tertindas.
Tidak akan ada perdamaian tanpa perjuangan melawan kelas borjuis penyembah berhala uang. Melawan para penyembah berhala uang yang melakukan penindasan terhadap kaum miskin, yang mendapatkan keuntungan dari perang dan terorisme, yang menggunakan agama untuk kepentingan kekuasaannya.
Menganggap penindasan tersebut sebagai ujian keimanan. Untuk kemudian mendiamkannya hanya akan membuat penindasan tersebut terus berkembang.
“Roh Tuhan ada pada-Ku, karena Ia telah mengurapi Aku untuk memberitakan Kabar Baik kepada orang-orang miskin. Ia mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada para tawanan, dan pemulihan penglihatan kepada orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas.” (Lukas 4: 18)
Iman dan keyakinan kita adalah berdiri tegak bersama kelas buruh dan rakyat tertindas. Bersatu padu dalam perjuangan bersama-sama mereka untuk perdamaian dan keadilan. Mewartakan kabar gembira tentang tatanan masyarakat baru dimana perdamaian dan keadilan terwujud dengan kekuasaan ekonomi dan politik yang berada di tangan kelas buruh dan rakyat tertindas.
Selamat Natal 2016: Perdamaian, Keadilan dan Perjuangan untuk Pembebasan Umat Manusia.
ditulis oleh Yuri Aldebaran, kader KPO PRP
Comment here