Tepat tanggal 22 Desember 2016 ini, masyarakat Indonesia akan merayakan peringatan hari ibu. Peringatan ini sering kali menjadi momentum tahunan yang diperingati dengan memberikan hadiah kepada ibu, dan dimaknai perannya dalam lingkungan keluarga saja. Kita telah menyaksikan secara telanjang bagaimana sejarah hari ibu telah direduksi oleh rezim yang berkuasa. Padahal, dalam sejarahnya peringatan hari ibu merupakan awal kebangkitan perjuangan kaum perempuan untuk maju dengan mengambil peran secara ekonomi politik di Indonesia. Penderitaan yang luar biasa dirasakan pada masa kolonial, tidak terkecuali oleh kaum perempuan. Hal tersebut ditandai dengan terbentuknya organisasi-organisasi perempuan yang mengutamakan isu “emansipasi” yang berkembang saat itu. Diantaranya adalah kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan, menyatakan pendapat di muka umum, terlibat dalam pengambilan keputusan, memperoleh pengetahuan dan keahlian di luar rumah dan lingkungan adat.
Kongres perempuan pertama di Indonesia pada tanggal 22-25 desember 1928 di Yogyakarta. Kongres tersebut dihadiri 30 organisasi perempuan, 21 organisasi non perempuan (diantaranya Budi Oetomo dan PNI). Kongres PPI ini menjadi sejarah lahirnya peringatan hari ibu di Indonesia dan menghasilkan beberapa poin perjuangan perempuan, yaitu terlibatnya perempuan dalam pembangunan bangsa serta perjuangan kemerdekaan, hak perempuan dalam rumah tangga, pemberantasan buta huruf dan kesetaraan mendapat pendidikan, hak perempuan dalam perkawinan serta pelarangan perkawinan anak dibawah umur, perbaikan gizi serta menghancurkan kesenjangan sosial. Hal demikian menjadi cikal bakal munculnya gerakan perempuan yang lebih progresif dengan program-program yang lebih maju, yakni gerakan wanita sedar (Gerwis).
Pada kongres II (1954), Gerwis berubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Seperti hal nya organisasi perempuan lain, Gerwani menghendaki pencapaian kesetaraan dengan laki-laki. Hanya perbedaannya Gerwani tidak memusatkan perjuangannya melalui reformasi perkawinan. Karena perubahan tersebut tidaklah berpengaruh besar terhadap karakter keluarga sebagai institusi kelas. Dimana dalam keluarga yang patriarki sekaligus monogami, tetap saja keberadaan peran perempuan dijadikan budak dengan kerja domestik, yakni tugas-tugasnya di dapur, mencuci, membesarkan anak,dsb. Gerwani ikut serta berjuang dengan kelas buruh, petani, dan kaum tertindas lainnya. Gerwani juga memberikan perhatiannya pada fasisme dan imperialisme sebagai moral yang begitu jahat, dengan menggambarkan perlawanannya (bersama pemuda rakyat) terhadap beredarnya film-film pornografi.
Runtuhnya rezim Soekarno yang ditandai dengan malapetaka 1965, peristiwa tersebut di ikuti dengan kampanye fitnah yang mengusung isu pelecehan seksual dilakukan oleh Gerwani. Kampanye tuduhan tersebut bukan hanya memudahkan perubahan kekuasaan dan menghilangkan hidup manusia yang begitu banyak, tetapi juga memberikan pergeseran ideologi bagi pemerintahan soeharto. Organisasi Perempuan Orde Baru mengemban tugas dengan menjaga perempuan berada ditempat semestinya (dalam logika kekuasaan orba), suara politiknya tidak diakui dan dikunci dalam organisasi perempuan dengan program yang memperkuat penindasan yang dialami perempuan sebagai kodratnya dan sibuk dengan propaganda bahwa emansipasi telah tercapai. Organisasi perempuan diberikan peran dan kedudukannya berdasarkan pangkat dan jabatan suami. Seperti halnya Srikandi Bhayangkari yang dengan giat ingin membantu suaminya yang juga merupakan sejumlah anggota istri-istri polisi. Dharma Wanita yang merupakan organisasi istri pegawai negeri yang di ketuai oleh istri presiden, Dharma Pertiwi, yakni organisasi istri anggota militer dan PKK (Program Kesejahteraan Keluarga). Dalam hal ini menjadi cara sebagai kontrol dan pengembangbiakan masyarakat yang diperalat mendukung kekuasaan negara.
