Kamis (22/12/2016), 25 pemuda dari berbagai kampus dan latar belakang ras serta agama berdemonstrasi di depan Balai Kota Malang. Massa yang tergabung dalam Komite Aksi Kamisan ke-16 ini menuntut kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah. Mereka menyoroti maraknya berbagai kasus pelanggaran hak atas beragama dan berkeyakinan. “Akhir-akhir ini masyarakat dikejutkan oleh kasus-kasus kekerasan mengatasnamakan SARA sementara negara seolah menutup mata. Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat sejak 2014 hingga terjadi peningkatan aduan. tahun 2014 tercatat 74 pengaduan, 2015 89 pengaduan, 2016 di pertengahan tahun ada 34 aduan,” ungkap orator aksi.
Massa aksi juga menegaskan bahwa konflik sektarian, isu rasisme, dan sentimen suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) sengaja diaduk untuk memecahbelah rakyat sehingga penindasan langgeng berjalan. “Berapa banyak sumber mata air dihancurkan, berapa banyak minyak dan kekayaan alam dijarah? Rakyat dibuat lupa akan persoalan itu…”, ungkap salah satu orator aksi.
Adlun Fiqri dalam orasinya menyatakan, “Negara tidak berpihak pada masyarakat. Negara justru anti-rakyat.” Ia menjelaskan bahwa kelompok-kelompok sektarian fundamentalis bukan hanya dibiarkan tapi juga dirangkul dan digunakan oleh negara untuk memecahbelah rakyat dan melanggengkan kepentingan penindasan. Padahal Indonesia merupakan negara dengan pluralitas tinggi. Berbagai macam suku, agama, ras, tumbuh subur di sini. Ada lebih dari 300 kelompok etnis, ada 737 bahasa di Indonesia, kemudian selain dari lima agama resmi yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu terdapat 245 agama dan keyakinan yang belum diakui secara resmi ada di Indonesia. Oleh karena itu perampasan hak dan kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah, yang kini makin marak di Indonesia adalah bentuk pelanggaran HAM yang harus dilawan.
“Aksi Kamisan menentang pelanggaran HAM tidak hanya ada di Malang. Namun ada di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan berbagai kota lainnya. Kita sebagai masyarakat sipil menolak lupa atas berbagai pelanggaran HAM yang ada. Mulai dari pelanggaran HAM 65, pelanggaran HAM 98, pelanggaran HAM tanjung Priok, Daerah Operasi Militer atau DOM di Timor Timur, DOM di Aceh, DOM di Papua, dan sebagainya. Termasuk pelanggaran HAM yang marak terjadi akhir-akhir ini.” Menurutnya situasi ini tidak bisa diselesaikan dengan bergantung pada pemerintahan. “Jokowi mengobral janji menutaskan kasus-kasus pelanggaran HAM. Namun dalam kabinetnya ia malah mengangkat banyak menteri pelanggar HAM. Ini adalah salah satu bentuk impunitas yang masih ada sekarang dan harus dihapuskan,” serunya.
Massa aksi menuntut: hentikan dramaturgi konflik kekerasan antar umat beragama dan berkeyakinan yang diciptakan oleh negara, sebab rakyat yang beragamalah yang selalu menjadi korban kebebasan hak beragama dan berkeyakinan. Kemudian berikan kesejahteraan bagi seluruh umat beragama dan berkeyakinan, dalam rangka menghilangkan konflik horizontal. Selanjutnya massa aksi juga memblejeti bahwasanya ketidakadilan dalam negara adalah akar dari konflik dan lahirnya kelompok kelompok intoleran yang ada.
Aksi kemudian ditutup dengan pembacaan puisi Kado untuk Rezim oleh Mailoa dari Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia (SeBumi). (lk)
Comment here