Dalam perkembangan sejarahnya, kita bisa pahami sejarah hari ibu merupakan perjuangan perempuan dengan mengambil peran secara ekonomi politik. Namun, dimasa orba hingga saat ini peringatan hari ibu mengalami pergeseran makna. Momentum hari ibu diperingati hanya dengan memperkuat propaganda yang patriarki, membenarkan peran ibu di dalam keluarga yang dimaknai sebagai sosok ibu secara domestikal, yaitu kodrat yang penting dalam keluarga, melahirkan, memasak, mencuci, melayani suami dan membesarkan anak-anak. Merayakannya sebagai seremonial budaya tanpa perjuangan kaum perempuan itu sendiri.
KELUARGA SEBAGAI LEMBAGA PENINDASAN PEREMPUAN
Istilah keluarga yang berasal dari bahasa latin, yaitu famulus yang artinya budak rumah tangga, dan istilah familia yang berarti keseluruhan budak di miliki seorang laki-laki. Istilah tersebut melewati fase cukup panjang tidak muncul begitu saja. Seiring dengan perkembangan kepemilikan pribadi, keluarga menjadi patriarkal dalam masyarakat kelas. Bahkan dalam keluarga yang berkembang, fungsi utama seorang istri adalah melahirkan anak-anak untuk mewariskan kepemilikan pribadi (ke tangan laki-laki) serta melayani suami. Dan seperti yang di jelaskan sebelumnya, fase dimana laki-laki memiliki beberapa istri dan perubahannya ke satu istri (monogami), tidak berpengaruh besar terhadap karakter keluarga sebagai institusi kelas. Karena di dalam keluarga patriarki walaupun monogami, tetap saja keberadaaan perempuan dijadikan budak dan memiliki tugas-tugas kepada tuan pemiliknya. Inilah mengapa sistem keluarga merupakan lembaga terkecil penindas perempuan. Hal tersebut begitu penting untuk dipahami, karena hari ini kita berada pada sistem penindasan yang lebih maju, yakni kapitalisme. Dengan obrolan borjuis tentang pendidikan dan ikatan mesra antara ibu, bapa dan anak. Adanya ilmu pengetahuan yang berkembang ditandai dengan industri semakin besar, pemilik modal tentunya begitu senang mendapatkan keuntungan dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak di pabrik dengan upah murah. Borjuis pun belum puas dengan hal bahwa untuk mereka tersedia istri-istri dan anak-anak gadis kelas pekerja, belum lagi pelacur-pelacur biasa yang gemar saling menggoda di kalangan mereka sendiri. Dalam hal ini pula, perempuan memiliki peran ganda, peran di dalam keluarga dan ruang kerja. Hasil penelitian Biro Statistik Australia pada tahun 1990an memperkirakan bahwa pekerjaan tanpa upah yang dilakukan perempuan, masak, mencuci, membersihkan anak, melayani suami dan membesarkan anak-anak (domestik) setara dengan 83% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bayangkan, berapa banyak keuntungan pemilik modal yang hilang kalau pabrik harus menyediakan pusat penitipan anak serta makanannya.
Kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di Indonesia bahkan lebih mengerikan. menurut laporan Why Do Some Men Use Violence Against Women and How can we Prevent it yang diterbitkan pada 2013, menunjukkan setidaknya 40% responden menganggap perempuan mesti rela mengalami kekerasan untuk bisa bertahan dalam keluarga. Rata-rata 97% meyakini harus tunduk pada suami dalam keluarga. Selanjutnya, Lembaga keluarga menguatkan kebiasaan sosial yang sesuai dengan sistem kapitalisme, dengan berperan untuk mengajarkan anak-anaknya supaya menaati wewenang, menghormati atasan, persaingan (hanya mengurus kepentingan dan mensukseskan diri sendiri). Juga berperan menjaga kode moral masyarakat kapitalis, menindas dan menyelewengkan seksualitas dengan menjaga ekspresi seksual supaya tetap dalam batasan “keluarga”.
PENINDASAN PEREMPUAN DALAM NEGARA BORJUIS
Negara merupakan organisasi kekuasaan bagi kelas yang berkuasa. Besarnya kekuasaan para pemilik modal di Indonesia dapat kita saksikan dari kesenjangan sosial yang terjadi, satu tahun terakhir jurang si kaya dan si miskin semakin dalam. Pada bulan maret kemarin, Bank Dunia merilis kabar yang cukup mengejutkan. Selama 10 tahun terakhir hanya 20% penduduk Indonesia yang menikmati pertumbuhan ekonomi. Sementara yang lainnya, bisa jadi masuk dalam kubangan ekonomi, alias tenggelam dalam kemunduran ekonomi. Saat ini, 10% penduduk Indonesia terkaya menguasai 77% pendapatan nasional. Kalau dipersempit, 1% penduduk Indonesia yang paling kaya menguasai lebih dari separuh total kekayaan nasional. Sementara 99% penduduk lainnya bersaing untuk dapat bertahan hidup. Bahkan indeks kaya dan miskin di tahun ini, mencapai rekor tertinggi dalam sejarah perekonomian di Indonesia. Negara dengan aparatusnya, parlemen, pengadilan, militer dan semua lembaga politik lainnya, menghamba kepada kelas penguasa sebagai aturan jenjang karir dan menjual diri untuk ikut serta mempertahankan sistem kapitalisme.
Negara dalam hal ini tidak lebih hanya sekedar lembaga yang digunakan oleh rezim penguasa (baca : borjuis) untuk melegitimasi serta menjaga akumulasi modalnya dapat terus berjalan. Negara bersama dengan kelas berkuasa juga turut serta memberikan suaranya, bahkan berpidato dengan berapi-api untuk mendorong perempuan berjuang, dan mengatakan memiliki hak yang sama, kalau laki-laki bisa menjadi supir, perempuan juga bisa menjadi supir, tetapi tidak dalam urusan rumah tangga. Bahkan perkawinan yang sering kali merugikan perempuan, dianggap tidak ada hubungannya dengan politik dan negara. Negara tidak pernah memenuhi kebutuhan hidup rakyat seperti pendidikan, kesehatan, dan makanan. Dalam hal ini perempuanlah yang paling merasakan dampak tersebut. Sebagian besar buruh di Indonesia khususnya buruh pabrik di dominasi oleh buruh perempuan. Dari keseluruhan tenaga kerja tahun 2014 terdapat sebanyak 625.187 jiwa buruh di Indonesia. Sebanyak 288.614 diantaranya adalah buruh perempuan (Data BPS rilis 9 september 2015). Di Jakarta, terdapat 80.000 buruh, 90% dari angka tersebut merupakan buruh perempuan (Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan). Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sendiri mencatat, pada tahun 2015 terdapat 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan, kasus-kasus tersebut bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama (PA-BADILAG) sejumlah 305.535 kasus, dan dari lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus; serta 1.099 kasus yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan. Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut adalah sebuah bentuk kondisi darurat kekerasan terhadap perempuan, baik yang selama ini secara partikular diberitakan oleh media dan menuai kecaman maupun kekerasan yang terlegitimasi ditengah masyarakat.
Ribuan pabrik-pabrik seperti pabrik garmen, tekstil, sepatu dan rokok lebih senang mempekerjakan kaum perempuan karena dianggap lebih teliti dan dapat dibayar murah. Dengan kebijakan neoliberalnya, pemerintahan koalisi liberal dan nasional berupaya terus menerus untuk menurunkan upah buruh, serta pemotongan intensif sosial bagi perempuan. Di berbagai negara termasuk indonesia, hak-hak dasar bagi perempuan seperti cuti haid, jaminan kesehatan, keamanan, dan jaminan sosial lainnya tidak pernah di perdulikan.
BAGAIMANA SEHARUSNYA PERJUANGAN PEREMPUAN KEDEPAN?
Kita telah membongkar topeng penindasan perempuan di dalam lembaga keluarga. Kita juga telah membeberkan ilusi yang di tabur oleh negara borjuis yang menomer duakan perempuan dalam kehidupan bermasyarkat. Lalu bagaimanakah seharusnya perjuangan perempuan kedepan? Tentu ini harus di jawab. Penting juga untuk menegaskan posisi kita terhadap perjuangan perempuan. Karena kita tidak seperti kaum liberal, yang melihat penindasan perempuan secara terpisah dengan persoalan ekonomi,politik,sosial, budaya, hukum dan sektor kehidupan lainnya. Pada akhirnya perjuangan melawan penindasan terhadap perempuan hanya di selesaikan melalui jalur-jalur hukum. Menyerahkan kepada negara untuk menyelesaikannya. Di lain hal ada juga yang melihat perjuangan terhadap penindasan kaum perempuan hanya di akibatkan oleh budaya patriarki. Padahal seperti yang kita sampaikan sebelumnya bahwa penindasan terhadap kaum perempuan adalah persoalan sistem ekonomi dan politik yang menendang kaum perempuan dari kehidupan yang setara. Hilangnya tradisi komunal primitif menjadi peluang bagi munculnya penghisapan kelas dan hubungannya dengan akumulasi kekayaan pribadi.
Perempuan harus membangun sebuah gerakan pembebasan perempuan progresif militant dan tidak kompromis untuk meraih kesetaraan dan keadilan untuk perempuan. Perjuangan untuk meraih kesetaraan bukanlah perjuangan antara perempuan melawan laki-laki yang dianggap sebagai penindas, melainkan sebuah perjuangan melawan penindasan masyarakat kelas. Dengan begitu gerakan perempuan harus merancang strategi untuk membangun aliansi dengan kelompok tertindas lainnya saling belajar tentang perbedaan penindasan di masing-masing sektor, juga memperkuat jaringan yang menyatukan kita untuk berjuang mengakhiri penindasan kelas dan untuk menciptakan sebuah masyarakat dimana setiap orang memiliki kesamaan dalam pilihan hidup dan kesempatan terlepas dari asal-usul ras, kelas dan jenis kelamin
Selanjutnya, gerakan yang dapat memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak perempuan sepenuhnya adalah gerakan yang melanjutkan cita-cita perjuangan perempuan untuk kesetaraan yang berarti membebaskan perempuan dari budaya patriarki dan pembebasan seluruh rakyat secara ekonomi politik. Dengan memperjuangkan upah yang layak, melawan kekerasan dan pemerkosaan untuk layanan yang lebih baik bagi perempuan, melawan praktek diskriminasi pendidikan dan pekerjaan, hak perempuan dalam mengatur kesuburan tubuhnya mengontrol reproduksi, dan membebaskannya dari defenisi tentang peran hanya sebagai istri dan ibu dalam keluarga. Tugas mendesak gerakan perempuan adalah mereorganisasi seluruh masyarakat dari unit represif terkecil-keluarga hingga Negara.
ditulis oleh Ray Sander, anggota Lingkar Studi Kerakyatan
Tulisan ini pernah diterbikan dalam Koran Suara Progresif (Koran Cetak Lingkar Studi Kerakyatan) Edisi VI Desember 2016
Referensi :
- Dipo Negoro, “Apa Yang Diperjuangkan Sosialisme”
- Saskia, “Penghancuran Gerakan Perempuan Politik Seksual di Indonesia Pasca kelatuhan PKI”
- https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1848/manifesto/manpend.htm
- http://www.arahjuang.com/2013/12/23/hari-ibu-dan-tugas-perjuangan-perempuan/
- https://lingkarstudikerakyatan.wordpress.com/2016/05/08/marsinah-dan-tugas-tugas-gerakan-perempuan/
- https://tirto.id/mereka-yang-dilecehkan-dan-mencoba-melawan-b9Vi
Comment here